Nusantarakini.com, Jakarta – Tuhan tampaknya mengirimkan bantuan yang tidak disangka kepada rakyat Indonesia melalui sepotong ayatnya: Al-Maidah ayat 51. Setelah lama menderita kebingungan, ketertindasan dan penghinaan oleh sekelompok elit yang bermetamorfosa bagaikan Fir’aun, tiba-tiba saja, Al-Maidah 51 menjelma menjadi panji-panji bagi rakyat untuk membalas penghinaan dan menunjukkan kekuatan dan kedaulatan. Dalam sekali seru dengan waktu yang singkat, rakyat mengalir bak air bah mengepung Bareskrim dan Balaikota tempat di mana Ahok mengatur pemerintahan Ibukota.
Sekarang masih berjalan proses siapakah yang akan takluk: apakah pembawa panji-panji Al-Maidah 51 atau Ahok dengan segala sokogurunya.
Diketahui, kekuatan utama yang membuat Ahok menyombongkan diri layaknya Fir’aun ialah bahwa fakta dia secara politik ditopang oleh Mega. Setelah pengumuman resmi dukungan Mega kepada Ahok untuk maju menjadi penguasa ibukota Indonesia, dirinya tak bisa lagi menahan untuk tidak makin jumawa. Akibatnya, terjadilah apa yang terjadi.
Disulut oleh pelecehan terhadap sebuah ayat Al-Qu’an surat Al-Maidah ayat 51, ketersinggungan rakyat pun menjalar ke seluruh Indonesia. Ketersinggungan ini sebenarnya hanya menunggu waktu untuk menjadi kemarahan yang meluap bak air bah. Sebab, sakit hati rakyat kepada penguasa yang pongah dan tak tahu diri sudah bertumpuk-tumpuk dan akumulatif. Jadi tidak heran, bila tiba-tiba meluap karena tangki penampungan kemarahan dan kegeraman sudah penuh dan padat.
Kembali kepada judul mengapa memakai istilah neo fir’aun, sebab banyak struktur yang mirip sekali dengan struktur fir’aun. Fir’aun pongah menantang Tuhan, karena disokong oleh Haman, Tukang Sihir, dan Qorun. Haman adalah simbolisasi dan representasi para teknokrat, intelektual lacur bin kufur. Qorun adalah simbolisasi konglomerat najis. Tukang sihir adalah representasi media dan para jurnalis yang mengabdi kepada Fir’aun.
Mungkin menarik juga untuk menginterpretasikan piramid, sebagai proyek raksasa Fir’aun. Padanannya dalam kasus ini yaitu pulau-pulau reklamasi. Reklamasi itu persis seperti piramid bahwa pada proyek itu terkandung ambisi kekuasaan yang dimonumenkan, ada penindasan dan ada sifat mercucusuar. Lengkap sudah.
Melihat Ahok dari sudut sosiologi kekuasaan sangatlah kompleks. Ahok hanya figur, tapi sebenarnya kefigurannya ditopang oleh suatu sistem dan pilar-pilar kekuasaan yang beragam. Antara lain yang penting disebut di sini, yaitu Mega dan partainya. Mega dan partainya amat menentukan kekuatan dan determinasi Ahok dalam konstelasi politik di Indonesia. Karena itulah, kepongahannya tak bisa dilepaskan dari unsur Mega sebagai penunjang utama politik.
Seperti halnya Fir’aun di masa silam dimana kotak pandora untuk mengungkap rahasianya terletak pada piramida, maka kotak pandora Ahok dan pilar-pilar kekuasaannya terletak para proyek reklamasi teluk Jakarta.
Ditengarai, sebenarnya proyek properti di satu pulau tertentu dari rangkaian pulau reklamasi tersebut, sudah terjual ke suatu perusahaan di Hongkong. Perusahaan tersebut menjualnya kembali ke berbagai pembeli di Cina daratan. Duit dari Hongkong itu sebagian diserahkan kepada penguasa DKI. Oleh penguasa DKI, diserahkan lagi ke penguasa partai sebagai tiket untuk mengikuti Pilkada.
Adapun penguasa partai itu memerlukan dana yang banyak mengingat Pilkada yang dilaksanakan secara serentak tahun depan (2017). Dana mahar politik yang terakumulasi digunakan untuk membiayai oknum-oknum partai yang dimajukan sebagai kandidat.
Anda bisa bayangkan berapa triliun dana yang diperlukan untuk membiayai 101 calon pasangan pimpinan daerah dari level provinsi hingga kabupaten di seluruh Indonesia untuk berpromosi, bertarung dan memelototi hasil-hasil penghitungan suara pada 2017 nanti.
Implikasi Pilkada Serentak
Tadinya orang berharap dengan pilkada serentak, pendanaan politik lebih efesien. Ternyata sebaliknya. Sebab, 101 even pilkada langsung digelar di berbagai daerah secara serentak.
Tentu 101 even akan lebih mahal ketimbang 10 even. Saat yang sama, kecenderungan pimpinan partai untuk memusatkan kekuasaan keuangan partai makin tak dapat dihindarkan. Sebab hal itu diperlukan untuk kontrol yang lebih kuat terhadap setiap calon kepala daerah yang didukung oleh partai.
Karena itu, pimpinan pusat, terutama tokoh sentralnya, memerlukan diri untuk langsung mengatur tidak saja pemberian legitimasi, tetapi juga pendanaan.
Logika semacam inilah yang menjelaskan mengapa mahar-mahar politik yang diterima dari seorang kandidat begitu besar. Sebab, nantinya mahar itu akan diatur menjadi subsidi silang bagi kandidat-kandidat di daerah lain.
Pimpinan pusat partai sudah tak ubahnya bagaikan bank yang menampung dana, lalu kemudian dana itu disuplai ke 101 kandidat yang bertarung memperebutkan kursi-kursi eksekutif di daerah.
Masalahnya sekarang, apabila Ahok dapat dilengserkan dengan menjebloskannya ke penjara, maka akan banyak pihak yang rugi secara ekonomi dan politik.
Para pengembang yang dananya telah terbang untuk asupan partai, dan partai pendukung yang telah terlanjur mengatur skema politik dan strategi pendanaan pilkada serentak, akan tergoncang dan rugi besar jika Ahok dibuikan akibat tuduhan penistaan agama Islam.
Jadi, semuanya serba terkait dan saling mengunci satu sama lain. Pengembang butuh penguasa. Penguasa butuh dana. Penguasa yang satu memberi upeti kepada penguasa di atasnya dengan menggunakan dana dari pengembang. Semuanya dipaksa untuk korup akibat pilkada serentak dan akibat ambisi untuk berkuasa dan kaya raya.
Sekarang kuncinya ada di tangan Bareskrim dan usaha keras rakyat untuk tidak bergeming, khususnya umat Islam yang lama disepelekan sebagai aktor determinan, supaya memaksa Ahok tunduk ke prosedur hukum yang berlaku. Bukti untuk menahan Ahok sudah amat lengkap. Tidak mungkin diakal-akalin lagi untuk melepaskan Ahok dari jerat hukum.
Bareskrim tidak perlu takut akan masa depan karir mereka di dunia. Karir mereka di akhirat dan nama baik mereka di mata rakyat jauh lebih penting dan hal itu akan dicatat sebagai pahala karena telah menolong kewibawaan agama, negara, kemanusiaan dan penentangan terhadap kejahatan ekonomi dan politik yang terang-terangan. (sed)