Nusantarakini.com, Jakarta –
Di momen lebaran, kata yang populer kembali muncul, ialah fitrah. Banyak yang memberi penjelasan tentang fitrah, tetapi yang manakah sebenarnya arti fitrah itu? Bahkan Menteri Agama sudah mewanti-wanti agar para khatib menjelaskan hakikat fitrah itu.
Fitrah manusia itu hamba Allah. Bukan hamba apa pun, apalagi hamba hawa nafsunya.
Ketika lahir, perhatikanlah seperti apa kodrat manusia itu. Dia sepenuhnya bergantung kepada kekuasaan Allah. Lahir normal atau cesar, tergantung kuasa Allah. Setelah lahir pun, tergantung kuasa Allah: apakah dia memperoleh susu dari ibunya atau tidak. Apakah kelahirannya sengsara karena ibunya miskin, atau mewah karena ayah ibunya kaya raya. Semua itu, menunjukkan betapa manusia pada awalnya sangat bergantung kepada kekuasaan Allah. Bahkan sampai seorang manusia dewasa hingga mati, bergantung kepada kekuasaan Allah.
Sayang, kesadaran bahwa kehidupan manusia amat bergantung kepada kekuasaan dan rahman rahim-Nya Allah ini, kerap lupa.
Puasa tujuannya supaya sadar akan kekuasaan Allah. Mereka yang menyadari ketergantungannya kepada kekuasaan Allah, merekalah manusia yang fitrah. Bukan manusia yang tanpa dosa karena menganggap dosanya sudah dicuci selama bulan ramadlan. Itu pandangan yang keliru.
Kesadaran kembali hidup secara fitrah ini, merupakan tujuan dari puasa. Mereka yang hidup secara fitrah, itulah hidupnya orang-orang yang bertakwa.
Fitrah manusia bergantung kepada Allah. Allah sendiri adalah tempat bergantung yang istimewa.
“Katakanlah, Dialah Allah, tunggal. Allah sang tempat bergantung. (QS. Al-Ikhlash 1-2)
Dalam satu riwayat disebutkan sebagai berikut: Berkata Ikrimah, ketika orang Yahudi berkata : “Kami beribadah kepada Uzair anak Allah”. Orang Nasrani berkata, “Kami beribadah kepada Al-Masih (Isa bin Maryam)”, berkata orang Majusi (penyembah api), “Kami beribadah kepada matahari dan bulan”. Dan orang-orang musyrikin berkata, “Kami beribadah kepada berhala.” Maka Allah turunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : قُلْ هُوَ اللَّهُ.
Jadi, ayat ini merupakan positioning akidah seorang Muslim (yang tunduk kepada Allah) terhadap kaum musyrikin, nasrani, yahudi dan majusi.
Kembali ke fitrah, kembali ke jati diri. Jati diri manusia itu apa? Jati diri manusia itu seperti bayi yang bergantung secara kuat kepada Allah atas nasib dan keselamatannya di dunia.
Inilah makna “hasbunallah wanikmal wakil”, cukuplah Allah penolong kami, dan Dialah sebaik-baik penanggungjawab urusan. (sed)