Nusantarakini.com, Jakarta –
Dampak jangka menengah dari berpaling politik ekonomi terutama kerjasama ekonomi Indonesia ke Cina (RRC) menimbulkan dampak jangka menengah. Yakni negara Indonesia niscaya dibanjiri berbagai produk konsumen dan sejenis dari Cina dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan (hidup) kalangan pekerja asal Cina dimaksud. Bagaimanapun juga, membanjir produk konsumen dan sejenis dari Cina akan membawa dampak negatif terhadap kondisi kehidupan usaha industri produk konsumen dan sejenis dalam negeri.
Ada perkiraan, beberapa tahun ke depan Indonesia akan menjadi negara konsumen produk Cina dengan harga lebih murah ketimbang produk lokal. Dikhawatirkan, para investor asing akan mengalihkan investasi dan dana dari Indonesia ke Cina dan Vietnam. Akibatnya, terjadi pengangguran besar-besaran tenaga kerja/buruh lokal.
Indonesia adalah negara menyimpan berbagai macam potensi SDA dan juga SDM. Relatif banyak orang memiliki inovasi dan ide kreatif dalam menciptakan sebuah produk baru. Namun, faktanya inovasi dan ide kreatif cemerlang itu melemah dan tidak berlanjut sebagai produk industri. Dilain pihak,
Konsumen di Indonesia, cenderung membeli dan mengkonsumsi produk dari luar negeri. Padahal, banyak produk Indonesia yang tidak kalah bagus.
Kondisi Indonesia kini dibanjiri produk impor dari Cina yang bisa mengungguli produk lokal dan harga jauh lebih rendah. Akibatnya, konsumen lokal lebih meminati produk Cina, bukan produk lokal. Kondisi ini lambat laun bisa mematikan/menutup perusahaan lokal, terutama UKM dan meningkatkan penggangguran. Kondisi ini juga akan kian mengurangi investasi asing karena mereka mengalihkan dana ke negara lain sebagai basis produksi ke pasar Indonesia. Hal ini akan menekan ekspor Indonesia ke pasar dan impor barang dari negara lain akan makin banyak masuk ke Indonesia.
Harus ada upaya membendung masuknya produk konsumen dan sejenis dari Cina ini.
Sebagai contoh, impor produk elektronika dan telematika meningkat tajam dalam lima tahun
terakhir. Rata2 mencapai 59,31% per tahun. Mayoritas produk impor elektronika dan telematika, paling besar berasal dari China.
Hasil survei Kementrian Perindustrian menyimpulkan, pemberlakuan ASEAN-China Free Agreement (ACFTA) telah menciutkan pasar produksi produk dalam negeri. Produk elektronik asal China terlaris jenis laptop dan telepon seluler (ponsel). Total nilai impornya Rp 52 triliun di tahun 2011. Laptop dan ponsel mendominasi produk impor tersebut.
Impor laptop memberikan kontribusi terbesar yakni sekitar US$ 1 miliar atau Rp 9 triliun atau naik 15,04 %. Akibatnya impor produk China langsung membanjiri pasar lokal lantaran belum adanya tameng pelindung non tarif dan juga industri dalam negeri mengalami penurunan penjualan, merosotnya keuntungan hingga pengurangan tenaga kerja.
Diakui, keunggulan produk elektronik China ini dan berani menjual dengan harga miring. Pemerintah China memberi insentif dan ditunjang infrastruktur memadai. Proses pengalihan teknologi pun bisa dilakukan dengan cepat.
Mengapa produk Cina sangat murah? Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat era Rezim SBY:
1. Cina memiliki keunggulan peraturan memberikan insentif pajak. Potongan dari 6% sampai 13,5%.
2. Praktik pungutan liar (Pungli) di Cina sudah lebih tertib.
3. Cina bisa jual 1% sampai 2% (margin) tapi dapat tambahan dari pemerintah.
4. Pemerintah Cina juga memberikan bunga kredit rendah untuk sektor Industri. Bunga kredit hanya 4% sampai 5%
Dampak menurunnya produk konsumen dan sejenis dalam negeri antara lain:
1. Produksi nasional, terutama UKM, menurun.
2. Investasi asing berpindah al. ke Cina dan Vietnam.
4. PHK terjadi dimana-mana.
5. Lapangan kerja menurun dan semakin sedikit.
6. Pengangguran meningkat.
6. Kesejahteraan rakyat kian memburuk.
Rezim Jokowi untuk mengelola dampak jangka menengah ini antara lain harus melakukan pembatasan produk konsumen sejenis dari Cina. Rezim Jokowi harus memproteksi, mendanai dan memfasilitasi melalui beragam kebijakan terutama UKM bergerak di bidang produk konsumen dan sejenis. [mc]
*Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Politik dan Pemerintahan NSEAS (Network for South East Asian Studies)