Nusantarakini.com, Jakarta –
Nyaris sepekan ini aku mengalami sakit. Demam yang menggigil, kepala yang berat dan batuk yang menguras lendir ke paru-paru. Dalam kondisi semacam itu, tibalah buku yang kubeli berjudul Kisah Perjuangan Vietkong.
Buku ini kubeli hanya karena tertarik dengan kata Vietkong. Kata itu mengingatkanku tentang pejuang-pejuang Vietnam yang berperang dari lubang ke lubang bagaikan tikus. Padanya terkandung kegigihan dan pantang menyerah yang tak terperi. Hanya itu saja yang kutahu selama ini tentang vietkong. Aku membeli buku ini ingin menyelidiki dari mana energi gigih itu adanya pada bangsa Vietnam? Dapatkah Indonesia belajar dari Vietkong?
Rupanya setelah membaca sepertiga buku tersebut ternyata aku keliru tentang vietkong. Buku ini bukan bercerita tentang gerilya dari lobang tikus ke lobang tikus.
Ini adalah kisah seorang yang sangat matang, jauh dari demagogi seperti kebiasaannya orang-orang yang menulis tentang perjalanan hidupnya sendiri.
Kendati kisah hidupnya menghadapi tantangan yang kejam ke tantangan yang lebih kejam berganti-ganti, tapi dia menuturkannya dengan ringan tanpa dibuat-buat. Pendeknya, hidupnya bagaikan mengalir dari air terjun yang satu ke air terjun yang lain. Dan dia menjalaninya dengan tenang dan terkendali sekali. Dia laksana menjalani saja takdir ekstrem yang dipikulnya sampai lolos dari incaran maut jika tidak ada pertukaran tahanan antara Amerika dan NLF, organisasi tempat dimana ia berkiprah. Dia bagaikan terlempar begitu saja menjadi pembebas negerinya dari penjajah, kendati tidak ada secuil rencana pun untuk jadi semacam itu. By the way, Truong Nu Tang, itulah nama penulisnya.
Tapi bukan soal buku itu yang akan dibeberkan pada tulisan ini.
Buku itu memang menjadi cermin bagaimana suatu negeri dijajah. Penjajah Prancis yang kemudian digantikan Amerika tidaklah berhasil menancapkan pengaruhnya jika bukan didukung oleh elemen pemerintah yang egois dan tidak layak berkuasa secara moral. Itulah pangkalan sebenarnya, sarang sebenarnya beroperasinya penjajahan pada suatu negeri. Dan Vietnam telah merasakan hal itu.
Bila kita tarik pada kasus Indonesia dewasa ini, kok jadinya aku berpikir sebenarnya kita tengah terjajah. Bangsa ini, sayangnya, tidak menyadari itu! Berhubung kebanyakan dari rakyat, persepsi diri dan persepsi lingkungannya telah termanipulasi.
Apa yang dimaksud dengan manipulasi di sini ialah pengawuran. Apakah yang dimaksud ngawur? Ketika seseorang merasa dirinya benar atau memberi jawaban yang dikiranya benar padahal salah, itulah yang disebut ngawur. Mengapa dia ngawur? Ini soal persepsi dan cermin pembanding. Dia tidak memiliki cermin pembanding yang objektif.
Misalkan, seseorang menyatakan, kita tidak budaknya mereka. Kita hanya bekerja dan saling mengambil keuntungan dengan mereka. Di sini persepsi bermain dan cermin pembanding mengambil peranan.
Faktanya orang asing tempat mereka mencurahkan tenaganya itu mengambil lebih banyak keuntungan dari mereka. Mereka akhirnya tergantung, diatur dan dimanipulasi kesadarannya sebagai tuan rumah di negerinya sendiri. Mereka mempertuankan orang-orang asing.
Mereka amat senang dalam posisi sebagai pelayan, padahal bukankah mereka tuan rumah di tanah airnya. Dan mereka agak kurang mantap jika bertindak sebagai tuan pada orang asing karena terlalu lama hidup sebagai pelayan asing. Secara mental, terbiasa pelayan, canggung untuk dilayani. Inilah suasana mentalitas rakyat hingga hari ini, kemerdekaan telah berlangsung 72 tahun.
Semua ini mengindikasikan bahwa bangsa ini masih terjajah dengan baiknya.
Ketika kita memperhatikan keluarga-keluarga orang asing di Indonesia, para baby sitternya, pencuci piringnya, pencuci pakaiannya, perawat taman rumahnya, masih saja orang-orang dengan kulit coklat. Bukan orang Eropa atau orang Cina.
Ini semua menjadi penanda bahwa penjajahan itu berjalan sebagaimana yang lalu dengan irama yang sedikit berubah dan aktor yang juga mulai banyak berubah. Akan tetapi aransemennya tetaplah penjajahan.
Vietnam dapat menjadi contoh yang baik untuk menuju sepenuhnya rakyat dan bangsa yang merdeka dan berdaulat, bebas dari segala aktor penjajahan dan bentuk-bentuknya.
~ John Mortir
(Sebarkan tulisan ini sebagai wujud pertolongan Anda untuk menggugah kesadaran rakyat)