Nusantarakini.com, Jakarta –
Sebuah bangsa akan bangkit dan bersemangat, manakala dia menemukan jatidirinya, identitasnya dan jiwanya. Ibarat manusia, bangsa sebagai suatu kolektivitas, juga demikian.
Perhatikan, manusia yang berjatidiri dan sukses menemukan identitasnya, dia akan selamat dari sikap ambigu dan punya tatapan lurus ke depan untuk mengejar tujuannya.
Sebaliknya, manusia yang tanpa identitas atau abu-abu identitasnya, dia akan hidup dalam ambigu, menunggu angin kemana berembus, dan ragu menuju ke depan.
Bangsa pun demikian. Bangsa yang buram identitasnya, akan plin-plan dan ragu-ragu menuju maksud dan cita-cita nasionalnya. Malahan mungkin tidak punya cita-cita nasional. Cita-cita nasionalnya gonta-ganti. Akibatnya, bangsa itu lemah, hidup dalam keraguan dan kecemasan, saling menyalahkan, dan kehilangan orientasi hidup hingga jatuh menjadi mangsa bangsa-bangsa lain.
Dari Turki kita dapat mengambil pelajaran. Riwayat bangsanya mirip dengan kita, Indonesia. Pengalaman sekularisasi, deislamisasi dan penghancuran identitas dan jiwa bangsa itu, nyaris mirip dengan kita, Indonesia. Tapi kini, mereka sudah melewati fase itu. Mereka sudah menemukan kekuatannya, kekuatan jiwa bangsanya, yaitu pada agama, keyakinan yang dianut oleh mayoritas bangsa Turki, yaitu Islam.
Tentu tak dapat dibayangkan suatu bangsa bisa tegak tanpa keyakinan hidup. Keyakinan hidup itu diberikan oleh Islam kepada bangsa Turki.
Bila tadinya mereka meremehkan keyakinan hidup itu, Islam itu, sekarang mereka mulai menjunjung tingginya. Mereka mulai menggali kekuatan dan vitalitas Turki dari Islam supaya dapat mengatasi tantangan Turki, supaya dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa Eropa yang lebih maju.
Apa yang terjadi setelah mereka menggali dan mengembangkan keyakinan hidup bangsanya itu bagi kemajuan Turki, mereka mulai berderap kencang maju ke depan. Mereka mulai berkembang sebagai suatu kolektivitas.
Sementara itu, kita Indonesia, sangat terlambat soal menggali kembali keyakinan hidup mayoritas anak bangsa bagi kemajuan kita secara kolektif. Malahan islamofobia seolah diam-diam dihembuskan. Inilah yang akan menghambat bangsa ini untuk mencapai keutuhan jiwanya, menemukan vitalitasnya.
Pemimpin yang tidak mengerti atau sengaja mengabaikan masalah pentingnya mengembangkan keyakinan hidup mayoritas anak bangsa bagi tegak dan majunya Indonesia, maka dia sebenarnya tengah menjerumuskan Indonesia jadi tawanan dan mangsa bangsa-bangsa asing. Dapatkah kita membiarkan beraksinya pemimpin yang mencelakan seperti itu?
~ John Mortir