Gaya Hidup

Merebaknya Zina dan Durhaka Terhadap Orang Tua, Jelas Hasil dari Sistem Demokrasi

Nusantarakini.com, Jakarta –

Salah satu ekses yang tidak terbantahkan dari sistem demokrasi yang diterapkan di dalam masyarakat ialah merebaknya zina dan membudayanya perbuatan durhaka kepada orang tua oleh anak-anak. Tidak hanya durhaka kepada orang tua, tetapi juga para istri yang terbiasa durhaka kepada para suami.

Bagaimana hal ini saling berhubungan dengan demokrasi?

Demokrasi adalah cara hidup sekaligus filsafat hidup yang memandang secara mutlak persamaan antar manusia. Sialnya, demokrasi ini diterapkan tidak saja dalam praktik kenegaraan, tapi juga merembet ke berbagai lapangan hidup. Salah satunya dalam hubungan antara anak dengan orang tua, antara istri dengan suami dan antara laki-laki dan perempuan.

Sudah barang tentu, demokrasi ini memprasyaratkan sikap hidup liberal. Di sinilah sumbu masalahnya.

Karena seorang anak terbius sikap hidup liberal dan demokrasi negatif, maka dia tidak lagi memandang orang tuanya sebagai orang yang lebih mulia dari dirinya dan seorang yang wajib dijunjung dan dihormati. Akibat dari pandangan relasi anak dengan orang tua hasil negatif dari demokrasi ini, maka timbullah pembangkangan dan kedurhakaan dari anak. Beginilah awal mula psikologis mengapa kedurhakaan anak terhadap orang tua makin membudaya dewasa ini.

Kasus yang sama kedurhakaan par istri terhadap para suami juga berawal dari psikologis yang sama, hasil negatif dari sistem demokrasi yang diterapkan.

Para istri tidak lagi memandang suaminya sebagai pengganti ayahnya di dalam keluarga. Suami sama sederajat dengan istri.

Saat yang sama, para suami yang tercekoki demokrasi, juga salah kaprah: memperlakukan istri sederajat dan hanya mitra yang longgar dalan berbagai hal. Bahkan dalam seks pun, banyak suami memandang istrinya sebagai mitra seksualnya, sehingga istri tidak merasa wajib melayani suaminya.

Perselingkuhan, jelas tidak bisa dipisahkan dari pandangan relasi suami – istri yang dikotori oleh pandangan demokrasi yang negatif.

Sedangkan merebaknya perzinaan juga tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang mengkontaminasi konsep tradisional relasi perempuan dengan laki-laki.

Tidaklah kebetulan bahwa di suatu negara yang membudayakan demokrasi, tingkal perzinahannya terlihat sebagai suatu yang lumrah. Perzinahan bukan dipandang sebagai suatu perbuatan aib, terkutuk, menjijikkan dan pantas dihukum secara sosial. Malahan perzinahan di atas alasan suka sama suka malahan terkesan dimaklumi undang-undangnya.

Semua itu akibat ekses negatif dari penerapan demokrasi dalam hubungan perempuan dan laki-laki.

Insting manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk tertarik berhubungan seks dengan lawan jenisnya. Kita tidak bicara kasus khusus kaum gay dan lesbian.

Karena tertarik berhubungan seks, jika seseorang tidak dihalangi rasa malu oleh agama, budaya atau peraturan, maka dia akan menarik pasangan seksualnya ke arah itu. Bayangkan jika hal itu, bukan istrinya yang sah.

Namun bagi sistem budaya demokrasi, hal itu dianggap biasa saja. Maka jika antar kedua pihak saling berminat, karena demokrasi tidak menghalagi, terjadilah perzinahan. Dan inilah yang lumrah terjadi. Demokrasi betul-betul tidak menghalangi sedikitpun supaya perzinahan tidak terjadi. Malahan demokrasi menyuburkan supaya jalan menuju perzinahan makin lebar dan mulus dengan menumbuhkan budaya liberal dan mengeksplor insting-insting sensualitas.

Jadi, manusia memerlukan otonomi agama di dalam mengatur masyarakat dan membatasi demokrasi hanya berlaku pada urusan sirkulasi kekuasaan negara, sedangkan urusan lapangan hidup seperti relasi suami dengan istri, orang tua dengan anak, peranan demokrasi sebaiknya disingkirkan saja. Sebab, bikin kacau dan merusak.

 

~ John Mortir

Terpopuler

To Top