Akar-akar dan Formulasi Aksi Bela Islam Hingga Berhasil

Nusantarakini.com, Jakarta –

Aksi Bela Islam 212 memang spektakuler. Sukses menghimpun 7 juta kaum Muslimin Indonesia dengan tertib, bermartabat, dan penuh antusias. Selain itu, kendatipun ditekan secara psikologis dan beragam manuver oleh pihak yang berkuasa, namun akhirnya penguasa tunduk dan bergabung dengan aksi bela Islam tersebut. Lucunya, setelah aksi itu sukses, masih saja pihak lain mendiskreditkan dan membuat suatu tandingan dengan basis yang berbeda dan tema yang berupaya membenturkan dengan sifat dan basis gerakan aksi bela Islam yang diorganisir para politisi busuk yang berkolaborasi dengan konglomerat busuk, tetapi lagi-lagi kalah dan hanya memperoleh malu saja pada 412.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimanakah akar-akar gerakan aksi bela Islam itu hingga berhasil demikian menakjubkan? Dan apakah formulasi dari gerakan tersebut dapat disimulasikan dan diterapkan lagi dalam kesempatan dan tempat yang berbeda?

Jawaban atas pertanyaan pertama ialah bahwa aksi bela Islam tersebut berakar pada kondisi sosial keagamaan umat Islam Indonesia dewasa ini. Tanpa mengaitkannya dengan kondisi sosial keagamaan umat Islam Indonesia dewasa ini, gerakan aksi bela Islam yang demikian fenomenal itu, tidak akan mungkin terjadi.

Kondisi sosial keagamaan umat Islam memang menunjang lahirnya gerakan tersebut. Pertama, secara internal, gairah keagamaan umat Islam Indonesia saat ini memang sangat meningkat. Rasa afinitas dan rasa memiliki terhadap Islam berkembang secara luas di kalangan umat Islam. Faktor-faktor atas hal ini banyak sekali. Salah satu faktor eksternal atas hal ini ialah bahwa dunia yang dihadapi makin penuh dengan ketidakpastian. Selain itu kehidupan yang korup dan labil yang diakibatkan sistem dunia sekuler yang merajai dewasa ini, makin tak ada finalnya. Akibatnya manusia lari kembali kepada agama yang memang menawarkan kepastian dan anti kebusukan sekularisme. Inilah gerbang yang menjamu manusia kembali melihat agama sebagai solusi dan alternatif atas hidup mereka yang gersang yang ditimbulkan secara langsung sekularisme.

Kedua, faktor eksternal atas lahirnya gerakan aksi bela Islam 212 tersebut ialah tentu tidak bisa dilepaskan dengan suasana perasaan yang tidak adil yang diperagakan oleh rezim Jokowi yang sedang berkuasa dengan permainan hukum atas Ahok. Ahok dalam persepsi publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rezim Jokowi dan dirasa sangat kebal hukum dan diprotek secara menjijikkan oleh rezim. Sekiranya hukum berjalan normal terhadap Ahok, mungkin reaksi berupa aksi bela Islam yang demikian dahsyat itu tentu tidak akan lahir. Peranan Habib Rizieq dan GNPF hanyalah panitia belaka, sedang bibit kemauan dan keresahan untuk bergerak di dalam masyarakat sudah sedemikian matang.

Jadi sebenarnya yang mengundang lahirnya gerakan aksi bela Islam tersebut adalah perlakuan rezim sendiri yang pongah berkuasa dan mengabaikan kehormatan hukum dan perasaan kaum Muslimin Indonesia yang menjadi share holder utama atas eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Pada titik ini, ketersinggungan atas perlakuan yang tidak wajar atas martabat umat Islam oleh rezim Jokowi, menjadi pemicu emosional yang sangat menggerakkan. Dan adalah fakta, Ahok bagi umat Islam Indonesia benar-benar asing dari berbagai segi. Tetapi demikian dipaksakan hadir di tengah-tengah arus sejarah. Dan tidak hanya itu, Ahok yang kasar, dipaksakan pula untuk mengontrol arus sejarah. Siapa yang mau menerima hal itu? Akibatnya umat bergerak menyingkirkan sendiri elemen yang tidak mereka sukai dari arus sejarah itu. Dan itulah yang sedang terjadi.

Lalu apakah formulasi yang sama dapat kembali diterapkan dalam waktu-waktu mendatang terhadap Indonesia dan umat Islam? Tentu saja bisa dengan perhitungan kondisi sosial keagamaan tidak berbeda dengan sekarang ini. Mungkin faktor eksternalnya berbeda, namun jika tetap dengan pola yang sama, yaitu terjadinya pemaksaan penetrasi elemen asing terhadap kontrol arus sejarah umat Islam, dipastikan gerakan aksi Bela Islam akan terjadi dengan kemasan yang lain. Namun rasa, esensi dan subjek penggerak, yaitu umat Islam, tentu tidak berubah.

Jadi, jangan main-main dengan umat Islam, ya! Jangan sekali-sekali melancarkan subversi terhadap umat Islam. Sebab hal itu akan dengan cepat terdeteksi dan dilipat oleh umat Islam itu sendiri.

Gerakan subversi sekularisasi dan liberalisasi maupun komunisasi, tidak akan bercokol lama, dan pada akhirnya ditendang keluar dari arus sejarah umat Islam. Tanya kenapa. (sed)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *