Analisa

Menyingkap Fajar Sejarah Indonesia

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Kegiatan penelitian arkeologi prasejarah yang dilakukan oleh penelitian dan pengembangan arkeologi Nasional di Gua Harimau, Sumatera Selatan, diterbitkan surat kabar Kompas edisi 29 Oktober 2010 pada rubrik Fokus.

Dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim peneliti menemukan belasan rangka manusia. Berdasarkan hasil identifikasi ahli Paleoantropologi dan Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau adalah Ras Mongoloid.

Para ahli arkeologi prasejarah sepakat, bahwa kehadiran Ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4000-3500 SM dan menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa ini.

Jadi, leluhur bangsa Indonesia sekarang adalah dari persebaran manusia prasejarah dari Tiongkok ke Sumatera. Mereka mengembara dari Yunan, wilayah barat daya Tiongkok menuju ke Vietnam. Selanjutnya melalui Muangthai ke Semenanjung Melayu. Kemudian menyeberangi Selat Malaka sampai ke Sumatera, lalu menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia.

Ada dua gelombang kedatangan Ras Mongoloid dari Tiongkok ke Indonesia. Gelombang pertama disebut Proto Melayu (melayu tua); dan gelombang kedua disebut Deutro Melayu (melayu muda).

Ras Melayu merupakan bagian dari ras Mongoloid. Mereka disebut Malayan Mongoloid. Dengan demikian sangatlah logis kalau dikatakan manusia purba Ras Mongoloid yang ditemukan di Gua Harimau di Sumatera Selatan adalah nenek moyang bangsa Indonesia.

Gelombang migrasi Ras Melayu Tua ke Indonesia sekitar 4000-3000 SM diidentifikasi dengan sebagai yang memperkenalkan perkakas dan senjata besi ke dunia termasuk kepulauan Indonesia. Sedangkan Ras Deutro Melayu (Melayu Muda) ke Indonesia terjadi antara tahun 300-200 SM.

Sejarawan Bernhard H.M Vlekke berkomentar dalam buku “Nusantara Sejarah Indonesia,” bahwa melayu tua maupun ras melayu muda termasuk satu kelompok rasial kultural yang sama dan cocok disebut orang Indonesia. Selaras dengan pandangan Hindia belanda mengenai penggolongan penduduk di zaman kolonial Hindia Belanda.

Pada waktu pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pemerintah membuat artikel 163 (SI) Indiesche Staatsregeling, membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan.

Golongan pertama yaitu golongan Eropa (ras Konkoloid). Golongan kedua, golongan Timur Asing (ras Mongoloid yang hadir di Indonesia antara tahun 221 sampai 906 M). Dan ketiga, golongan Bumi Putra (Ras Mongoloid yang hadir pada zaman prasejarah).

Penggolongan inilah yang menjadi cikal bakal penyebutan pribumi dan non pribumi produk Kolonial Hindia Belanda di kemudian hari.

Seharusnya kita jangan sampai melupakan sejarah bangsa, dan sadar bahwa sekarang ada sebutan pribumi dan non pribumi adalah hasil dari jajahan kolonial Hindia Belanda, yang memang tidak ingin rakyat Indonesia bersatu.

Sehingga dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewargaan Negara, menggantikan UU Kewargaan Negara RI Nomor 62 Tahun 1958, yang mengacu pada UU No. 3 Tahun 1946 dan perubahan Nomor 6 Tahun 1947, UU Nomor 8 Tahun 1947, yang merupakan produk Kolonial Hindia Belanda yaitu peraturan tentang NEDERLANDSCH ONDERDAANSCHAP VAN NIET NEDERLANDRES Tahun 1910.

Jadi UU No. 12 Tahun 2006 adalah produk bangsa sendiri dan merupakan anugerah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia, sebagai bagian integral dari nation Indonesia. Sehingga di mana letak kesalahan dari UU tersebut? Silahkan diuji, dan beri pencerahan untuk rakyat banyak.

Kalau pemahaman pribumi dinilai dari kehadiran nenek moyangnya yang datang terlebih dahulu dan yang non pribumi itu yang hadir di kemudian hari, itu adalah pemahaman kolonial Hindia Belanda yang memang mereka itu beda Ras; karena mereka itu Ras Konkoloid (merah). Ini tidak perlu diuji, cukup baca buku sejarah.

Secara universal pemahaman pribumi dan cinta tanah air adalah rasa memiliki tanah air, dan rasa tanggung jawab maju dan mundur bangsa; serta rasa dan keinginan untuk berpartisipasi dan berbuat sesuatu untuk bangsa dan Negara. Walau sekecil apapun, ini akan lebih bermakna daripada warna kulit dan asal-usul keturunan.

Saya sangat apresiasi pidato negarawan Bapak Rizal Ramli dalam perayaan HUT RI Ke-72 di kampus Universitas Bung Karno, dan sangat layak diapresiasi masyarakat luas. Beliau menyatakan bahwa bangsa kita akan semakin tertinggal di regional Asia maupun dunia global, jika terus berkutat pada persoalan yang dipicu oleh aksi yang memperruncing perbedaan suku, agama, ras di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setelah memahami sejarah bangsa secara utuh, maka besar harapan kita, untuk kehidupan di dalam berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang, kata SARA sudah tidak lagi digunakan, karena memang tidak relevan untuk digunakan dalam kehidupan bernegara yang masyarakatnya memang satu ras. [mc]

PEDULI NKRI🇮🇩
*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi Politik, dan Budaya.

Terpopuler

To Top