Nusantarakini.com, Jakarta –
Kapitalisme itu basisnya ialah pelayanan tanpa jeda dan makin meningkat terhadap nafsu manusia, khususnya pelayanan terhadap kebutuhan biologis. Sementara puasa justru sebaliknya: pelayanan terhadap kebutuhan ruhani manusia yang membutuhkan peningkatan kedekatan kepada Penciptanya.
Dua hal ini, puasa ramadlan dan kapitalisme, dua hal yang bertolak belakang secara filosofis dan motif. Tapi kenapa kapitalisme ini tidak bubar pada bulan rumadlan. Padahal harusnya bubar. Malahan selama ramadlan aktivitas pelayanan kapitalisme terhadap kaum Muslimin makin menggebu. Iklan-iklan kapitalis yang menyediakan kelezatan, hospitality, dan semacamnya makin menggila di tv-tv dan media massa. Itu indikator bahwa kapitalisme justru makin ganas selama bulan ramadlan.
Kenapa bisa begitu? Kenapa 1 miliar muslim tidak dapat menghancurkan kapitalisme, minimal 1 bulan di bulan ramadlan?
Hipotesis sederhana bahwa sebenarnya 1 miliar muslim, mayoritas bukanlah sedang menjalankan puasa. Yang sebenarnya mereka lakukan hanyalah menahan lapar, dahaga, dan birahi selama batas imsak dan ifthar saja. Tapi setelah batas menahan itu lepas, lepas pula nafsu mereka. Malah konsumsinya lebih gila dari biasanya. Terutama ketika berbuka puasa (ifthor) hingga sahur.
Segala makanan termewah dan terlezat diburu untuk dimangsa dan dicicipi. Wajarlah kapitalisme berbasis kesenangan lidah dan kerongkongan meningkat pesat di bulan puasa.
Jadi, apa yang dilakukan oleh 1 miliar Muslim di dunia, ataupun 200 juta orang Islam di Indonesia hanya imsak saja alias menahan makan minum dan sex saja. Bukan puasa. Bukan shoum.
Puasa yang sejati harusnya tidak meningkatkan jumlah anggaran makan minum pada seseorang maupun suatu keluarga. Malahan menyusutkan biaya. Sebab, dalam sehari semalam, yang bersangkutan hanya makan dan minum cuma dua kali: saat sahur dan saat berbuka. Sarapan pagi, makan siang, makan malam, ngemil dan jajan, sudah tercoret dari agenda konsumsi harian. Tapi nyatanya, kenapa justru biaya konsumsi malah naik? Sebab yang dikonsumsi makin variatif, volume banyak, dan harga dan mutu juga meningkat. Yang tadinya tidak makan korma, sirup dan buah, selama 1 bulan ramadlan menu itu hampir jadi wajib. Lain lagi bagi orang-orang kaya, konsumsinya lebih gila-gilaan. Jadilah kapitalisme selama ramadlan menggila dan makin rakus. Tidak ada jeda kapitalisme selama ramadlan.
Karena itu, jika menghendaki puasa dapat mengoreksi dan menyusutkan kapitalisme, maka berpuasalah sebagaimana Rasulullah dan sahabatnya berpuasa.
Tujuan berpuasa, bukan untuk mengurangi bobot badan dan lingkaran perut dan pinggang. Kalau itu tujuannya, pembaca cukup diet dan joggingg saja tanpa dikaitkan dengan ibadah puasa.
Puasa adalah domain ruhani. Yang digembleng di ramadlan ini sepatutnya ruh atau jiwa. Manusia yang tersusun dari ruh dan jasad, pada saat puasa ramadlan digembleng untuk memutuskan rasa ketergantungannya dengan jasad/badan yang menjadi cangkang dan kenderaannya.
Di sini ruh digembleng dengan kesadaran penuh untuk mendekat ke asalnya, yaitu Allah subhana wata’ala. Sholat atau koneksi dengan Allah digenjot pada malam-malam ramadlan. Makan dan minum dikurangi. Kelezatan dan kenikmatan ragawi distop dan dikurangi hingga dirasa tidak penting lagi.
Bagaimana pembaca, apakah puasa Anda sudah menjadi puasa ruhani atau hanya sekedar imsak sahaja?
~ Syahrul Efendi Dasopang