Nusantarakini.com, Jakarta –
Ternyata tidak hanya warga kelas bawah yang euforia mengelu-elukan Raja Arab itu. Warga elit pun, dari Presiden hingga anggota DPR di Senayan sampai lupa kepatutan bagaimana harusnya secara elegan memperlakukan tamu tanpa terkesan inferior.
Sungguh menggelikan betapa DPR begitu hebohnya mempersiapkan secara besar-besaran kedatangan Raja Salman ke gedung tersebut. Mulai dari lift khusus, ruangan sidang paripurna yang disolek, bunga-bungaan di kompleks disulap mencolok, hingga toilet khusus untuk Raja. Surat undangan untuk menyaksikan Raja Salman yang bersanding dengan Ketua DPR dilayangkan ke ribuan orang. Tentu saja ruangan membludak dengan peserta. Dalam alam pikiran pimpinan DPR, Raja Salman akan berpidato panjang lebar tentang membangun dunia baru bersama Indonesia. Tetapi apa yang terjadi? Raja Salman hanya sekedar mampir dan memberi sepatah dua kata. Padahal Setya Novanto sudah salah tingkah di hadapan Raja.
Yang sungguh memilukan lagi, orang-orang yang selama ini dipandang terhormat di DPR sana, berlomba adu selfie dengan Raja yang ogah selfie. Mereka tak hirau lagi dengan dirinya sebagai wakil rakyat yang terhormat. Mereka telah jatuh layaknya ABG alay ketemu penyanyi idola. Kendati harus didesak-desak minggir para pengawal raja. Memilukan sekali.
Kita tidak perlu cerita dengan adegan di istana Bogor. Presiden bolehlah bertidaklaku low profile dan informal, tapi jangan terlalu, bagaikan kesan laku seorang anak kepada orang tua. Sampai-sampai Sang Raja mendelik keheranan. Padahal belum tentu lakon semacam itu diharapkan oleh seorang Arab yang menjadi Raja.
Kenapa hal ini terjadi? Ini mungkin soal asumsi dan gap budaya yang berbeda. Kita di Indonesia menganggap bahwa keakraban dalam menyambut tamu hingga bagaikan perlakuan sebagai orang tua atau anak, dipandang suatu cara penghormatan yang amat spesial. Nyatanya tamu bukan kita yang punya budaya dan alam pikiran tersendiri. Akibatnya, menurut hemat kita, terkesan norak dan tidak elegan. Harusnya tamu negara tersebut diperlakukan bagaikan pertemuan dua kesatria yang menjalin persahabatan. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Akrab tetap terungkap dalam tindak tanduk, tapi tidak ada yang diseniorkan dan dijunjungkan.
Kesan kita cara Presiden memperlakukan Raja Salman bagaikan perlakukan seorang santri terhadap kyai sepuhnya. Tentu saja sikap semacam ini keliru.
Ditambah lagi euforia rakyat yang demikian parahnya. Seolah tengah menanti Imam Mahdi saja.
Bila dibandingkan bahasa tubuh anggota rombongan Raja Arab itu dengan bahasa tubuh orang elit Indonesia yang menyambut itu, terlihat sekali tamu lebih superior dan dingin. Sedangkan tuan rumah kelihatan bagaikan orang yang tengah kenduri besar untuk melayani seorang raja.
Dari sini kita bisa menilai bahwa bangsa ini mengidap perasaan inferior. Padahal sebenarnya bangsa Indonesia jauh lebih layak superior di hadapan dinasti Saud itu karena kekayaan aneka sumber daya alamnya, keluasan teritorialnya dan jumlah penduduknya serta nilai ekonominya yang jauh lebih bermutu.
Walhasil, memang diperlukan revolusi mental, dari mental inlander ke mental raja-raja berdaulat. Sayangnya revolusi mental yang dicanangkan Presiden itu, diluruhkan sendiri oleh Presiden dengan sikapnya yang sudah diulas di atas itu.
Ini menjadi catatan bahwa ramah itu perlu tapi jangan lebay hingga terkesan inferior. (sed)