Nasional

UNJUK RASA BESAR-BESARAN UMAT ISLAM, Belajar dari 1974

Nusantarakini.com, Jakarta – Unjuk rasa menuntut penangkapan pelaku penodaan agama Islam yang berlangsung pada 14 Oktober 2016 mengingatkan saya pada peristiwa 42 tahun yang lampau, tepatnya di tahun 1974. Ketika itu para pemuda serta para pemudi berjilbab (saat itu pemakaian jilbab di lembaga pendidikan kecuali di lembaga pendidikan Islam masih banyak ditentang) turun ke jalan menyampaikan protes atas Sidang Raya ke 5 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) di Jakarta.

Di tahun 1974 di Jakarta tercatat tiga kali unjuk rasa, yaitu: unjuk rasa menolak Rencana Undang-Undang Perkawinan (RUUP) yang isinya dinilai banyak bertentangan dengan hukum Islam; unjuk rasa penolakan atas kehadiran PM Jepang Takeu Tanaka, simbol kehadiran investor asing yang akan mengangkangi Indonesia (termasuk penolakan atas kehadiran IGGI); dan unjuk rasa menolak diadakannya Sidang Raya DGD di Jakarta.

Unjuk rasa menolak diadakannya Sidang Raya DGD dari sisi jumlah memang tidak sebesar dua unjuk rasa sebelumnya, namun Sidang Raya DGD berhasil dibatalkan. Mengapa?

Walaupun statistik pemeluk Nasrani menunjuk angka tidak sampai sepuluh persen, mereka berani melangsungkan acara Sidang Raya DGD di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dengan dukungan jaringan di sekitar Soeharto yang rata-rata menduduki posisi strategis, mereka percaya diri melangkah. Dengan didukung Soeharto, rencana itu nyaris sempurna.

Soeharto memberi dukungan penuh. Wacana kerukunan antar ummat beragama dalam kerangka negara Pancasila menjadi senjata untuk mendesak masyarakat agar tidak menolak acara DGD dilaksanakan di Ibu Kota. Jenderal-jenderal loyalis yang umumnya Islamofobia mengondisikan supaya ummat Islam bisa menerima. Persiapan terus berjalan. Jika rencana mereka bisa terlaksana, tahun 1975 Sidang Raya DGD digelar. Di sisi lain, peristiwa ini tentu akan menjadi tamparan keras bagi ummat Islam Indonesia.

Tipe gerakan ummat Islam ketika itu masih runtut dan santun. Semua komponen ummat bisa bersatu dan masih bisa saling menjaga kesatuan. Penyampaian aspirasi biasa diwakili oleh para tokoh ummat Islam dengan cara-cara yang beretika. Di antara tokoh Muslim tidak saling silang dalam berpendapat. Pada saat itu media Islam tidak seberapa banyak, namun cukup representatif untuk menyampaikan aspirasi ummat dan mempublikasikan wacana keagamaan dan kebangsaan.

Kala itu tampil di media tokoh kharismatik sekaliber Natsir dan Radyidi. Natsir yang merupakan tokoh disegani di dunia Islam, menuliskan topik “Relasi Islam dan ummat Nasrani di Indonesia”. Inti bahasannya, “Waspada dengan cara-cara pemurtadan”. Rasjidi, intelektual sekaligus ulama terpandang zaman itu, menorehkan pena dengan topik “Sidang Raya DGD di Jakarta 1975 – Artinya Bagi Dunia Islam” diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah. Inti bahasan Rasjidi tegas, “Sidang Raya DGD tidak lebih dari agenda pemurtadan ummat Islam di Indonesia”. Rasjidi juga menyebut, “Sidang Raya DGD paralel dengan kolonialisme”.

Beruntung, tokoh semacam Cak Nur yang mempopulerkan gagasan Islam Liberal dan Gus Dur yang kemudian dikenal sebagai bapak pluralisme belum menjadi sosok “besar” dan “terpandang”. Kedua tokoh itu pada dekade berikutnya dianggap sebagai juru bicara kelompok minoritas. Ikhtiar Natsir dan Radyidi tak membuat rencana DGD diurungkan. Para pemuda dan pemudi Islam kemudian terpaksa turun ke jalan untuk memperkuat desakan pada Soeharto.

Singkat kata suara ummat Islam satu, bisa berjamaah untuk mengkritik langkah Soeharto.

Namun langkah yang ditempuh ummat Islam tak membuat Soeharto bergeming. Ikhtiar ummat nyaris kandas, dan tinggal berhitung bulan pelaksanaan Sidang Raya DGD dilaksanakan. Meski kekuatan politik Islam saat itu sudah terlanjur dikebiri Soeharto, semangat memperjuangkan Islam belumlah pudar. Semangat itu bukan hanya ada di dada Natsir atau Rasjidi, tapi juga ada di dada rakyat biasa. Hasyim Yahya, salah satunya. Sebal dengan tulinya penguasa Orde Baru terhadap masukan dan aspirasi ummat Islam, Hasyim Yahya tak mau berdiam diri di Surabaya, kota tempat tinggalnya sebagai pengusaha.

Hasyim Yahya tahu bahwa upaya unjuk rasa saudara-saudara seagamanya pada penguasa hasilnya nihil. Tapi panggilan Qur`an begitu menancap di dada. Tokoh panutan ummat semacam Natsir dan Rasjidi membakar semangat militansinya untuk mencintai dan membela agama dan negerinya dari kaki tangan penjajah. Hasyim pun punya rencana.

Terbanglah Hasyim Yahya ke Ibu Kota bersama dua saudara seimannya. Pada tanggal 29 Juli 1974 didatanginya sebuah hotel di Jalan Arif Rachman Hakim, tempat salah seorang pemuka DGD bernama Erick Constable menginap. Dia bersama dua orang temannya berpakaian rapi dan berjaket, menyamar hingga berhasil memasuki ruang penginapan. Tiada senjata apalagi bom. Dia bukan kaki tangan aparat pemerintah semacam Densus 88. Dia juga bukan komprador lembaga negara yang sering merekayasa kisruh agar isu terorisme bisa memancing kucuran dolar dari luar sana.

Hasyim Yahya kala itu masih muda. Didapatinya seorang mantan TNI menjaga Erick. Belakangan diketahui bahwa mantan TNI itu bernama Sukiman dan beragama Islam. Sukiman mengantar Hasyim Yahya menemui Erick. Erick yang baru dua minggu berada di Indonesia tidak merasa curiga. Saat ditemui, Hasyim Yahya dan dua kawannya mengeluarkan pisau dan menikam Erick dan Sukiman hingga meregang nyawa.

Siapa Erick Constable? Dia bukan orang biasa. Dia pendeta Gereja Anglikan asal Australia. Kabar dari Jakarta itu mengejutkan. Pihak penyelenggara, terutama dari DGD, memandang kematian Erick Constable merupakan sinyal membahayakan kegiatan mereka. Putusan pun dibuat. Sidang Raya ke-5 DGD pun akhirnya dipindahkan ke Nairobi, Kenya.

Bukan peralatan canggih. Bukan pula aksi bermodalkan bom. Terlampau jauh semua itu. Cukup dengan sebilah pisau menghempaskan nyawa tokoh yang bersiap ‘menyelamatkan gembala tersesat‘di Indonesia. Tidak perlu rapat repot; tidak butuh mobilisasi massa. Keberanian bersahaja demi memenuhi panggilan hati. “Saya hanya melaksanakan perintah Quran,” kata Hasyim. Putusannya bulat, meskipun perbuatannya membawa dampak Hasyim Yahya masuk bui.

Menariknya, aparat kepolisian kala itu menyebut Hasyim Yahya “tekena penyakit syaraf”. Versi lain menyebutkan pembunuhan itu hanyalah “kasus perampokan biasa”. Namun, juga memunculkan sejumlah pertanyaan. Mengapa seorang pengusaha asal Surabaya Hasyim Yahya, yang tidak punya catatan kriminal menjadi perampok? Mengapa tidak ada barang yang dicuri? Mengapa massa yang hadir di persidangan Hasyim Yahya meneriakkan slogan-slogan berbau keagamaan? Mengapa terdakwa kasus pembunuhan ditunda persidangannya untuk waktu yang tidak ditentukan dan akhirnya lama menghuni bui tanpa pernah disidang kembali? Mengapa Sidang Umum Dewan Gereja-Gereja Dunia yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 1975 akhirnya harus dipindah ke Nairobi?

Apapun tudingan itu, yang jelas tidak akan pernah diakui oleh Hasyim Yahya. Hasyim Yahya boleh saja dituduh “syaraf” dan “merampok”, tapi ini tidak lebih hanya permainan aparat agar kasus sensitif tersebut tidak mengguncang ihwal kerukunan beragama yang dicanangkan Soeharto.

Andrew, seorang penulis sempat berkesimpulan bahwa kasus pembunuhan itu, meski dilakukan dengan motif-motif keagamaan, tetap tidak dapat dianggap bahwa tidak ada toleransi beragama di Indonesia. "Bagaimana pun, selain Pendeta Erick juga ada Sukiman yang dibunuh, dia bukan orang Kristen," katanya.

14 Oktober 2016 lalu puluhan ribu ummat Islam turun ke jalan berunjuk rasa menuntut penangkapan pelaku penodaan agama Islam. Terhadap unjuk rasa ini Presiden diam saja. Presiden bahkan membuat agenda pengalihan perhatian publik dengan melantik Arcandra yang pelantikan sebelumnya dipermasalahkan oleh publik. Media besar pun membisu. Paska unjuk rasa aparat hukum dinilai tak segera tergerak. Ketika pelaku penodaan agama dipanggil aparat hukum, ceritanya cuma klarifikasi belaka.

Zaman berubah, ummat Islam pun turut berubah. Meskipun secara kasat mata unjuk rasa ummat Islam 14 Oktober 2016 yang lalu mirip dengan unjuk rasa tahun 1974, hasilnya akan berbeda. Unjuk rasa ini diragukan akan mampu membuat penguasa dan cukong di belakangnya gentar. Mengapa?

Ummat Islam Indonesia kini sudah sulit bersatu dan disatukan. Ummat Islam Indonesia saat ini sudah beralih madzhab. Madzhab mereka adalah Liberalisme dan Pluralisme. Dua kutub madzhab yang menyebabkan di antara sesama ummat Islam mudah diadu domba. Ironinya banyak ummat Islam yang taqlid buta pada madzhab Liberalisme dan Pluralisme ini. Bahkan ada yang meniru jejak Abdillah bin Ubay bin Salul di zaman Rasulullah yang terang-terangan membela lawan Islam, tapi enggan disebut Munafik atau Kafir. Lawan ummat Islam dari kejauhan geli menertawakan ummat Islam. Ummat Islam akan terhenyak bila sosok seperti Hasyim Yahya hadir kembali.

*) Oleh Mohammad Noordin

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top