Nusantarakini.com, Jakarta – Gerakan Aksi Bela Al-Qur’an yang berlangsung tiga putaran dari 14 Oktober, 4 November dan 2 Deseber tahun 2016 dipicu oleh pelecehan Ahok terhadap kesucian maksud ayat 51 surah Al-Maidah. Semua orang tahu itu. Namun semua orang juga tahu peristiwanya bersamaan dengan kompetisi politik Pilkada DKI dimana Ahok mengambil bagian di dalamnya sebagai calon. Dan diketahui Ahok menganut agama lain di luar Islam.
Kompetitor Ahok selain Anies Baswedan, terdapat juga Agus putra SBY, pemimpin Partai Demokrat, mantan Presiden RI dan seorang yang sangat kawakan dalam permainan sentimen sosial politik. Reputasinya panjang, selain memang pernah sebagai Fraksi ABRI di DPR yang setelah reformasi dilikuidasi, Kaster ABRI, Menkopolkam, dan tidak boleh dilupakan kenaikannya menjadi Presiden diawali oleh eksploitasi sentimen teraniaya oleh Pemerintahan Megawati.
Dalam peristiwa Gerakan Aksi Bela Al-Qur’an yang fenomenal di penghujung 2016, isu keterlibatan SBY sempat muncul ke permukaan. Namun mereda begitu saja.
Gerakan Aksi Bela Al-Qur’an yang menuntut Ahok diadili memang menyediakan peluang politik bagi banyak pihak, terutama bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan out-nya Ahok dari kompetisi. Sebab dengan outnya Ahok, akan lebih mudah bagi pihak tertentu untuk meraih kursi gubernur DKI.
Dalam hal ini, tentulah yang dimaksud yaitu pihak Anies dan Agus, putra SBY. Namun yang paling diuntungkan dengan dampak politik dari Gerakan Aksi Bela Al-Qur’an tersebut ternyata adalah pihak Agus. Sebab, gerakan tersebut syarat sentimen keislaman dan isu pribumi melawan Cina. Anies dengan gagap dan tertatih-tatih gagal meraih pemanfaatan sentimen tersebut. Tapi tidak dengan Agus. Dia sedari awal telah meletakkan diri sebagai anti tesanya Ahok. Begitu Aksi Bela Al-Qur’an yang syarat muatan anti Ahok dan hegemoni Cina tersebut menggelinding, sejak itu Agus sudah meraih keuntungan politis. Sebab dia membangun citranya sebagai representasi pribumi.
Tentu bagi kita yang tidak berurusan dengan kepentingan sempit Pilkada memerlukan agar muatan interest pilkada pada gerakan aksi Al-Qur’an yang menyedot tenaga massal umat Islam di Indonesia dapat diusir guna menjaga kemurnian aksi dan spirit tersebut. Tapi bagaimanakah caranya?
Para pembawa unsur interest pilkada boleh jadi menggabungkan diri dalam ritme tiga putaran aksi yang telah lewat itu. Hal itu tidak dapat dicegah karena siapa yang bisa menyelami niat orang per orang. Faktanya, Agus putra SBY maupun Anies, tidak ikut terlibat dalam pusaran aksi tersebut. Jadi jelas, secara faktual isu aksi tersebut ditunggangi, terpatahkan.
Sekarang jika kita hendak membersihkan gerakan aksi massa umat Islam tersebut dari interest pilkada, maka spirit dan kelanjutan aksi tersebut harus dirawat. Aksi tersebut tidak boleh terpaku dan berhenti pada kasus yang tengah dijalani Ahok. Misalnya, kelanjutan aksi tersebut hanya larut dalam mengawal proses pengadilan yang dijalani Ahok. Dan jika Ahok ditetapkan bersalah, maka reduplah gelora dan rangkaian aksi bela Al-Qur’an tersebut.
Hal semacam itu tidak boleh terjadi, karena akan mengkonfirmasi asumsi orang lain, bahwa urusan aksi tersebut hanya untuk mencegah Ahok tidak berkuasa di DKI dan memuluskan Agus putra SBY meraih kursi gubernur DKI.
Karenanya, langkah untuk menindaklanjuti amanat aksi bela Al-Qur’an yaitu memastikan martabat Islam dan umat dapat dijamin dalam kehidupan bernegara, itulah yang harus dikembangkan dan dimantapkan.
Sekarang mendesaklah langkah untuk menyusun agenda umat yang lebih fundamental dan sistematis. Reuni akbar umat Islam yang terlibat aksi tersebut tidak ada salahnya dicanangkan di dalam rangka membicarakan dan merumuskan harapan dan aspirasi umat Islam. Aspirasi itu harus terumuskan dengan baik dan visible. Kemudian dapat dijalankan dengan mudah di berbagai tingkatan.
Ingatlah, perkara pilkada hanya urusan sempit dibandingkan dengan urusan kelangsungan dan kemantapan kedudukan terhormat umat Islam dalam berbangsa dan bernegara. (sed)