Nusantarakini.com, Jakarta –
Yang namanya kebetulan itu terjadi satu dua kali masih wajar, tapi bila terjadi berkali-kali, maka itu bisa disebut modus. Dalam matematika modus biasanya punya pola. Tidak hanya pola, tapi modus biasanya juga berisi sebuah pesan dari perancangnya, baik ia sadari ataukah tidak, dari situ kita bisa melihat yang harusnya tak terlihat
Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan kepada kita pola tersebut, sebab terlalu banyak kebetulan yang terjadi. Yang bisa kita lihat, ada upaya sistematis de-Islamisasi.
Negeri ini mayoritasnya Muslim, pemerintahnya pun Muslim, tapi aksi de-Islamisasi ini sesungguhnya sudah berjalan sangat lama, bahkan sejak negeri ini merdeka.
Pelaku de-Islamisasi ini berusaha mereduksi peran Muslim dalam kemerdekaan Indonesia, juga mengaburkan fakta bahwa Islamlah yang menjadi inspirasi kemerdekaan.
Lebih daripada itu, pelaku de-Islamisasi ini mencoba menutup fakta bahwa dulu penjajah itu datang membawa 3G yang mana itulah sumber kesengsaraan ummat di Nusantara.
Adalah gold (emas), gospel (injil), glory (jaya), yang mewakili kepentingan kapitalis, misionaris, dan imperialis. Mereka tak hanya inginkan harta, tapi juga tahta dan agama.
Maka bangkitlah perlawanan kaum Muslim oleh para ulama, yang menyeru kaum Muslim menegakkan agama Islam, yang memang musuh alami dari keserakahan.
Dari ujung barat hingga timur bergejolak, ulama memberi fatwa bahwa membela tanah dan harta bagian dari seruan agama, sebab memang begitulah penjagaan dalam Islam.
Negeri ini berhasil dimerdekakan dari penjajah, agar tak lagi pecah dan terjajah, maka disatukanlah dengan semangat yang memerdekannya, yaitu karena Allah.
Sejarah menghantarkan kita bagaimana modus ini bermula dari hilangnya 7 kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, lalu berlanjut.
Islam yang menginspirasi perjuangan gagal diinstall dalam negeri tercinta, ulama-ulama yang memperjuangkannya lalu ditekan, bahkan dikriminalisasi.
Belum usai sampai di situ, tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka pun kembali melanjutkan cita-cita ulama pendahulu seperti Ki Bagus Hadikusumo.
Sejarah kembali mencatat, upaya de-Islamisasi itu kembali berhasil, syariat Islam kembali gagal menjadi dasar negara, yang memperjuangkannya lalu dipenjara.
Tahun demi tahun berganti, namun upaya menjauhkan Islam dari kaum Muslim tak berhenti, sekulerisasi mulai merata di seantero negeri, Muslim tapi tak paham Islam.
Islam direduksi hanya sekedar ibadah ritual, sementara Allah seolah hanya ada di masjid dan bulan ramadhan, negara seolah steril dari pengawasan dan hukum Allah.
Sementara penjajahan gaya baru mulai mencengkeram negeri ini, kekayaan Indonesia dikuasai segelintir, tapi para kapitalis tidak puas, mereka inginkan lebih lagi, seluruh negeri.
Bila selama ini para kapitalis puas hanya mem-backup mereka yang berkuasa, kini mereka ingin lebih, mereka ingin jadi penguasa itu sendiri, lebih leluasa.
3G itu seolah berulang kembali, Gold-Gospel-Glory, mereka mulai menggunakan pengaruhnya lewat politik pencitraan, tak mau lagi salah kedua kalinya.
Bila dulu mereka gagal lewat penjajahan fisik, maka mereka sudah belajar, sekarang mereka coba masuk lewat perang pemikiran, penjajahan model baru.
Hampir saja mereka berhasil, hanya saja Allah berkehendak lain, terjadilah kasus Al-Maidah 51, lidah si penista jadi blunder bagi rencana besar penjajah model baru ini.
Ummat Muslim seolah bangkit dari tidur panjangnya, momen ini seolah teguran Allah sekaligus penyatu segenap ummat. Dengan gagahnya ummat membela Al-Quran.
Gerakan aqidah yang awalnya diremehkan ini menjadi gelombang raksasa yang siap melumat apapun, namun, tetap santun dalam aksinya, berakhlak mulia.
Ummat tak segan-segan mengorbankan hartanya, sila ukhuwah dengan mudah terjalin antar gerakan Islam, kelompok Islam bersatu turun ke jalan membela agamanya.
Airmata berderai saat menyaksikan kalimat takbir, tahmid, tahlil, berpadu dengan kibar bendera tauhid, senyum-senyum ikhlas yang takkan terlupakan sampai kapanpun.
Di sinilah para penjajah menjadi gerah, rencana mereka bisa hancur bila kaum Muslim bersatu dan sadar apa yang terjadi, semangat Islam naik secara drastis.
Mulailah polarisasi dilakukan untuk meredam kaum Muslim, khas cara syaitan menakut-nakuti manusia. Muncullah tuduhan-tuduhan pada mereka yang membela agamanya.
Mulai dari makar, menggoyang negara, kudeta, sampai anti-kebhinekaan, anti-pancasila, anti-NKRI, termasuk radikal, ekstrim dan benih terorisme.
Tapi ummat tak lekang keberaniannya, aksi 411 diikuti 212 begitu herois, mereka tahu persis karena Allah saja mereka bergerak, maka mereka tak takut apapun.
Ancaman ditingkatkan, ulama-ulama yang terkait aksi #BelaIslam dikriminalisasi, dicari-cari alasan untuk menjerat, mulai dari prasangka hingga murni fitnah.
Dari cara legal sampai cara nakal, kepercayaan terhadap ulama terus digerus, para penjajah menggunakan seluruh kartu yang bisa mereka mainkan, at all cost.
Sementara sang penista berusaha terus-menerus diselamatkan, mulai dari menuduh penyebar video sebagai penyebabnya, sampai aksi #BelaIslam adalah bayaran.
Mereka menggelari sang penista dan komplotannya dengan simbol kebhinnekaan, paling pancasila, paling NKRI, sunan, santri kehormatan, pokoknya dewa.
Ummat tak berhenti, karena Allah yang menggerakkan mereka, bahkan saat jaksa mencoba memainkan tuntuntan, ummat tetap setia mengawal hukum agar ditegakkan.
Alhamdulilah, sang penista mendapatkan hukumannya. De-Islamisasi yang mereka rancang sedari dulu berantakan, ummat malah makin dekat dengan Islamnya.
Tapi para penjajah ini tak mau berhenti, the show must go on. Maka dimainkanlah modus lama, de-Islamisasi degan cara yang lebih keras, lebih kasar, tak terhormat.
Bila Natsir dan kawan-kawan dulu dianggap pembangkang dan pemberontak, hari ini gelar ini juga diberikan pada mereka yang konsisten untuk memperjuangkan syariat Islam.
Dan Hizbut Tahrir mendapatkan kehormatan pertama kali untuk masuk dalam ujian ini. Wacana pembubaran dilempar, lalu lihat bagaimana reaksi ummat Muslim semuanya.
Yang ingin saya sampaikan sedari tadi, masihkah kita tak sadar bahwa ini rangkaian de-Islamisasi yang sama sejak masa penjajahan? Hanya saja beda penjajahnya.
Arus Islam yang sedemikian kuat dan dahsyat ini harus dibuat lemah. Bagaimana caranya? Bubarkan mereka, adu kelompok yang tersisa, buat saling tidak percaya.
Kali ini fitnah semua sudah mengarah ke sana, dan ujian kini bagi kita kelompok Islam adalah bagaimana tetap menyatu dan membahu menghadapi de-Islamisasi ini.
Apalah Hizbut Tahrir dibandingkan kelompok lain di negeri ini, hanya saja kita perlu ketahui, ini bagian pelemahan kekuatan ummat, satu persatu akan mendapat giliran.
Masyumi dulu pernah merasakan hal yang sama, tokoh-tokoh Islam yang sekarang kita kagumi pun pernah mendapatkan tuduhan yang sama, itu modus bukan kebetulan.
Di sisi lain, gerakan-gerakan yang mendukung penista agama walau anarkis terkesan dibiarkan, tak seperti aksi #BelaIslam yang bahkan mujahid Camis harus berjalan kaki.
Hari ini Hizbut Tahrir diwacanakan dibubarkan, wacana FPI untuk dibubarkan pun sudah diramaikan, yang berada di depan dalam amar ma’ruf nahi munkar, dihabisi dulu.
Kini ujian itu di depan mata kita, mampukah kita solid untuk senantiasa bersama dalam perjuangan ini, hingga Allah berkenan menyatukan hati-hati kita.
Yang jelas, cara-cara keras, kasar dan tak terhormat ini takkan dilakukan bila tidak ada kepanikan. Bahwasanya para penjajah itu tahu Islam di ambang kebangkitan.
Para penjajah itu mungkin sudah merancang segalanya, tapi Allah pun sudah merancang yang lainnya, dan adalah Allah yang paling indah rancangannya.
Upaya de-Islamisasi akan terus mereka lanjutkan, dan kita pun akan tetap melanjutkan dakwah apapun urusannya. Sebab dakwah takkan pernah terhenti. [mc]
*Felix Siauw, Mu’allaf Tionghoa.