Kesaksianku Atas Aksi Bela Islam 212

Nusantarakini.com, Jakarta –

Dari mana harus kutulis kesaksian ini, kiranya amat menyulitkan. Bukan karena aku tidak dapat menyelamkan diri pada peristiwa maha besar itu.

Memanglah kesaksian tentang aksi umat Islam 212 ini telah banyak ditulis orang. Beragam pandangan dan perasaan yang menyelimuti, telah pun dituangkan orang dalam beragam diari.

Aku kira berkumpulnya 7 juta lebih massa pada aksi 212 ini bukanlah sekonyong-konyong. Itu merupakan rentetan dan akumulasi. Bahkan pun aksi umat Islam pertama pada 1410 itu adalah akumulasi dari provokasi Ahok yang menggumpalkan perasaan kecewa dan geram di hati umat Islam. Betapa tidak, umat Islam demikian diremehkan oleh seorang Ahok yang takdir fisik dan agamanya berbeda dengan mayoritas orang Indonesia, namun sanggup bersikap remeh dan sepele terhadap umat Islam. Apa pasal? Karena dia punya kuasa dan waktu itu keberuntungan ada padanya dimana penguasa uang, meja kuasa dan senjata berpihak padanya. Tapi itu dulu sebelum aksi massa menemukan kekuatannya seperti sekarang ini.

Sekarang bila dia masih bersikap arogan dan menyepelakan umat Islam, maka bisa-bisa tamatlah riwayatnya. Sebab apa? Sekarang suasana batin masyarakat demikian euforia dan berlomba untuk menjadi paling berani. Hal itu sama sekali tidak terbayangkan saat aksi 1410 digulirkan.

Aksi umat Islam 212 memanglah hebat. Hebat dari segi spirit, akhlak maupun capaian massa. Bayangkan dari kawasan Pasar Senen, Bundaran Tugu Tani, Stasiun Gambir, Istiklal, sepanjang jalan dari Gambir menuju patung kuda, seluruh area monas yang disediakan, lalu jalan Thamrin, jalan menuju Tugu Tani dari Thamrin, penuh sesak dengan manusia yang hendak mengunjukkan perasaannya.

Unjuk rasa ini dibalut dengan sholat jum’at yang khusuk. Ini bukan sekedar unjuk rasa. Tapi persembahan cinta dan pengabdian kepada Yang di Langit. Doa-doa dikumandangkan. Langit seolah bergetar. Hujan bercucuran membasahi badan dan perasaan para pengunjuk rasa.

Khutbah Sang Pemimpin Besar Umat Islam Indonesia bergelora. Menyibak tabir hati-hati manusia yang masih terkunci. Mendobrak kepongahan kaum penguasa. Kaum penguasa tak kuasa menghentikan khutbah paling tajam di abad 21 ini. Persis di depan hidung kaum penguasa itu. Siapa yang berani bertindak demikian kalau bukan seorang yang takutnya hanya kepada Tuhan. Kaum penguasa itu leleh seperti coklat. Kecut dan masamlah mukanya. Tapi tak bisa berkata, “Tangkap dia. Karena telah menghina penguasa.”

Nggak bisa. Sebab peristiwa berada di dalam pelukan Habib Rizieq Syihab, pemimpin besar pembebas mental terkancing umat Islam selama ini. Begitu habis unjuk rasa dan jum’atan itu, manusia-manusia yang berpapasan denganku seolah baru saja merdeka. Merdeka dari kungkungan mental terkancing seperti yang sudah lama mereka idap. Kini mereka bebas. Tiada lagi rasa takut. Tiada lagi rasa minder. Tiada lagi rasa kecut. Semua plong bebas dan hanya takut sama Yang Maha Kuasa.

Karunia dari mana itu? Itulah karunia Allah yang dilimpahkan melalui usaha tiga putaran demonstrasi.

Sebetulnya hampir saja aksi 212 itu kehilangan spiritnya bila tidak muncul secara tidak terduga reaksi longmarch dari kyai dan santri Ciamis.

Semula rencana aksi 212 itu telah mengendur secara spirit. Tadinya aksi 212 akan digelar dari Semanggi hingga Istana. Namun atas tekanan penguasa dan teror mental yang dihadapi para ulama yang bernaung di Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, mereka harus berkompromi dengan kehendak penguasa. Ditambah lagi, Ketua MUI sendiri sebagai pemilik fatwa yang merupakan objek yang dikawal itu, melemah setelah ditemui Kapolri. Akhirnya dibatalkanlah rencana semula dengan nama Jum’at Kubro di Semanggi (Sudirman) – Istana (Thamrin) menjadi hanya dipusatkan di Monas saja. Tak ada lagi unjuk rasa. Cuma zikir dan istighosah semata. Jadilah kesannya sekedar pindah jum’atan saja. Hilanglah aroma heroisme dan patriotiknya seperti yang melekat pada aksi massa 1410 dan 411 sebelumnya.

Apa jadinya? Lesulah perasaan setiap umat Islam yang menanti aksi lanjutan 411 itu.

Di tengah suasana lesu dan tekanan yang bertubi-tubi dari penguasa tersebut, uniknya hal ini tidak mematikan daya cipta dan semangat perlawanan umat.

Pada 25 November 2016, sepekan sebelum aksi 212, inisiatif para netizen, berkumandanglah himbauan aksi Rush Money. Isu apa lagi ini? Ini benar-benar baru dalam arsip ingatan gerakan massa umat Islam. Oh rupanya rush money itu semacam aksi tarik duit dari bank-bank tertentu secara serentak beramai-ramai sebagai bentuk pesan perlawanan yang tiada kendor dari umat Islam. Alhasil hal itu yang tadinya cuma isu menjadi kenyataan hingga menyusahkan penguasa. Maka terbitlah ancaman dari penguasa dan seorang guru SMK yang mengajak aksi rush money itu ditahan oleh penguasa. Tetapi aksi rush money itu tak bisa dihentikan. Bank-bank yang dipandang sebagai pilar kekuatan Ahok, kelabakan dan pura-pura tenang terhadap aksi rush money tersebut.

Dalam situasi seperti itu, spirit berpindah langsung ke bawah. Spirit tidak lagi berada di tangan Habib dan GNPF. Apalagi yang jadi Khatib direncanakan sesuai kehendak penguasa bukan lagi Habib Rizieq namun dilimpahkan kepada KH. Ma’ruf Amin. Jelas kesan yang ada ialah acara 212 itu sudah kehilangan tajinya.

Saat situasi semacam itu, dan hari menuju 212 makin dekat, berita-berita penggembosan dan penggagalan acara terus berseliweran. Di antaranya terjadilah penghadangan rombongan santri dari Ciamis oleh polisi.

Inilah titik mula yang mengubah spirit 212 yang tadinya lesu, bangkit menjadi megah dan patriotik.

Tak terima digagalkan oleh polisi, rombongan santri itu putar otak. Reaksi ini benar-benar di luar nalar polisi. Para santri dan kyai itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tiba-tiba kabar heroik ini gempar ke seluruh dunia.

Siang malam, hujan dan terik ditempuh oleh santri yang masih muda-muda tersebut. Sepanjang jalan tenggelam dengan rasa haru dan simpati. Sepanjang jalan yang mereka lalui, rombongan santri ini tak ubahnya pahlawan pembela kehormatan agama dan harga diri umat. Mereka dielu-elukan. Dari rakyat biasa, ibu-ibu, anak-anak, hingga Gubernur Jawa Barat. Alhasil, semangat lesu akan rencana kegiatan 212, bangkit kembali di seluruh negeri.

Aku sendiri sudah sempat mengangkat tulisan bahwa Aksi Bela Islam III pada 2 Desember sudah gagal secara moral dikarenakan bertukar menjadi kegiatan istighasah. Namun sekaranh hal itu aku ralat sejak Aksi Long march yang dilancarkan para santri dan kyai dari Ciamis.

1 Desember akhirnya mereka tiba di Mesjid At Tin, Taman Mini. Aku langsung ke sana. Berjumpalah aku dengan santri-santri hebat dan tangguh itu. Mereka bercerita, setiba di Bandung dari Ciamis, mereka pun menuju Jakarta. Namun atas kebaikan Gubernur Aher, mereka tak dapat menolak lagi untuk tidak naik bis yang sudah disediakan. Padahal sebenarnya jika mereka terus longmarch menuju Jakarta, tentu ceritanya akan lain.

Begitupun, mereka telah membangkitkan rombongan-rombongan longmarch menuju Jakarta dari berbagai penjuru. Seperti yang kucatat, rombongan dari Cianjur kemudian membalas aksi longmarch juga. Rombongan dari Bogor juga longmarch menuju Jakarta. Rombongan dari Depok juga melancarkan longmarch. Akibatnya pola Ciamis menjadi tren seketika. Rakyat di jalan-jalan berduyun-duyun menyiapkan makanan dan minuman. Itulah sebabnya, makanan dan minuman melimpah sepanjang jalan, terutama jalan-jalan dekat Monas.

Malam 1 Desember itu aku pun menginap di Mesjid At Tin sebagai ikut simpati dengan kepeloporan dan pengorbanan para santri dari Ciamis itu. Waah…lagi-lagi makanan melimpah ruah. Mulai dari buah pir, jeruk hingga salak. Nasi dan lauk dalam kotak plastik juga tersedia banyak sekali.

Tidak hanya itu, malam itu sarung, baju koko, sandal dibagi-bagikan begitu saja. Saya sendiri tentu tidak melewatkan mengambil jatah luar biasa itu. Aku memperoleh selembar baju koko tangan pendek, sarung dan juga sandal. Syukur sekali, sandalku akhirnya tergantikan malam itu. Pasalnya sandal yang kupakai sebelumnya putus akibat memanjat pagar untuk memasang spanduk yang isinya ajakan untuk aksi 212.

Subuh pun datang. Hari tanggal 2 Desember 2016. Rombongan santri dari Ciamis itu bergelombang berangkat meninggalkan mesjid At Tin menuju Monas. Sebagian dari kami masih terlelap kelelahan.

Setelah sholat subuh aku dan kawan-kawan pergi menuju Monas dengan mobil kijang Inova. Sepanjang jalan dari Pasar Minggu menuju Menteng tersendat macet akibat masyarakat yang mengalir menuju Monas. Banyak yang berjalan kaki. Mereka memanfaatkan sepanjang jalan itu dengan aksi demonstrasi dan menyuarkan aspirasinya.

Mereka mengenakan baju putih-putih lengkap dengan panji-panjinya. Sampai di bilangan Menteng, suasana makin ramai saja. Di Gondangdia di depan Kantor Partainya Surya Paloh, orang-orang sudah berjejer sepanjang jalan. Hiruk pikuk di sana sini. Kami berusaha melewati kerumunan massa sampai akhirnya berhasil tiba parkir tidak jauh dari Mesjid Cut Mutia. Di lokasi itu, ramainya pun sudah terlihat.

Sebuah mobil komando berjalan mengiringi masyarakat pendemo. Kami menggabungkan diri pada rombongan tersebut. Kami melewati gedung juang, kantor Muhammadiyah, GPII hingga bertemu arus massa di depan tugu tani. Di situ kulihat kaum buruh sedang beraksi. Tidak ada pilihan selain menembus massa yang padat itu menuju stasiun Gambir.

Rupanya massa dari arah kantor DPRD menyesak ke arah tugu tani. Bertemulah dua arus besar massa. Kami terhimpit. Akibatnya kami mengurungkan perjalanan menuju Gambir beralih menuju Monas lewat jalan depan MNC.

Kami terus berjalan. Sampai bertemu pertigaan menuju Wisma Antara. Sepajang jalan itu banyak sekali makanan yang dihadiahkan untuk peserta aksi. Saya sendiri sampai tak berminat melihat banyaknya minuman dan makanan itu.

Karena capek dan perlu makan sekedarnya, kami mengambil nasi kotak plastik berisi lauk ayam dan kentang semur. Kami makan di pinggir jalan. Lalu melanjutkan perjalanan hingga di depan persis Wisma Antara.

Kami terhenti di situ. Sebab waktu tinggal sejam lagi untuk sholat jum’at. Aku mengambil wudu dengan air aqua botol. Demikian juga teman-temanku.

Kami membentangkan sajadah di samping jamaah yang sudah lebih dulu mengambil posisi.

Pada mulanya gerimis. Kemudian hujan turun. Kemudian berhenti. Dalam kumandang doa-doa yang dipanjatkan, akhirnya hujan itu makin deras saja. Basahlah seluruh badan. Sajadah di atas aspal pun basah kuyup.

Kemudian azan berkumandang. Lalu khutbah dari Habib Rizieq sepertinya menampar-nampar para pejabat yang hadir di area itu. Aku sendiri kurang begitu jelas mendengar apa sebetulnya isi khutbah Habib paling berpengaruh tersebut. Sebab, sound system yang tersedia tidak begitu terang mengumandangkan suara Habib tersebut.

Khutbah yang panjang dan sangat keras. Kemudian sholat jum’at pun ditunaikan. Hujan terus mengucur dari langit. Badan basah kuyup. Tapi anehnya tak satu orang pun yang mundur mencari tempat berteduh. Semua melanjutkan sholat dengan khusuk. Seolah menjadi sholat taubat bagi setiap jamaah, dari perempuan hingga laki-laki.

Uniknya lagi, sholat jum’at itu dirangkai dengan qunut nazilah dengan untaian doa yang sangat panjang. Anehnya semua orang khusuk menadahkan tangan ke langit. Benar-benar mencengangkan.

Seusai sholat, jamaah bubar dengan teratur. Sebagian mulai menggelar demonstrasi sambil berjalan pulang. Spanduk-spanduk tuntutan dibentangkan. Korlap berteriak-teriak ucapkan tuntutan. Masing-masing begitu. Di patung kuda, juga ada sekelompok orang yang berorasi. Sementara jamaah yang tadinya berada di dalam lingkungan Monas mulai keluar bergelombang. Kulihat Habib, Munarman dan Ustadz-ustadz lainnya di atas mobil komando. Mereka meneriakkan segala tuntutan.

Kami menunggu hingga gelombang massa itu semuanya keluar dari dalam area Monas. Kami pun masuk dengan maksud menuju kitaran Gambir. Namun akhirnya kami pergi berjalan menuju pulang. Kami terus melintas hingga tiba di stasiun Gondangdia. Kami tersendat. Rupanya massa yang hendak pulang dengan Kereta Api demikian padatnya.

Ternyata tidak seperti gambaran selama ini bahwa manusia Indonesia amat buruklah akhlaknya. Hari itu dibuktikan, manusia Indonesia adalah manusia paling luhur akhlaknya di muka bumi. Betapa tidak, mereka dengan antusiasnya saling menolong dan saling mengingatkan. Mereka berjalan dan berkumpul demikian tertib dan indahnya. Selamat buat bangsa Indonesia. Selamat buat umat Islam. Nabimu bangga pada kalian. (sed)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *