Haru Biru Kisah Longmarch Santri Ciamis Setelah dari Bandung – Seri 4

Nusantarakini.com, Jakarta –

Jam 13.00 WIB, posisi masih di rumah makan Sukahati. Seseorang di pojok ruangan menunggu dari tadi. “Assalamualaikum, ustadz?”

“Waalalaikum salam.”

“Ini saya dari GNPF MUI Pusat diutus langsung oleh Ketua untuk mengkondisikan waktu sampai di Jakarta. Pengurus Jakarta ingin penyambutan khusus bagi kafilah Ciamis karena dengan gerakan inilah semua jadi tergerak untuk hadir ke Jakarta, dan secara khusus ustadz Bachtiar Nasir dan Habib Rizieq Syihab menyampaikan salam ta’dhim untuk rombongan Ciamis.” Begitu kata beliau.

Saya jawab, “Terima kasih atas perhatian lebih pengurus Jakarta pada kami. Cuma kami belum bisa putuskan jam berapa kami sampai Jakarta. Ini saja nomor WA saya nanti bisa kontek-kontekan.”

“Ohhh, baik kalau begitu. Saya mohon pamit untuk melaporkan langsung ke Jakarta,” kata beliau dari GNPF MUI Pusat sambil melangkah keluar menuju mobil di parkiran.

Saya duduk kembali di meja makan yang penuh dengan hidangan. Belum sempat mengambil nasi, tiba-tiba datang lagi serombongan bapak-bapak menemui. Langsung salaman tanpa basa-basi sambil merangkul badan. Kedengaran suaranya berkata terbata-bata. Air matanya meleleh menangis. Sambil menepuk punggung berkata, “Alhamdulillah, orang Ciamis menjadi pelecut semangat kaum muslimin untuk bangkit.”

“Baik Pak, mohon doanya saja. Semoga jadi ladang amal,” jawab saya sambil melepaskan tangannya.

Saya kembali duduk di kursi. Terlihat di depan meja, ada orang lagi lahap menikmati hidangan. “Hei, antum enak ya ikut sama kita-kita?”

“Ya Pak Kyai, lapar nih,” jawabnya. Dia adalah intel dari Polres Ciamis yang setia mengikuti perjalanan peserta jalan kaki karena tugas dari atasannya. Belum sempat mengambil nasi, datang lagi seseorang menghampiri. “Sehat, Ang?”

“Alhamdulillah, sehat.” Dia adalah alumni pondok kami yang mukim di Bandung sengaja menemui untuk silaturohmi.

Tak henti-hentinya orang datang menemui. Terpaksa dilayani sambil makan karena perut sudah tidak bisa diajak damai lagi. Begitu banyak orang yang terketuk hatinya sehingga kami banyak menerima amanah uang dari para dermawan. Saku celana tak muat lagi nyimpan amplop pemberian. Saya panggil Kyai Endang yang duduk tidak jauh dari tempat kami. Saya katakan padanya, “Kang, karena banyak amanah ini, simpan baik-baik. Pokonya Kang Endang diangkat jadi bendahara kafilah.”

Kang Endang bilang, “Ooh, siap, Insya Alloh kalau dipercaya.”

Sepuluh menit berlalu, rumah makan tempat kami beristirahat dan dapat jamuan makan mulai sepi. Peserta terkonsentrasi di aula Al-Maksum yang ada di seberang jalan. Kami pamit ke pribumi, sekaligus menghaturkan terima kasih atas jamuannya. Hujan turun deras, saya menuju aula menaiki jembatan penyeberangan. Peserta longmarch sudah siaga menunggu komando. Saya ambil komando dan pengarahan dimulai. Pertanyaan selalu dilontarkan, “Apakah kalian masih kuat?”

“Kuaaaatt!!!” Serempak menjawab.

“Apakah kalian masih semangat?”

“Semangaaatt!!!”

“Lanjut apa naik bus?”

“Lanjuuttt!!!”

“Apakah kalian takut dengan hujan?”

“Tidaakkkk!!!”

“Takbiirr!!”

“Allohu akbar Allohu akbar!!!”

“Ista’idduuuu!!!”

“Labbaiiikk!!!”

“Ista’idduuuuu!!!”

“Labbaiiikk!!!”

Semua peserta harus memakai jas hujan plastik agar terlindung dari hujan. Mobil komando siap di depan. Perjalanan dimulai di tengah guyuran hujan. Pekik takbir terus dikumandangkan agar semangat tidak luntur. Gema nasyid bela Islam nyaring terdengar dari speaker menghangatkan tubuh yang kehujanan. Ketika kami mau berangkat, menyusul ade saya manggil, “Ang, ini makanan dan minuman banyak sekali. Gimana bawanya? Mobil yang lima sudah penuh dengan barang pemberian para dermawan.”

“Ohh gitu, yaa. Mari kita ngumpul dulu atuhh. Kami rapat kecil dan diputuskan kita menyewa mobil empat mobil truk untuk mengangkut makanan dibawa mengikuti rombongan di belakang.

Di bawah guyuran hujan kami ikuti rombongan di belakang. Menyusuri jalan protokol Ranca Ekek menuju Cileunyi. Masyarakat setia menungu dan menunggu kami di pinggir jalan walau hujan terus turun. Sambutan takbir membahana memecah suasana. Deraian air mata bercampur air hujan sangat jelas terlihat di mata mereka. Sebuah pemandangan yang indah yang tak mungkin ditemukan lagi dalam sejarah hidup. Air mata yang muncul bukan karena iba. Tapi air mata muncul karena desiran darah yang dipompa energi iman. Air mata kami pun tak bisa ditahan terbawa suasana kebatinan saudara kami yang berjejer sepanjang jalan. Walau baju basah-kuyup, walau badan kedinginan, walau kaki lecet dan pegel, terbayar sudah pengorbanan ini dengan bangkitnya rasa ukhuwah sesama muslim, naiknya tensi ghiroh pada Islam dan tumbuh suburnya arti pengorbanan.

Kepedulian masyarakat semakin menjadi manakala di antara peserta ada yang sudah tidak lagi memakai sendal karena copot talinya. Bagi mereka itu pemandangan yang membuat hati luluh. Efeknya lahir empati dan simpati dalam tindakan nyata.

Kira-kira pukul 16.30 WIB setelah tiga jam perjalanan di daerah Gede Bage, rombongan dicegat polisi. Pengawalan dibelokkan ke komplek kantor Perum Perhutani Jawa Barat untuk istirahat. Semua karyawan Perum Perhutani keluar kantor menyambut dan mengarahkan kami ke belakang. Tepatnya ke masjid kantor Perhutani. Terdengar suara takbir berkali-kali dari atas menara masjid. Suaranya makin parau karena bercmpur dengan tangisan. Kami yang datang kompak memekikkan takbir menyahut seruan suara di dalam masjid.

Peserta istirahat. Sebagian ditempatkan di aula. Sebagian di teras masjid. Apakah kita nginap di situ? (sed)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *