Budaya

Fenomena Warung Ucok dari Tapsel, Begini Ceritanya Menurut Orang Betawi

Nusantarakini.com, Jakarta

Dinamika suka bangsa di Nusantara kontemporer menarik untuk diamati. Salah satunya Batak Mandailing. Tulisan ini mencoba mengangkat sisi lain dari gejala ekonomi suku bangsa Batak Mandailing di Ibukota. Tentu saja dari sudut pandang saya sebagai orang asli Jakarta.

Orang Batak dengan orang Betawi tidak pernah ada hubungan kultural seperti halnya Betawi dengan Cina, Arab, Sunda, dan Jawa serta Melayu. Saya yang dilahirkan era tahun 70-an mengenal orang Batak sejak tahun 80-an. Kala itu saya tahu orang Batak profesinya sopir metro mini. Agamanya Kristen. Itu waktu saya kecil.

Setelah kuliah di IAIN Jakarta, senior saya di HMI ada yang namanya Bang Dayan Lubis. Orang Islam, baik, sopan bahasa, tutur kata, dan perilakunya. Tidak sombong pula, apalagi senga, sok sok libral seperti kebanyakan yang kuliah di IAIN.

Suatu kesempatan pernah saya candain, “Bang gak taunya ada juga orang Batak yang Islam”. “Sembarangan ente Mi, orang Batak itu lebih Islam dari orang Betawi”, timpalnya.

Perihal orang Batak ada di Jakarta sudah cukup lama, bahkan kita mencatat banyak terdapat orang-orang besar dari seberang sana. Sebut saja Jendral Besar Abdul Haris Nasution, dan masih banyak lagi yang lainnya. Tapi bukan itu yang saya ingin tuturkan di sini. Tapi prihal kaum urban dari Sumatera Utaara dari kalngan kelas bawah.

Pengetahuan saya waktu kecil tentang orang Batak mungkin begitu adanya. Karena sampai tahun 80-an arus urbanisasi orang-orang Batak didominasi orang Tapanuli Utara, Samosir, dan daerah-daerah lain yang beragama Kristen dengan watak tersendiri. Tapi rasanya (karena saya belum tahu ada study akademik tentang hal ini), sejak tahun 90-an, orang-orang Batak dari Tapanuli Selatan yang muslim mulai meningkat. Hal itu ditandai dengan banyaknya bermunculan warung-warung sembako “ucok” di wilayah Jabodetabek.

Warung ucok adalah nama warung sembako yang dikelola oleh orang-orang dari Tapanuli Selatan, khususnya, Mandailing Natal, Kotanopan, dengan ciri khas, warungnya besar, tokonya penuh dengan barang-barang, display barangnya menarik, dan harganya murah. Tidak berhenti sampai di sana saja, sejak tahun 2015, sejalan dengan makin berkembangny satelit Jakarta, seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi, orang-orang Tapsel ini menangkap pluang usaha baru dari pola hidup urban, yaitu sayuran. Di daerah-daerah penyanggah Jakarta, banyak perumahan yang dihuni oleh para pekerja/pegawai yang berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam atau sore hari (kekecualian, Fahmi, penulis ini, tinggal di Depok, tapi ora ke mana-mana tetep be di sawangan puter-puternya).

Karakteristik penduduk urban di pinggiran Jakarta ialah karena harus berangkat pagi buta, mereka harus memepersiapkan makan pagi buta juga. Karena itu belanja sayurannya sore atau malam hari. Peluang itulah yang ditangkap oleh orang-orang Tapsel. Makanya sekarang ini kalau kita melintas di jalan-jalan Depok, Tangerang, dan Bekasi akan kita dapati lapaknya besar-besar layaknya lapak sayuran di pasar-pasar tradisional. Harganya dijamin murah. Karena mereka bukan belanja di pasar biasa, tapi di pasar induk. Kalau untuk wilayah Depok mereka berbelanjanya di pasar induk sayuran Kemang Bogor. Untuk pedagang sayuran di Bekasi, di pasar induk Cibitung.

Terjadinya Hubungan Dagang Betawi dengan Batak

Saya yang pulang kampung dari kebayoran lama ke sawangan, nge-sub ke usaha mereka. Saya suplaylah telor puyuh matang dengan kemasan mika ke warung-warung sayur mereka. Yang saya suka dari orang-orang Tapsel ini adalah keterbukaan mereka kepada sales-sales. Mereka sangat welcome. Hampir apa saja yang ditawarkan tak mereka tolak. Karena, sistem yang berjalan adalah konsiyasi, titip jual. Mereka tidak bermodal barang, hanya bermodal tempat dan tenaga. Yang meraka bayar hanya yang laku saja. Yang tidak laku, resiko suplier.

Harapanku, semoga makin banyak warung sayur orang-orang Tapsel berdiri di wilayah Depok. Makin banyak mereka buka warung sayur, akan makin bagus omset penjualanku. Karena nyatanya omset penjualan telor puyuh saya rata-rata bagus di warung-warung si “ucok” tersebut. Tapi tentu saja omset dan produk saya juga diterima di tukang sayur orang Jawa, Sunda, Betawi, dan Padang. Eh gak taunya orang Batak ada juga yang cakep dan ganteng.

Khairul Fahmi, Pengamat Budaya

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top