Warkop-98

Renungan Pasca Langkah ‘Instan’ dan ‘Kampungan’ Pembubaran Ormas yang Dituduh Anti Pancasila

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Seri 1

RENUNGAN PASCA LANGKAH “INSTAN” DAN “KAMPUNGAN” PEMBUBARAN ORMAS YANG DITUDUH ANTI PANCASILA

(Bagaimana Dengan UUD Amandemen dan Globalisasi Pasar Bebas Yang Bertentangan Dengan Pancasila?)

Oleh: Haris Rusly
(Petisi 28 dan Kepala Pusat Nusantara Pasifik)
Soal “instan”, persis seperti mie instan, cepat saji dan sangat nikmat untuk dikonsumsi. Kebijakan yang bersifat instan itu sama bahayanya dengan mengkonsumsi mie instan. Nikmatnya sesaat, tapi resiko yang harus diterima berupa tertimbunnya racun di dalam tubuh, dapat memicu berbagai jenis kanker secara jangka panjang.

Soal “kampungan”, tentu sebagian besar kita memang anak kampung, lahir dan dibesarkan di kampung. Tapi, jangan sampai mental dan perilaku kita juga “katro” atau “kampungan”. Sangat berbahaya jika para petinggi negara bermental dan berperilaku “kampungan”.

Istilah “kampungan” di sini merujuk pada mental dan sikap terbelakang atau tidak tahu tata krama dan tata cara, semau gue, sakarepe dewe. Berbeda pengertian dengan “kampung”, yang berasal dari kata “campo” yang diambil dari bahasa Portugis, artinya tempat berkemah, tempat yang menyenangkan dengan pemandangan yang indah mempesona.

Kebijakan “Instan” dan “Kampungan”

Bagaimana dengan maklumat yang disampaikan Pemerintahan Joko Widodo, melalui Kantor Menkopolhukam, untuk membubarkan organisasi yang dituduh bertentangan dengan Pancasila? Tentu kami nilai kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat “instan”, cepat saji, “mendadak Pancasilais”. Tidak untuk untuk menyelesaikan masalah. Hanya untuk tujuan sesaat, yaitu pencitraan, biar kelihatan tegas dan berani.

Kebijakan tersebut mencerminkan watak asli dari Pemerintahan Joko Widodo yang tidak mau menggunakan otaknya, berpikir keras, dalam mengatasi setiap permasalahan negara. Dampak dari kebijakan yang bersifat instan tersebut dapat menimbun racun yang memici beragam kanker di dalam tubuh NKRI.

Watak asli yang instan dan kampungan juga terlihat dari kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, ketika tak cukup duit APBN untuk biayai pembangunan infrastruktur, ya tinggal ngutang. Jika dana dari utang tidak mencukupi atau tidak ada lagi yang percaya untuk ngutangin, ya tinggal jual asset BUMN.

Saking instannya, bahkan dana tabungan haji dan dana asuransi pekerja pun kabarnya mau dipakai untuk biaya bangun infrastruktur. Bila perlu kedaulatan negara dijual dengan harga yang semurah mungkin untuk tujuan pembangunan infrastruktur.

Tak ada pertimbangan dengan menggunakan hukum kausalitas, sebab akibat, terhadap setiap kebijakan yang dibuat. Tak ada ada pertimbangan multi sektor, padahal kebijakan yang dinilai positif di satu sektor dapat menjadi sebab bagi kacaunya sektor yang lain. Bahkan kebijakan yang instan tersebut tak mempertimbangkan akibat di masa depan yang akan menyandera negara dan ditanggung oleh anak cucu.

Demikian juga kebijakan instan dalam politik penegakan hukum juga terlihat dari cara-cara primitif, kampungan dan tidak beradab dalam menghadapi perbedaan pandangan politik dengan oposisi. Mereka yang berseberangan secara politik dihadapi secara instan, ditempatkan sebagai musuh negara, dianggap tidak “merah putih”, dituduh “makar”, lalu dipenjarain, atau dikriminalisasi dengan berbagai alasan yang dicari-cari dan dibuat-buat.

Jika dalam mengatasi masalah ekonomi hanya dengan cara menimbun utang dan jual asset BUMN, lalu apa bedanya antara Pemerintah dengan nenek-nenek di kampung yang sudah pikun, yang suka ngutang dan jual harta untuk beli pinang dan siri. Untuk apa sekolah ilmu ekonomi setinggi langit, jika jalan keluar dalam menghadapi setiap krisis ekonomi hanya dengan kebijakan menimbun utang dan jual asset?

Jika dalam menghadapi perbedaan pandangan politik hanya dengan main tangkap, main gebuk, bubarkan Ormas ini dan itu, lalu apa bedanya Pemerintah dengan “geng motor” dan ormas-ormas yang hobi rebutan lahan dan bikin tawuran?

Untuk apa para pimpinan negara dan petinggi penegak hukum itu sekolah setinggi langit hingga pada jadi doktor, jika mereka tak gunakan otak mereka dalam mengatasi perbedaan politik yang lumrah di alam demokrasi, langsung main tangkap, kriminalisasi, tanpa langkah persuasi?

Untuk apa mereka belajar ilmu sosial, jika mereka sendiri tak paham medan sosioligis dan psikologis dari masyarakat kita. Makin dalam mereka pelajari berbagai teori ilmu sosial justru membuat mereka makin “keminter”, angkuh dan makin”asosial” atau makin terpisah dari dari masyarakat yang dipimpinnya.

Makin banyak buku buku teori sosial dan politik yang mereka baca dan pelajari, malah makin membuat mereka tak paham terhadap medan sosio-psikologis masyarakat Indonesia. Mereka sedang membangun istana di atas awan, kakinya tak mau lagi menyentuh bumi.

Bukankah politik itu adalah seni dalam mencapai tujuan. Kata Sun Tzu, “memenangkan seratus pertempuran bukanlah pencapain utama, pencaipain utama sesungguhnya adalah mengalahkan musuh tanpa datang ke medan pertempuran”. Sun Tzu mengajarkan kita menggunakan otak, bukan otot, dalam memenangkan peperangan.

Tunjukan di mana letaknya otak bekerja jika setiap perbedaan politik dihadapi dengan main tangkap dan kriminalisasi? Di mana seninya politik jika setiap perbedaan pandangan dan kritik dihadapi secara linier, normatif dan formalistik, yaitu kriminalisasi, tangkap dan penjarakan.

Bukankah seni tertinggi dari politik itu adalah ketika kita berhasil menempatkan musuh yang berseberangan dengan kita sebagi potensi dan instrumen untuk memperkuat kekuatan kita dalam memenangkan peperangan tanpa pertempuran?

Kedepankan Langkah Preventif

Karena itu, kami nilai langkah represif seperti itu menunjukan tidak bekerjanya “otak” dalam mengelola negara. Tidak adanya seni dalam mencapai tujuan yang adhi luhung.

Langkah represif dan “barbar” tersebut juga menunjukan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam berdialog dan berdebat untuk meyakinkan orang-orang yang pandangannya berbeda dengan negara dan pemerintah dalam melihat sebuah permasalahan.

Pemerintah Jokowi telah gagal menggunakan fungsi-fungsi “otak-nya” dalam meyakinkan rakyat terkait nilai-nilai dasar bersama yang mengikat kita sebagai satu bangsa melalui lisan, tulisan dan serangkaian tindakan kebijakan yang kompatibel antar satu dengan yang lainnya.

Memangnya keyakinan dan pandangan seseorang bisa “dibubarkan” melalui jalan membubarkan Ormasnya? Bahkan penjara dan laras senapan pun tak akan mampu memandamkan berkobarnya keyakinan seseorang.

Untuk itu, masalah penyimpangan pandangan oleh sekelompok warga negara, seharusnya pemerintah selaku pemegang otoritas tidak bertindak secara instan dan kampungan. Kebijakan yang instan dan kampungan bisa menjadi senjata makan tuan, sangat berbahaya bagi kelangsungan negara.

Tujuannya untuk memadamkan api yang berkobar, tapi menyiramkannya pakai bensin yang tersedia, apinya justru makin berkobar kobar. Mungkin bagi pemerintah, yang penting ketika kamera berbagai televisi menyorot, nampak jelas terlihat adanya aktivitas pemadaman, tak penting apinya padam.

Maunya untuk menghentikan tuduhan penyimpangan pandangan oleh segolongan orang di dalam masyarakat, tapi dengan tindakan yang tidak tepat waktu, tepat cara, tepat sasaran dan tetap takaran, akibatnya paham yang dituduh menyimpang tersebut malah menuai simpati luas dari masyarakat.

Bahkan, secara jangka pendek, kebijakan “instan” tersebut menempatkan pemerintah sebagai juru propaganda terhadap ormas yang pandangannya dituduh menyimpang tersebut. Masyarakat luas malah bersimpati dan makin berhasrat untuk mengetahui seluk beluk dari ajaran yang dianggap menyimpan tersebut.

Dalam pandangan kami, semestinya pemerintah terlebih dahulu menempuh dan mendahulukan langkah prefentif, yaitu pendekatan intelijen.
Langkah represif penegakan hukum yang dilakukan secara gegabah, yaitu dengan menyampaikan maklumat membubarkan Ormas atau lainnya sangat tidak tepat takaran, terutama jika penyimpangan pandangan tersebut tidak disertai fakta tindak pindana pelanggaran hukum, seperti meledakan bom, menggunakan perlawanan bersenjata, dll.

Namun perlu juga menjadi catatan kita, langkah prefentif tersebut tak bisa lagi menggunakan pendekatan projek instan, yaitu untuk tujuan cari keuntungan pribadi melalui projek deradikalisasi, projek peternakan dan pembunuhan teroris, hingga projek sosialisasi empat pilar yang digalakan oleh MPR yang telah menelan anggaran triliunan rupiah.

Bayangkan, sudah berapa triliun anggaran negara telah habis dimangsa dalam projek instan, mulai dari projek ternak-bunuh terduga teroris, projek deradikalisasi hingga sosialisasi empat pilar berbangsa oleh MPR, namun hasilnya paham yang dituduh menyimpang dari dasar negara justru makin tumbuh subur, Pancasila malah makin dijauhi.

Sudah waktunya pendekatan projek instan yang hanya menggendutkan rekening segelintir pejabat negara dan politisi tersebut harus dievaluasi dan diperbaharui. Kenyataannya, makin gencarnya projek deradikalisaai dan sosialisasi empat pilar berbangsa ternyata tidak berbanding lurus dengan meluasnya pemahaman warga negara untuk menerima dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.

Di sisi yang lain, gagalnya projek deradikaliasasi dan sosialisasi empat pilar berbangsa lantaran kelakuannya elite politik Parpol dan para pejabat negara yang bicara soal nilai-nilai Pancasila, tapi perbuatannya justru tak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Di satu sisi mereka berbusa busa bicara tentang pentinganya pengamalan Pancasila, menjaga keutuhan NKRI dan merawat kebhinekaan, tapi di sisi yang lain mereka bertindak dan berbuat yang bertentangan dengan ucapannya, mereka menyuap dan menipu rakyat di saat pemilu, merampok uang rakyat dan menjadi jongosnya para taipan dan kacungnya kepentingan asing.

Rakyat disuruh jaga NKRI, tapi mereka sendiri justru menjual negara ke asing dan taipan. Rakyat diceramahi untuk mengamalkan Pancasila, tapi mereka sendiri sibuk menginjak-injak nilai-nilai Pancasila, mereka merampok harta negara untuk memperkaya diri.

Tentang bagaimana sikap diskriminatif pemerintahan Joko Widodo dalam menyikapi UUD Amandemen dan globalisasi pasar bebas yang telah diadopsi ke dalam hukum positif dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila, akan kami tulis pada seri berikutnya. [mc]

(Bersambung…)

 

Terpopuler

To Top