Diskusi Majelis Akhir Zaman: Fir’aun ‘Ngrogo’ Sukma

Nusantarakini.com, Jakarta –

Ustad Sayuti Asyathri menjelaskan bahwa Fir’aun bukan nama orang, karena di zaman Fir’aun ada sejumlah nama penguasa. Maka Fir’aun adalah sebuah nama generik untuk suatu sistem kekuasaan yang menuhankan diri sendiri.

Membicarakan Firaun sebagai sebuah topik untuk Indonesia saat ini sangat relevan, karena perkembangan dialektika kebangsaan yang sedang menghadapi kekuasaan bercorak Fir’aunis telah berada di puncak puncak manifestasi jati dirinya.

Secanggih apapun sihir Fir’aun, teknologi hanya alat dari sebuah sistem cita cita. Dalam konteks Fir’aun maka kegemilangan pencapaian teknologi Fir’aun seperti dalam pembangunan Piramida yang monumental bisa dicapai karena ia adalah manifestasi dari kebutuhan ‘ketuhanan’ Firaun dalam mengungkapkan keagungan kekuasaannya. Hal itu memperlhatkan bahwa pencapaian teknologi adalah hasil dari sebuah sistem cita cita, sehingga pencapaian tersebut tidak berdiri sendiri, ia bukan tanpa nilai nilai yang mendong kelahirannya.

Sampai sejauh ini, dengan melihat berbagai ‘keajaiban’ teknologi dalam penciptaan Piramid, para ilmuwan masih belum bisa menyimpulkan apakah prestasi itu hanya dicapai dengan kemampuan manusia biasa. Setelah melakukan berbagai simulasi sebagian ilmuwan kemudian mengaitkan kemampuan dan prestasi tersebut bersumber dari ‘dunia lain’ melampaui kemampuan manusia biasa.

Fir’aun menggunakan ilmu noetic, tetapi Musa juga melawannya dengan noetic. Tapi Musa hanya dalam konteks aplikatif, dan yang membimbing Musa as adalah Khidir as. Nabi musa terlihat lugu didepan nabi Khidir. Nabi Khidir menganggap nabi Musa tidak sabar. Walaupun begitu, kegusaran dan ketidaksabaran nabi Musa adalah ketidaksabaran ideologis.

Sosok Khidir tidaklah sempurna tanpa Musa, begitu pula sebaliknya, mereka saling membutuhkan. Sebagimana kekuatan hikmat kebijaksanaan Khidir membutuhkan para eksekutor seperti diperankan oleh Musa as.

Sejatinya Musa tidak menolak materialisme dan pencapaian tekonologid infrastruktur yang dihasilkan Fir’aun. Karena prestasi neotic dalam dimensi science tersebut adalah asset sejarah dan kemanusiaan. Tuhan menyuruh Musa untuk melawan logika dibalik prestasi proyek materialisme Fir’aun yang gemilang itu. Musa tidak menolak infrastruktur, tapi tata kelola dan fungsi infrastruktur yang dihasilkan Fir’aun. Karena infrastruktur tersebut diciptakan untuk melayani ego ketuhanan Fir’aun sedemikian rupa sehingga perbudakannya terhadap Bani Israel selama ratusan tahun tidak dianggap sebagai suatu bentuk penghinaan terhadap manusia dan kemanusia. Merasa sebagai tuhan, maka Fir’aun menganggap bahwa kebenaran adalah dirinya dan berasal darinya. Dialah yang menentukan nilai kebenaran, termasuk nilai manusia dan kemanusiaan.

Sihir Fir’aun memanipulasi kata benda dengan kata sifat, bahwa kata benda seperti toleransi misalnya harus diberikan oleh rakyat dan para budak terhadapnya, tetapi ia sendiri menolak untuk menempatkan batas batasnya yang berlaku juga bagi dirinya. Toleransi sebagai kata benda dihegemoni tafsirnya oleh Fir’aun karena ia merasa dirinya sebagai Tuhan sehingga semua pengabdian untuk dirinya. Dengan begitu maka kata benda toleransi kehilangan kata sifat asasinya yakni adil. Maka keadilan dalam pengertian manusia telah dihilangkan oleh Fir’aun dalam kamus kekuasaannya.

Tongkat Musa melawan ular Fir’aun, dapat dimaknai sebagai kekuatan argumentasi melawan narasi tipu daya Fir’aun yang dikawal oleh tiga pembantu utamanya yakni, Bal’am sebagai ulama curang yang bekerja memberikan dalil keagamaan palsu untuk menjustifikasi kekuasaan dan otoritas Fir’aun, ia dibantu juga Haman yang berfungsi sebagai ilmuwan intelektual yang menyusun argumen rasional untuk Fir’aun. Fir’aun juga dibantu oleh Qorun yang menguasai perbendaharaan harta kerajaan dan digunakan mengendalikan kekuasaan Fir’aun.

Musa as bisa dianggap tidak cukup tuntas menghentikan firaunisme. Oleh karena itu Rasulullah saw diutus dengan Al Qur’an yang diturunkan. Dalam konteks tersebut, Al-Qur’an adalah metode untuk menghadapi neo firaunisme.

Tapi Fir’aun, di zamannya, tidak melakukan imperialisme dan ekspansi. Dan kekuasaannya tidak menggunakan proxy untuk menaklukkan bangsa bangsa lain di luar Mesir dan sekitarnya. Sementara Neo firaunisme sekarang menggunakan soft power approach untuk menguasai peradaban di luar wilayahnya melalui proksi proksi..

Wibowo Arief memantik dengan pernyataan bahwa di non islam, teknologi Fir’aun dikuasai. jadi tidak mungkin teknologi tersebut jelek atau syirik semua. Noetic menjadikan manusia sebagai subyek, sehingga membutuhkan science untuk bertahan dan tidak hanya berdoa.

Haris Rusly mengasumsikan konsep kelahiran Musa persis seperti satrio piningit. Sedangkan Nabi Khidir dilihat sebagai model operasi intelijen yang bekerja secara rahasia. Konsep piramida adalah konsep segitiga atau trianggle, sebagai simbol yang juga digunakan sukarno Trisakti dan Suharto dengan Trilogi. Barat pun mempelajari dan mengambil filosofi sistem piramid dalam konsep Prisma atau lima mata dunia untuk membangun dan menata operasi menguasai dunia.

Ki Burhan Rosyidi mengingatkan bahwa Musa datang dari luar sistem. Cara mengalahkan penguasa adalah membongkar tipu daya, seperti yang dilakukan oleh Musa. Sebagai putra mahkota, kalau Musa mau berkuasa pasti bisa. Tetapi beliau tidak berpikir untuk berkuasa. Atas kehendak Allah, beliau terusir dari istana, karena keadaan saat itu tak mungkin lakukan perubahan di dalam sistem.

Selamet dalam pengertian jawa, tidak hanya untuk manusia tapi seluruh alam termasuk adikodrati. Intinya, hanya spirit Nabi Musa as yang bisa diandalkan untuk menghadapi tipu daya Neo Fir’aun. [Ziyadh/mc]