Warkop-98

Militerisasi Polisi Menurut Penulis Tionghoa

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Negara Polisi adalah istilah denoting a government that exercises power arbitrarily through the power of the police force.

Robert von Mohl menarik garis tegas antara Rechtsstaat (negara hukum) dan Polizeistaat (police state).

Contoh Negara Polisi, misalnya Uni Soviet. Di sana, polisi punya daya represif besar dan komunitas intelijen kuat (KGB). Dahulu di Jerman Timur, 2,5% orang dewasa menjadi informan Stasi. Artinya, 1 orang informan (cepu) untuk 6,5 orang penduduk.

Jerman Nazi ngetop sebagai Negara Polisi. Sekali pun lahir dari proses demokratik. Polisi mengontrol negara, sebagai bala-bantuan SS dan Gestapo.

Semasa apartheid, Pemerintah Afrika Selatan menugaskan polisi memberangus organisasi massa, membungkam suara kritis, menciduk aktifis politik, merawat kebijakan apartheid.

Pasca 9/11, War on Terrorism dimulai. Amerika memiliterisasi her police force.

Sebelum 9/11, polisi hanya gunakan tongkat penggebuk, standard pump-action shot gun dan Taser (conducted electrical weapon). Jarang pake senapan laras panjang. M-16 disimpan dalam bagasi.

Setelah Twin Tower runtuh, polisi bersenjata SS (assault rifles) dan berseragam full-battle hitam ada di mana-mana. Bandara Minneapolis dijaga polisi bersenjata M4 carbine assault rifle, senjata yang digunakan militer Amerika melawan Fallujah di Middle East.

Polisi Amerika bahkan diarahkan memiliki “soldier’s mentality”. Evolusi mentalitas “men in blue” dari “peace officer” menjadi tentara tak bisa dielakan.

Militerisasi polisi ini merupakan ancaman tersendiri bagi kebebasan sipil.

Polisi (law enforcement) dan militer sama-sama merupakan ‘legal bearers of arms’. Keduanya diberi kebebasan ‘nenteng pistol’. To some extent, mereka punya ‘lisence to kill’. Namun, keduanya berbeda dalam fungsi.

Fungsi polisi adalah law enforcement. Domain militer adalah combat. Perbedaan lain antara polisi dan militer adalah training. Polisi dilatih sebagai “peace keeping”. Bukan untuk perang.

Teroris adalah musuh negara. Sehingga “terorisme” masuk kategori kejahatan melawan negara. Setara aksi makar, subversif atau kudeta. Pertahanan negara adalah urusan militer. Jadi, tidak pas bila terorisme diserahkan kepada police force.

Di Indonesia, sama seperti Amerika, terjadi militerisasi polisi.

Bedanya, peran militer di Amerika masih krusial. Sekalipun, polisi dilengkapi senjata dan gadget militer tapi kecanggihannya masih di bawah piranti militer. Demikian juga dengan budgeting.

Sekarang, militer menjadi ujung tombak anti-terrorism spear. Sejak tahun 2006, White House’s National Strategy for Combating Terrorism menyatakan “broken old orthodoxies that once confined our counterterrorism efforts primarily to the criminal justice domain.”

Terorisme tidak lagi dipandang sebagai domain criminal justice system. Tapi sudah merupakan ancaman pertahanan negara.

Mestinya, Indonesia juga perlu merevisi ortodoksi tadi. Banyak netizen berkomentar tandas, nyatakan bila TNI yang handle terorisme: KELAR. Peristiwa Woyla jadi referensi prestasi TNI berantas teroris. Sekalipun polisi mengadopsi taktik militer, namun mereka bukan prajurit Sapta Marga. Ada sekitar 41 serangan teroris di Indonesia. Dua kali terjadi di masa Orde Baru. Sisanya pecah pasca polisi ditugasi handle masalah teroris.

Saya kira, Pemerintah perlu merevisi kebijakan soal ini. Kembalikan fungsi TNI. Jangan dengarkan provokasi sipil pseudo-aktifis macam Al Araf dan Hendardi. Urusan jabatan panglima, serahkan kepada TNI. Mereka paling tau who the fittest.

Bagi saya, Jenderal Gatot Nurmantyo masih belum tergantikan. Perannya masih dibutuhkan dalam rangka anti terrorism campaign. Ingat, ISIS mulai menguat di Philipina. Dan jangan biarkan Indonesia jadi Negara Polisi seperti Jerman Nazi atau Soviet Union.

THE END

*Zeng Wei Jian, Penulis Aktif Tionghoa [mc]

Terpopuler

To Top