Analisa

Menuju Revolusi Periode Dunia Ketiga

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Periode Dunia ke-2 Kapitalisme Liberal, saat diwujudkannya modernisme paska perang dunia ke-2 dan ditutup lewat Pemboman Nagasaki dan Hiroshima yang mengakhiri Perang Pasifik, melalui desain Piagam Atlantik oleh Churchill dan Roosevelt menghasilkan sebuah konsep pembangunan.

Dari para pencopet atau para bankir yang berkumpul di Bretton Woods, dan menciptakan institusi-institusi keuangan seperti Bank Dunia, IMF, IGGI, Paris Club, dll untuk menjalankan Konsep Pembangunan dari atas ke bawah yang dinamakan Marshall Plan.

Dari sinilah penjajahan ekonomi melalui hutang untuk Negara-negara berkembang (miskin). Praktek ini dikenal dengan jargon Developmentalism.

Dan saat Rezim Soeharto, hutang-hutang ini dimanfaatkan oleh para Kongsi Cina di Indonesia untuk membangun sistem konglomerasi. Dimulai dari CV. Waringin (bertempat di Gunung Sahari) dengan core business tepung dan rentenir; dimana di dalamnya beranggotakan Liem Sioe Liong, Mochtar Riyadi, Ciputra dan lain-lain, dipimpin oleh Satu Kepala Naga (Liong = Naga).

Dan satu lagi saat itu Soeharto juga dipandang sebagai Satu Kepala Naga berikutnya yang menguasai politik dan militer. Sehingga para Kongsi atau Konglomerat Taipan saat itu mengangkat Soeharto dan Liem Sioe Liong sebagai Naga Kembar atau 2 Kepala Naga.

Namun Soeharto yang dididik politik melalui pendidikan politik di Pathuk, akhirnya sadar. Namun sadarnya Soeharto terlambat, karena Satu Kepala Naga ini telah melahirkan 9 Naga yang juga bercabang hingga begitu kuat. Dan Soeharto pun dimakan oleh para Konglomerat Taipan tersebut hingga dijatuhkan. Hal ini dipicu ketika Soeharto memungut 2,5-5% dari laba para Konglomerat ini untuk membangun UKM.

Dengan segala intriknya para Konglomerat Taipan ini bersekongkol dengan Amerika Serikat dan para Bankir Pencopet (para Bankir ini juga menguasai Amerika Serikat) untuk melarikan dollar ke luar negeri. Dollar ini ibarat beras, jika terjadi kelangkaan, maka Harga dollar tersebut akan tinggi. Padahal fundamental keuangan Indonesia ditopang dollar. Ketika dollar dibawa lari ke luar, maka rupiah tidak ada harganya dan mengakibatkan harga-harga bahan pokok membumbung tinggi. Karena bahan-bahan pokok juga dikuasai para Konglomerat Taipan.

Terjadilah krisis moneter dan Soeharto pun mendapat tekanan untuk digulingkan. Namun sebelum terguling Soeharto dipaksa IMF yang saat itu Managing Director IMF, Michael Camdesus mendesak Soeharto untuk menandatangani LoI untuk menarik pinjaman yang beberapa syaratnya menaikkan suku bunga Perbankan menjadi 80%, BBM dinaikkan hingga 70%, Bulog hanya boleh mengendalikan 1-2 hasil bumi. Saat itu bank-bank bangkrut seperti BCA, Danamon, dll. Tapi ini intrik Taipan juga demi menggulingkan Soeharto dan memanfaatkan Pinjaman IMF untuk memulihkan kekayaan ekonomi yang mereka bangkrutkan. Akhirnya Soeharto jatuh dan BLBI lahir.

Dan pada saat Rezim Megawati, diterbitkanya SKL (Surat Keterangan Lunas) dan Negara menanggung beban hutang yang tentunya Rakyat lah penanggung hutang riilnya.

Saat masuk periode amandemen UUD di era reformasi inilah, para Konglomerat Taipan menyehatkan kongsi-kongsinya. Namun tidak berhenti di situ, para Konglomerat Taipan mendesain Indonesia menjadi Negara Bagian Cina Raya dengan dijadikannya Jokowi sebagai Presiden. Dengan sistem model ijon dan rente ala Cina, penarikan pajak-pajak dan monopoli, Rezim Jokowi menjadikan fokus pembangunan infrastruktur sebagai kerjasama Cina demi kepentingan misi Indonesia sebagai Negara Bagian Cina Raya.

Akan tetapi situasi saat ini ternyata berbeda dengan periode Dunia ke-2. Saat ini krisis ekonomi dunia sedang melanda, sehingga penguasaan Cina ke Indonesia juga terhambat. Dan Jokowi menjadi ikon Lawak Kekuasaan. Meski gaya main kayu sering dijadikannya sebagai ancaman ke Rakyat.

Solusi Sidang Istimewa.

Untuk menyelesaikan masalah yang begitu melilit ini, sebenarnya tidak diperlukan cara-cara njlimet. Satu-satunya cara yang konstitusional adalah Sidang Istimewa dengan agenda : Cabut Mandat Jokowi-JK, Kembali ke UUD 45 asli, Perkuat Hak-hak Rakyat Pribumi dan Bentuk Pemerintah Transisi.

Dalam hal pemulihan ekonomi tentu dibutuhkan fundamental yang kuat. Di sinilah penguatan hak-hak Rakyat Pribumi menyangkut agraria (tanah di permukaan, di bawah dan di atas/ tanah, air, udara). Sedangkan MPR dikembalikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dimana Rakyat berkedudukan di atas Negara.

Dan untuk membalik keadaan dari kesalahan Marshall Plan (Developmentalism/Pembangunan dari atas ke bawah), pola pembangunan dibangun dari bawah ke atas. Oleh karena itu MPR memungkinkan diisi oleh 1 juta anggota, yang di dalamnya terdapat Tokoh-tokoh Agama, Utusan-utusan Wilayah, Utusan-utusan Golongan, Tokoh-tokoh Desa, Tokoh-tokoh Kota,Tokoh-tokoh Adat dan lain-lain.

Selain itu sistem ekonomi dirubah menjadi sistem koperasi dimana iuran-iuran Rakyat berada dalam APBN dan dikuasai langsung oleh Rakyat melalui MPR.

Di sini kedudukan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota berada di bawah MPR yang tentunya juga berada di bawah Tokoh-tokoh Desa, dll yang menjadi perwakilan Rakyat di MPR. Dan MPR sendiri berada di bawah Rakyat. Sedangkan Rakyat di bawah Allah SWT.

Jika bentuk Negara Kerakyatan ini diwujudkan segera, maka insya Allah dalam waktu sangat cepat Indonesia akan bergerak cepat ke puncak kejayaan dengan fundamental yang kuat dan kokoh.

Inilah yang saya sebut sebagai “Periode Revolusi Dunia Ke-3 Paska Modernisasi.”

*Yudi Syamhudi Suyuti, Ketua Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI). [mc]

Terpopuler

To Top