Analisa

Mengapa Ahok Harus Kalah?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Pilkada DKI putaran dua, tinggal dua pekan lagi. Bila kita mencermati beberapa hasil survei, pasangan Ahok-Djarot akan kalah. Setidaknya dua lembaga, Median dan Lingkaran Survei Indonesia, yang telah melansir hasilnya surveinya menyatakan itu. Survei internal Tim Anies-Sandi juga mengkonfirmasi bahwa Ahok-Djarot akan keok.

Tapi bagi anda para pendukung Anies-Sandi jangan terlalu gembira dulu, apalagi segera menepuk dada. Pada hari H hitung-hitungannya bisa terbalik-balik. Pertempuran belum dimenangkan, apalagi perang. Masih jauh.

Yang anda hadapi bukanlah Ahok sebagai pribadi, apalagi Djarot. Yang anda hadapi adalah sebuah kekuatan besar, yakni para oligarki . Mereka adalah segelintir orang, pemilik modal yang mempunyai kekuatan dana yang luar biasa dahsyat. Dengan kekuatannya mereka bisa mengkooptasi, mulai dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, lembaga keagamaan, LSM, akademisi, lembaga survei, media, para cerdik pandai dan bahkan para tokoh agama. Merekalah penguasa Indonesia sesungguhnya.

Ahok hanyalah proxy, pion yang mereka gunakan untuk menjajaki dalamnya air perpolitikan di tanah air. Tesis yang mereka gunakan : Bila Jakarta bisa mereka tundukkan, maka penguasaan terhadap Indonesia, tinggal menunggu waktu dan semudah membalikkan telapak tangan. BAGI MEREKA, BILA AHOK KALAH, MAKA MEREKA HANYA MUNDUR SELANGKAH. TAPI BILA AHOK MENANG, MAKA MEREKA AKAN MAJU SERIBU LANGKAH.

Mengapa begitu? Realitas hari ini sesungguhnya mereka telah menguasai Indonesia. Secara de facto dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki, Indonesia sudah dalam genggaman mereka. Inilah momentumnya. Mereka tinggal maju selangkah lagi, maka secara de jure dan de facto Indonesia sudah mereka kuasai sepenuhnya. Simbol secara de jure adalah bila Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI. Kemudian didorong menjadi Wapres pada Pilpres 2019 dan tinggal pada waktunya menjadi Presiden. Sempurnalah semuanya.

Ibarat sebuah pasukan yang ingin menduduki sebuah wilayah, mereka sesungguhnya telah menguasai medan pertempuran darat, laut dan udara. Tinggal selangkah lagi untuk menyempurnakan pendudukan. Mereka dibantu oleh para kolaborator, penduduk wilayah setempat yang rela menjual kehormatan dan bahkan wilayahnya, untuk sebuah kenikmatan semu dan kekuasaan sesaat. Dengan penguasaan media (sosial dan konvensional) mereka berhasil membangun opini, mencuci otak dan mengadu domba antar warga.

Lihatlah apa yang terjadi di ruang-ruang kehidupan Jakarta hari ini. Caci maki, saling umpat, sumpah serapah, fitnah, saling curiga, bahkan beberapa kekerasan fisik memenuhi udara kota. Imbasnya bahkan telah menyebar ke seluruh Indonesia. Sanak saudara tercerai berai, persahabatan terputus, hubungan antar tetangga terganggu, hubungan antar umat sesama agama dan antar umat beragama menegang dan terpecah belah. Persis seperti baju seragam yang dikenakan Ahok-Djarot dan para pendukungnya, masyarakat Indonesia menjadi ter-KOTAK-KOTAK.

Pencalonan Ahok sebagai Gubernur Jakarta— baca ambisi para oligarki untuk menguasai Indonesia —sungguh mempunyai daya rusak yang luar biasa. Semua lembaga pemerintah, aparat penegak hukum, partai politik, menjadi mandul tak berdaya ketika berhadapan dengan seorang yang bernama Ahok.

Ketika Ahok melakukan penistaan agama, aparat kepolisian tidak bertindak apa-apa. Perlu jutaan orang berkumpul dan berunjuk rasa, untuk menggerakkan polisi menjadikan Ahok sebagai tersangka. Ketika Ahok menjadi tersangka bahkan kemudian menjadi terdakwa, Mendagri tidak mau, tidak berani memberhentikan Ahok sebagai Gubernur. Berbagai dalih dengan berlindung di balik aturan, mereka kemukakan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak diagung-agungkan sebagai satu-satunya lembaga paling bisa dipercaya, ketika berhadapan dengan Ahok, berubah dari harimau yang ditakuti, menjadi kucing kampung yang disiram air. Dalam kasus pembelian RS Sumber Waras sudah dengan jelas dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada unsur korupsi, namun KPK menolak menggunakan sebagai dasar penyidikan dan penetapan Ahok sebagai tersangka.

Partai politik yang dikhianati, ditolak, dihina dan dilecehkan oleh Ahok. Ramai-ramai dan berebut mendukungnya setelah gagal maju sebagai calon independen. Yang lebih ironis adalah partai Islam yang salah satunya menggunakan simbul ka’bah, ya ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam di seluruh dunia, rela menghamba dan bertekuk lutut di hadapan Ahok. Dua kubu PPP yang bertikai sengit dan tidak pernah bisa bersatu, tiba-tiba bisa menyatu dalam Pilkada putaran dua. Sungguh semuanya di luar nalar dan akal sehat kita.

Apakah itu semua karena kehebatan Ahok? Sekali lagi bukan. Anda salah 1.000% bila menilai Ahok adalah figur yang hebat. Figur yang sukses membangun Jakarta. Figur yang tulus bekerja untuk kepentingan rakyat Jakarta. Ahok bukan siapa-siapa, baik dari sisi profesional, maupun perilaku personal. Sebagai hamba, Ahok bekerja untuk tuannya, para cukong pemilik modal besar.

Selain tak mampu mengendalikan ucapannya, Ahok dikenal bukan figur yang setia dan tidak mempunyai idiologi yang jelas. Ketika menjadi Bupati Belitung Timur Ahok adalah anggota Partai Perhimpunan Indonesia (PPIB). Setelah kalah dalam pencalonan Gubernur Bangka-Belitung, ia kemudian lompat dan menjadi anggota DPR dari Partai Golkar. Ketika kemudian menjadi calon Wagub DKI Jakarta berpasangan dengan Jokowi, ia berganti baju menjadi anggota Partai Gerindra. Ketika menggantikan Jokowi sebagai Gubernur, giliran partai Gerindra yang ia khianati.

Nah, setelah itu mendeklarasikan diri menjadi calon independen, ia mencaci maki partai politik yang ia sebut sebagai kelompok maling dan rampok APBD. Namun setelah gagal dengan eksperimen calon independen, eh dengan mudahnya ia kemudian bermuka manis dengan para ketua partai.

Dengan track record semacam itu, Ahok bukanlah figur yang bisa dipercaya. Kalau toh sekarang ia cukup banyak mendapat dukungan, bukan karena kualitas individunya yang mumpuni, tapi karena kekuatan besar yang berada di baliknya. Pada waktunya kekuatan besar itu akan menunjukkan taringnya dan kita hanya bisa menyesali meratapi nasib. (mc)

*Hersubeno Arief, Konsultan Media dan Politik

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top