Nusantarakini.com, Jakarta-
Siap-siap Air Matamu Meleleh.
Kisah Seri-2 Aksi Santri Ciamis Jalan Kaki Ke Jakarta
Catatan Oleh KH. Nonop Hanafi/Pemimpin Rombongan Longmarch Aksi 212
Jakarta – Waktu menunjukan pukul 19.00. Kafilah pejalan kaki terus melangkah di tengah guyuran hujan. Gelap malam makin pekat. Sesekali sorot lampu mobil mengenai wajah-wajah lugu yang berselinap di balik topi caping bercat merah putih. Tak ada suara yang keluar dari mulut mulut mereka. Khusyu berjalan. Paling sesekali terdengar sayup-sayup alunan ayat suci alquran dari mobil komando.
Di pinggir jalan jarang masyarakat yang ditemukan berjejer karena hujan turun sangat lebat. Kebetulan di kiri kanan jalan agak jarang rumah pendudukk itulah saat paling berat yang dialami para kafilah. Beberapa jam berjalan tibalah kita di pasar lewo garut suasana sunyi berubah menjadi ramai masyarakat sekitar pasar menyambut kami dengan pekikan Allohu Akbar. Banyak sekali masyarakat berkumpul di situ. Seorang ibu mendekati kami, “Pak ini ada titipan dari warga pasar tadi mereka menunggu sejak duhur. Kami ingin termasuk orang orang yang membela agama,” kata si Ibu sambil mengusap pipinya yang basah oleh air mata campur air hujan. Matanya berkaca kaca memandangi kami. Bahkan ada di antara pedagang pasar yang memberikan belasan payung dan lampu senter untuk anak anak santri. Kami mengucapkan syukur dan terima kasih pada masyarakat yang menyambut kami sambil pamitan untuk melanjutkan perjalanan. Handpone tak henti-hentinya berdering. Begitu diangkat semuanya kebanyakan dari wartawan yang menanyakan, “Kang Sudah sampai mana rombongan? Terus mau istirahat di mana? Kita mau meliput.” Semua pertanyaan dijawab dengan sabar dan telaten kalaupun agak kesel juga karena saking banyaknya telpon yang masuk. Sangat berat sekali terasa perjalanan malam rabu itu karena lelah ngantuk dingin dan baju basah bercampur menjadi satu tantangan yang harus ditaklukan. Namun tekad Yang membaralah yang membuat kami terus melangkah. Dalam hati kami berkata, “Ini mah belum seberapa dan belum ada apa-apanya dibandingkan dengan perjalanan Rosululloh dari Makkah menuju Madinah dalam menyebarkan dakwah sembari dikejar-kejar musuh.” Keyakinan san rasa itulah yang selalu menjadi obat sepanjang jalan.
Saya jalan agak cepat ke depan mendekati mobil komando. Buru-buru ambil mikropon, “Apakah masih kuat berjalan sampai kampung Nagreg? Atau kita berhenti di sini?!” Serempak semua menjawab, “Lanjuuuutttt!!!” Takbiiirr Allohu Akbar Allahu Akbar. Saya berusaha menyemangati peserta padahal jujur jangankan peserta saya sekalipun sebenarnya sudah sangat lelah dan ngantuk. Badan menggigil ditambah bersin yang tidak berhenti efek dari kedinginan. Ayunan langkah terus berlanjut waktu di hp menunjukan pukul 21.00 WIB. Di daerah sebelum Limbangan kami dapati kerumunan santri dan Laskar FPI menyambut kami dengan alunan solawat badar dan tabuhan marawis khas anak pesantren. Sebagian mereka siap gabung dengan kafilah kami dari Ciamis. Kami saling menyapa bersalaman dengan erat sehingga semangat peserta naik kembali beberapa persen. Suasana menjadi hangat kembali karena hujan mulai reda. Rommbongan bertambah jumlahnya. Derap langkah malam itu makin bersemangat. Kira-kira pukul 11.00 WIB malam tibalah kami di kampung Nagreg di sebuah rest area plus rumah makan milik pengusaha asal Rajapolah Tasikmalaya. Kami disambut banyak orang dengan senyum ukhuwah dan air mata haru yg mucul dari iman.
Suasana ramai sekali dengan kaum Anshor asal Bandung. Dan wartawan sudah menunggu dari tadi. Para santri semuanya masuk mesjid. Di sana sudah tersedia ribuan nasi kotak. Hilir-mudik masuk toilet menjadi pemandangan paling dominan saat itu.
Selesai makan semuanya pada ganti baju yabg basah kuyup dan kotor. Sebagian ada yang saling pijit kaki dan punggung diolesi hotcream yang banyak tersedia sumbangan para dermawan.
Waktu menunjukan jam 11.30 WIB. Beres ganti baju saya berusaha untuk istirahat namun mata sulit dipejamkan karena pegalnya sekujur tubuh. Saya panggil Kyai Endang dan minta tolong untuk diurut. Baru beberapa menit diurut sudah ada yang manggil. “Kang ada yang nunggu di luar mesjid,” ujarnya. “Ya tunggu di luar.”
Saya menyusul. Mata sudah kesat sekali karena kantuk yang semakin parah. Para kafilah sebagian sudah mendengkur tidur menikmati karpet empuk berbantal ransel masing masing. Saya bangkit dan berjalan keluar menuju kios-kios kecil di pinggir rumah makan. Di sana sudah berkumpul sahabat-sahabat sesama alumni Hamida dari Garut menyalami dan mengajak ngobrol. Namun karena enggak kuat dengan kantuk saya pamit masuk mesjid. Baru mau rebahan, tiba tiba wartawan mendekati. “Pak, bisa minta waktu sebentar,” pinta salah seorang wartawan.
“Ohh iya, mangga,” jawabku. Sambil cari tempat yang bagus, awak media mulai wawancara. Saya berusaha untuk menampilkan roman muka yang segar dan jawaban yang semangat agar tidak terjadi pemelintiran media yang akibatnya bisa meruntuhkan semangat ummat yang sudah tumbuh dan berdenyut. Hanya 10 menit wawancara selesai. Badan sudah oleng. Kepala serasa berputar akhirnya bluk badan terjatuh ke karpet mesjid. Kira-kirs jam berapa bangunnya?
Lagi enak-enaknya terlelap tidur dalam buaian mimpi, dibangunkan suara nyaring alarm pukul 03.30 WIB. Mencoba untuk bangkit, namun sekujur tubuh terasa remuk, maklum sudah kepala empat jadi daya tahan tubuh tidak seperti muda dulu.
Kucoba duduk sambil membaca do’a bangun tidur, namun mata masih sulit untuk terbuka. Keset rasanya. Kebayangkan??? Sudah agak sadar di bawah sinar lampu penerang masjid yang remang, terlihat di kanan kiri peserta longmarch tertidur pulas tanpa beraturan posisinya. Terlihat ada kaki yang numpang di atas kepala yang lain. Dan kebanyakan tidurnya berbantal tangan sendiri. Sungguh pemandangan yang mengharukan.
Aku bangkit bergegas menuju toilet sekedar untuk wudlu saja. Enggak pakai mandi. Dinginnya berrrrr kagak nahan. Selang beberapa menit beres ganti baju, masuk mesjid lag. Ternyata para santri sudah dibangunin semua. Di toilet menjadi tempat yang paling ramai keliatan satu pintu ada antrian sampai 5 orang.
Sabar menunggu antrian, ada yang tidur sambil berdiri, tapi kebanyakan tangannya menyelinap di balik sarung. he…he.
Adzan subuh berkumandang. Semua bergegas masuk mesjid berbaris membangun shof berjamaah. Selesai muadzin qomat, seseorang maju ke depan menjadi imam. Ternyata KH. Qohar Alqudsy, Ketua DPD FPI Jawa Barat. Bacaannya syahdu. Qunut najilahnya panjang, menambah kesyahduan subuh pagi di hari rabu.
Selepas wirid, bapak yang pakai peci putih berkecamata mengambil mike dan berdiri dinatas mimbar. Beliau mengucapkan terima kasih bahws rombongan telah bermalam di kampung Nagrek. Ternyata dia manager rumah makan di situ. Mike berpindah ke tangan Kyai Qohar. Beliau berikan kultum dan apresiasi semangat jihad santri Ciamis. Gemuruh takbir menggema menghangatkan suasana dinginnya Kampung Nagreg. Kyai Qohar bertanya, “Siapa panglima kafilah Ciamis, mana pimpianannya?
Saya berdiri sambil berjalan agak ke depan. “Saya kyai.” “Ohh, ini.” Celoteh Kyai Qohar. Kami salaman dan berangkulan. Mike berpindah ke tangan saya. Kami berikan kultum dan pekik komando, “Ista’idduu!!” “Labbaik!!”
Suasana membahana. Stamina serasa pulih dan energi yang semalam habis kini pulih kembali.
Beres berjamaah subuh, Korlap memberikan komando untuk persiapan membereskan semua perlengkapan. Saya berlari sambil meregangkan tangan dan kaki menuju mobil mengambil handpone yang lagi dicas. Batrenya terlihat pool 100%. Girang banget rasanya. Banyak banget SMS yang masuk isinya pun macam-macam. Beralih ke pesan watts up, pesan paling update sangat memggembirakan. “Kyai untuk sarapan pagi 10 menit lagi nyampai lokasi.” Saya balas, thoyyib syukron.
Sepuluh menit berlalu datang mobil box membawa nasi bungkus. Supirnya bilang, “Pak, saya disuruh ngantar ini.” “Ohh iya Pak, terimakasih.” Korlap cepat memberi pengumuman supaya semua peserta mengambil nasi sarapan pagi. Subhaanallohh begitu gampangnya rizqi datang tak diundang dan tidak berapa lama datang lagi mobil avanza putih. Seseorang keluar dari mobil. Perawakannya tinggi, kumisnya tipis. Dia diantar santri menuju saya. “Pak, saya dari kumpulan pengusaha ingin berderma sedikit. Ada snack 2000 kotak ingin sekali dinikmati para mujahid Ciamis,” begitu bilangnya. “Baik Pak. Terimaksiiihhhh jazakumullohh semoga dibalas berlimpah oleh Allah.”
Tak kuat menahan air mata saking harunya akan pertolongan dan anugerah Allah yg begitu ruar biasa. Ternyata kejutannnya tak sampai di situ. Selang beberapa menit datang lagi bapak-bapak yang memberikan 1000 botol madu ukuran kecil. Tak henti hentinya lisan membaca subhanalloh.
Tepat jam 07.00 WIB semua peserta sudah berbaris di pelataran rest area dengan peralatan lengkap. Saya dan Kyai Syarip yang sudah bergabung kembali dengan rombongan juga Kyai Titing dan Kyai Qohar naik kenatas mobil komando. Kyai Agus Malik memanaskan suasana dengan nasyid-nasyid perjuangan, diselang-selingi dengan gerakan-gerakan tubuh. Ramai sekali, suka ceria canda tawa hadir menjadi pemandangan indah.
Saya mengambil video siaran langsung lewat akun FB. Giliran Kyai Syarif memberikan wejangan. Saya ambil bagian handpone disimpan dibsaku celana. Takbir menggelegar membakar adrenaline. Pekikan istaiidduu menaikkan suhu tubuh. “Semua siap untuk melanjutkan perjalanan?,” lanjut oleh Kyai Qohar. Pemantapan sama Kyai Titing dan terakhir do’a keberangkatan oleh Kyai Maksum. Sungguh kami dapat merasakan kebersamaan yang sangat luar biasa. Mobil komando berjalan ke depan. Kita dan empat orang Kyai berjalan di depan mobil komando. Nasyid ikon aksi Bela Islam terdengar nyaring memgantar derap langkah kami. Kemanakah destinasi selnjutnya?
Waktu menunjukan pukul 07.30 WIB rabu pagi. Rombongan panjang dengan semangat juang membara berjalan menyusuri jalan protokol Cicalengka. Masyarakat sudah berjejer di pinggir jalan menyambut kedatangan kami. Tak henti-hentinya pekik Allohu Akbar diteriakan oleh setiap orang yang berpapasan dengan kami. Tumpukan makanan dan minuman hampir merata di setiap jalan. Mereka semangat sekali membagi-bagikan botol minuman pada peserta. Namun saking melimpahnnya rezqi, kami arahkan bantuan masyarakat ke mobil di belakang.
Sudah hampir 5 truck dan 5 mobil bak terbuka penuh dengan makanan. Bahkan ada juga pedagang pasar Cicalengka yang membagi-bagikan sendal jepit kepada peserta. Lagi lagi keharuan, keterkejutan dan kejadian yang tanpa diduga sebelumnya nampak nyata di depan mata. Yaa Alloh, begitu mudahnya engkau membolak-balikan hati manusia sampai mereka tertarik dengan magnet Alquran, rela mendermakan apapun yang dimilikinya hanya karena sentuhan iman.
Dua jam jalan kaki telah dilalui. Polisi yang menjaga dan mengatur perjalanan kami memberhentikan mobil komando di pertigaan jalan. Semua peserta istirahat sebentar sambil menikmati makanan dan aneka minuman yang melimpah ruah. Perut kami pun sudah tidak bersahabat.
Terlihat di sela-sela tumpukan kardus ada ratusan kotak nasi tersedia. Deza Aurora, adik perempuanku sebagai Ketua bidang logistik sibuk membagi-bagikan makanan padahal anaknya yang masih bayi ikut di mobil pengantar bersama pengasuhnya.
Tadinya saya mau makan, namun tertegun melihat semangat wanita tangguh yang tak kelihatan lelah sedikitkun mengawal logistik sedari awal perjalanan. Tak terasa air mata meleleh sambil berkata di dalam hati, “Ya Robb, terimalah lelah dan capeknya. Begitu hebat pengorbanannya sampai tak peduli lagi bayi umur satu tahun ikut dibawa dalam perjalanan ini.”
Saya kembali fokus ke kotak nasi. Begitu mau dibuka di dus kotak warna putih ada tulisan yang membuat hati jadi tertegun, “Wahai para mujahid kakiku tak sekuat kakimu, terimalah derma kecilku sebagai wakilku menyertai langkahmu semoga lelahmu menjadi lillah”. Tak kuat lagi perasaan ini, air mata tak terasa meleleh di pipi. Ya robb, engkau telah sebarkan rasa kebersamaan ummat ini untuk bangkit bersama. Saya tak jadi makan. Kenyang sudah bathin ini dengan ghiroh ummat yang tumbuh kesadarannya.
Satu jam istirahat dipertigaan. KH. Agus malik mengumumkan di mobil komando, “Perjalanan dilanjutkan. Awas jangan meninggalkan sampah sedikit pun. Media sekuler mengintip kelemahan kita!” begitu ujar Zieguz Maliex di mobil komando. Semua peserta berbaris tiga tiga ke belakang agar tidak mengganggu lalu lintas kendaraan. Kita bentangkan tali rapia sebagai pagar peserta longmarch agar tidak keluar jalur.
Perjalanan dilanjutkan. Kami bertiga Kyai syarip, Kyai Maksum, Kyai Titing, sepakat berjalan paling depan. Sepanjang jalan sambutan manusia semakin meluber ke jalan. Anak-anak sekolah tumpah-ruah menyambut kami. Spanduk bertuliskan “selamat datang para mujahid, kami bangga dengan kalian” terpampang. Ada anak-anak SMA yang dipimpin langsung oleh guru-gurunya memakai seragam batik setelan bawahan samping batik has Bandung. Kelihatannya sengaja dipersiapkan menyambut kafilah ini. Allohu Akbar Allohu Akbar, teriak mereka seolah-olah mereka katakan rasa kami sama kerinduan kami sama nasib kami, sama. Namun kami tak bisa seperti kalian. Begitu kira-kira terjemahan raut wajah yang tampak di hadapan kami.
Saya melirik ke Kyai Syarip berulangkali. Beliau menyeka air mata sambil berkata, “Hadza baru seumur hidup saya mendapatkan rasa yang aneh ini.”
Kyai Titing dan Kyai Maksum pun sama wajahnya, penuh dengan urai air mata. Kami terdiam sambil terus melangkah. Nasyid Aksi Bela Islam terus bergema sepanjang jalan, menambah suasana makin haru tak terelakkan. Suara handphone terus berbunyi. Nomornya semua tidak dikenal. Saya angkat dan dijawab satu persatu dan pertanyaannya hampir sama, “Pak, rombongan sudah sampai mana? Kami mau menyambuutt.” Dijawab sesuai dengan posisi pada saat itu. Kulihat pesan SMS penuh menawarkan bantuan logistik. Pesan WA ratusan, semuanya bertanya, “Ini pimpinan kafilah Ciamis, yaa?” Dijawab, ya Pak, ya Bu. Sebagian dijawab sebagian tidak terjawab saking banyaknya.
Seorang santri yang berjalan di belakang tiba-tiba dicegat ibu yang berdiri di sisinya dua anak perempuan belia. Ibu itu berkata, “De, ibu engga bisa ikut. Anak saya kedua-duanya suruh ikut aja sama ade, yah jalan kaki!!! Ibu ridlo ade dijadikan mantu ibu.” He he saya agak kaget sambil tertawa kecil begitu dahsyat pesona peserta jalan kaki bagi kaum ibu sampai rela anaknya dipinang. Saya berkata dalam hati jangankan di akhirat, di dunia saja balasannya begitu hebat.
Telepon berdering lagi terlihat namanya muncul Ummu Shofwa, istri saya yang bertugas jadi keeper menjaga pondok. Begitu diangkat, “Buuuu (panggilan istri pada saya Abu), saya sakit.” Terkejut bukan main, “Sakit apa?” tanya saya. “Meriang, tapi begitu diperiksa tadi pagi ke Dokter, kata dokter positif hamil.”
Allohu Akbar, berita gembira datang dari berbagai arah. “Calon mujahid baru,” kata saya. “Oohhh alhamdulillah, Muu sehat dan baik-baik, ya, di rumah?” jawabku.
Saya menoleh ke Kyai Syarip sambil jalan, “Kang, istri hamil.” Kyai Syarip tersenyum sambil berkata, “Nanti kalau lahir, kasih nama Mujahid 212.”
“Hahahaha,” saya tertawa lebar. Subahanallloh, warna-warni cerita tersaji dalam langkah ini.
Tidak lama, terdengar kumandang azan dzuhur. Kami berembug sambil jalan. Di mana kita berhenti? Belum sempat ada yang jawab, polisi lalu;lintas membelokkan arah rute masuk ke kiri ke aula Al-Maksum. Seseorang memberitahukan bahwa Gubernur, Kapolda dan Pangdam 3 Siliwangi menunggu rombongan di rumah makan Sukahati. Semua istirahat di ruangan terbuka yang sangat luas. Hujan turun rintik-rintik mengiringi istirahat kami.