Nusantarakini.com, Jakarta –
NEGARA FEDERAL REPUBLIK
PAPUA BARAT (NFRPB):
AKSI MAKAR DAN PENGGERUSAN ELEKTABILITAS JOKOWI
Oleh: Muchtar Effendi Harahap
Kasus munculnya kelompok mengatasnamakan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) bisa menimbulkan tiga pertanyaan.
Pertama, mengapa kelompok organisasi Papua Barat ini memilih “federal” sebagai bentuk negara yang mereka cita-citakan? Mengapa tidak mencontoh negara Indonesia NKRI atau “Sentralistik”? Sungguh pilihan bentuk negara federal ini suatu pemikiran bervisi jauh ke depan.
Kedua, apakah tindakan kelompok orang Papua Barat ini tidak tergolong “makar”? Kalau tidak tergolong makar, tergolong tindak pidana apa? Kalau makar, mengapa tidak ada tindakan penegakan hukum kepada mereka? Padahal aktivis baru mau demo saja di Jakarta, sudah ditangkap dengan tuduhan makar.
Ketiga, apakah kasus ini bisa menggerus elektabilitas Jokowi menuju Pilpres 2019. Dengan pertanyaan lain, apakah gerakan orang Papua Barat ini membawa dampak negatif pada persepsi publik tentang kemampuan dan prestasi Jokowi urus pertahanan dan integrasi politik nasional ?
Ketiga pertanyaan di atas sungguh menarik untuk dijawab. Namun, saya hanya fokus pada pertanyaan ketiga, terkait penggerusan elektabilitas Jokowi.
Bagaimanapun juga, kasus Papua Barat ini dapat menggerus elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2019. Kelompok orang Papua Barat ini terang-terangan menyurati Presiden Jokowi. Isinya, menawarkan upaya perundingan damai NKRI dan NFRPB untuk mengakui sebuah negara di Papua.
“Surat tersebut telah diantar ke Jakarta pada 7 Maret lalu dengan 40 tembusan,” kata Elias Ayakeding, Kepala Kepolisian Negara Federal di Prima Garden Abepura. Mereka juga mengklaim, Negara Federal Republik Papua Barat ini telah didaftarkan di PBB.
Dilansir dari Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group), ada enam poin dalam surat ini.
Pertama. hasil ketetapan Kongres Rakyat Papua (KRP) III tertanggal 17 – 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus, Abepura.
Kedua, deklarasi secara sepihak atau Unilateral Declaration of Independence (UDI) Bangsa Papua di Negeri Papua Barat pada tanggal 19 Oktober 2011 dalam KRP III adalah dasar hukum kebisaan internasional (Internasional Custom Law) yang mendorong terbentuknya NFRPB.
Ketiga berdasar UDI, NRFPB secara otomatis telah mendapat predikat subjek internasional yang dikenal dengan Belligerent yang artinya negara yang sedang berjuang untuk mendapat pengakuan dan peralihan kedaulatan administrasi pemerintahan atas wilayah dan rakyatnya.
Keempat, dengan UDI, Bangsa Papua di Papua Barat dan NFRPB sebagai subjek hukum internasional baru muncul maka, New York Agreement sebagai hukum perjanjian internasional antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia dinyatakan hilang dan tidak berlaku lagi.
Kelima, UDI Bangsa Papua adalah pernyataan pemulihan kemerdekaan atas mantan wilayah koloni Nederlands Nieuw Guinea (Papua Belanda) dianeksasi oleh Pemerintah Indonesia.
Keenam, Indonesia juga menyatakan kemerdekaan dengan menempuh jalan sama, melalui unilateral act atau pernyataan sepihak dalam bentuk proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan secara otomatis mendapat predikat subjek hukum internasional yang dikenal dengan belligerent.
Kasus politik disintegrasi ini mendapat tanggapan publik beragam, namun menantang agar Jokowi selesaikan. Sebagian menilai, kelompok ini lakukan tindakan “makar”, tetapi tidak ada reaksi Jokowi. Mengapa Jokowi tidak bertindak atau menangkap para pelaku? Silakan pembaca jawab sendiri.
Jika kasus ini berkelanjutan, maka wajar muncul penilaian, Rezim Jokowi tak mampu dan gagal mempertahankan eksistensi integrasi negara RI. Akibatnya lanjut, dapat mengurangi elektabilitas Jokowi bagi rakyat Indonesia. [mc]
*Penulis adalah Peneliti Politik/Pemerintahan Network for South East Asian Studies (NSEAS)