Ini Analisa Lengkap LSI, Ahok Potensial Kalah

Nusantarakini.com, Jakarta – LSI pimpinan Denny JA mengeluarkan analisa bahwa kemungkinan Ahok akan kalah. Seperti apa uraiannya, dapat dibaca berikut:

Akankah Ahok (Basuki Tjahja Purnama) kalah? Pertanyaan ini seketika muncul ketika melihat hasil survei LSI terbaru, yang mengejutkan. Dukungan atas Ahok terus menurun sejak survei Maret 2016, Juli 2016 dan Oktober 2016.

Kini dukungan Ahok menurun di titik rawan. Ia mungkin menang. Namun ia juga mungkin kalah. Bahkan Ahok kini mungkin tersingkir di putaran pertama pilkada DKI Febuari 2017.

Demikianlah kesimpulan hasil survei LSI yang baru saja selesai (28 September-02 Oktober 2016). Total responden berjumlah 440 responden. Wawancara tatap muka. Riset dilakukan dengan metode multi-stage random sampling. Margin of Error plus minus 4,8%.

Survei ini dibiayai dengan dana sendiri, dan dilengkapi pula dengan kualitatif riset (FDG/focus group discussion, media analisis, dan depth interview).

Ahok di bulan Oktober 2016 bukanlah Ahok di bulan Maret 2016. Di Survei LSI bulan Maret 2016, Ahok pribadi begitu perkasa dengan tingkat elektabilitas 59,3 persen.

Saat itu elektabilitas Ahok sendirian tetap lebih besar dibandingkan 10 calon gubernur yang lain digabung menjadi satu (Yusril IM, Tri Risma, Sandiaga, dan lainnya). Total 10 orang kompetitor itu dijumlah bahkan hanya 26.30 persen. Bahkan total suara mereka masih jauh di bawah dukungan Ahok sendirian.

Namun di bulan Oktober 2016, elektabilitas Ahok pribadi merosot hanya diangka 31,1%. Ia memang masih di atas Agus pribadi sebesar 22,30 persen dan Anies pribadi sebesar 20,20 persen. Namun, hanya Anies ditambah Agus (42,5 persen) sudah mengalahkan Ahok (31,1 persen) dengan selisih 11,4 persen. Selisih ini marginnya double digit, diatas 10 persen.

Jika berpasangan, pasangan Ahok-Djarot (Basuki TjahjaPurnama-Djarot Syaiful Hidayat) juga hanya unggul tipis saja terhadap pasangan lainnya.

Ahok-Djarot 31,4 persen,
Anies-Uno (Anies Rasyid Baswedan-SandiagaSalahudin Uno sebanyak 21,1 persen
dan pasanganAgus-Sylviana (Agus Harimurti Yudhoyono-SylvianaMurni) dan) sebanyak 19,3 persen.

Pemilih yang belum memutuskan, tidak tahu/tidak jawab atau rahasia total sebanyak 28,2 persen.

Dengan angka dukungan ini, dan pilkada masih empat bulan lagi, jika tak ada perubahan radikal, hampir pasti pilkada berlangsung dua putaran. Tidak ada yang unggul mutlak diatas 50 persen.

Namun di putaran pertama, siapapun kini bisa tersingkir. Jika tren Ahok terus menurun, Ahok pun bisa tersingkir di putaran pertama.

Dilihat dari segmen pendukung, masing-masing pasangan saling mengalahkan. Pasangan Ahok-Djarot menang di segmen gender dengan presentase dipilih laki-laki sebanyak 26.4 persen dan dipilih perempuan 36,4 persen.

Dibandingkan dengan pasangan Anies-Uno hanya memperoleh presentase dipilih pemilih laki-laki sebanyak 20,9 persen dan pemilih perempuan21,4 persen.

Sedangkan, pasangan Agus-Sylviana memperoleh presentase dipilih pemilih laki-laki sebanyak 19,5 persen dan pemilih perempuan 19,1 persen.

Di segmen berikutnya, yakni segmen agama, pasangan Ahok -Djarot berada di titik kritis. Di kalangan pemilih non Muslim, Ahok unggul di atas 80 persen. Namun di pemilih Muslim, ahok merosot di bawah 30 persen.

Hanya karena pemilih Muslim punya dua cagub Muslim, suara terbagi. Di putaran kedua, porsi besar pemilih Muslim ini bersatu melawan Ahok. Sementara porsi pemilih Muslim total sekitar 90 persen.

Pasangan Ahok dipilih pemilih muslim (beragama Islam) sebesar 27,7 persen, dan pemilih non-muslim(agama Kristen, Protestan, Budha, Hindu) sebesar 83,3 persen.

Sedangkan, pasangan Anies-Uno dipilih pemilih muslim sebesar 22,8 persen, dan pemilih non-muslimhanya memperoleh angka dibawah margin error (<4,8 persen).

Berikutnya, pasangan Agus-Sylviana dipilih pemilih muslim sebesar 20,6 persen, dan pemilih non-muslim hanya memperoleh angka dibawah margin error (<4,8 persen).

Selanjutnya, segmen pemilih berdasarkan pendidikan. Pasangan Anies-Uno menang di segmen pemilih dengan latar belakang berpendidikan pernah kuliah atau di atasnya. Mereka memperoleh presentase sebesar 31,2 persen.

Di segmen pendidikan tinggi, Pasangan Ahok-Djarot hanya memperoleh 26,0 persen dan disusul pasngan Agus-Sylviana sebesar 19,5 persen.

Berikutnya di segmen pendapatan. Pasangan Agus-Sylviana menang di segmen pemilih wong cilik atau pemilih berpendapatanrendah (dibawah 999 ribu rupiah) sebanyak 21,9 persen.

Sedangkan di segmen yang sama pasangan Ahok-Djarot hanya memperoleh dukungan sebesar 18,8 persen.

Di segmen yang sama, Anies-Uno memperoleh sebesar 15,6 persen.

Terakhir, di segmen pemilih berdasarkan usia. Pasangan Agus-Sylviana unggul di segmen pemilih berusia muda (19 tahun atau dibawahnya) sebesar 33,8 persen.

Dibandingkan dengan pasangan Anies-Uno yang hanya dapat sebesar 30,8 persen, di segmen pemilih pemula.

Dan pasangan Ahok-Djarot memperoleh sebesar 27,8 persen.

Ketiga pasangan itu kini saling mengalahkan tergantung di segmen pemilih.

Mengapa Ahok kini merosot? Dari dukungan 59, 3 % (Maret 2016), kini tergerus hanya ke titik rawan selaku incumbent: 31.1 %?

Merosot dari Ahok menang satu putaran saja (Maret 2016) menjadi Ahok potensial dikalahkan di putaran kedua, bahkan selalu juga mungkin di putaran pertama?

Sejak bulan Maret 2016, Ahok sudah menjadi common enemy terutama di dunia media sosial (social media). Aneka group Whatsapp (WA), bahkan di media konvensional semakin banyak yang kritis padanya.

Saya (Denny JA) sudah menulis di bulan Maret 2016: “Ahok Kuat Namun Bisa Dikalahkan dengan mengungkapkan beberapa alasan” (https://www.inspirasi.co/post/detail/11091/ahok-kuat-tapi-bisa-dikalahkan). Prediksi ini kini terbukti.

Ada empat alasan mengapa Ahok menjadi common enemy, data ini diperoleh melalui riset kualitatif.

Pertama, akibat Isu kebijakan publik yang tak disukai: kebijakan penggusuran beberapa wilayah (Kampung Pulo, Kalijodo, Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, dan lainnya) dan kebijakan reklamasi teluk.

Dua jenis kebijakan ini (penggusuran dan reklamasi) memiliki pendukung dan kontranya. Namun kebijakan ini yang membuat ahok tak populer di kalangan wong cilik, yang acapkali menjadi korban. Aneka gerakan civil society di bidang terkait ikut membesarkan sentimen anti Ahok.

Kedua, Isu personality. Karakter Ahok yang kasar dan suka memaki orang di publik dianggap bukanlah tipe pemimpin yang layak diajarkan bahkan ditonton anak-anak. Jika Ahok menang dengan karakter seperti itu, Ahok akan ditiru. Bahkan orang tua yang a-politis bisa ikut menyebarkan sentimen anti Ahok hanya soal karakter suka memaki di depan publik itu.

Belum lagi sikapnya yang dinilai tidak konsisten. Suatu ketika ia mencerca partai politik dan hanya ingin maju lewat jalur independen. Namun selanjutnya ia berjuang mencari dukungan partai politik.

Ketiga, isu primordial. Hasil riset LSI (Lingkaran Survei Indonesia) menyebutkan terdapat sekitar 40 persen pemilih muslim DKI tidak bersedia dipimpin oleh pemimpin yang non muslim. Mereka berjuang militan agar Ahok tidak terpilih sebagai bagian dari girah agama.

Kini bahkan etnis Ahok ikut dipersoalkan. KemenanganAhok dikwatirkan menjadi stimulus semakin dominannya etnis Tionghoa di bidang ekonomi.

Bahan kemenangan Ahok dikaitkan dengan pertarungan global RRC menguasai Asia dan dunia.

Terlepas apakah alasan ini masuk akal ataupun tidak, namun isu ini efektif menumbukan sentimen anti Ahok.

Kita sungguh prihatin dan selalu tak setuju dijadikannya isu primordial sebagai basis attacking. Namun hal ini yang kini terpotret dalam pilkada DKI.

Keempat, hadirnya kompetitor yang fresh: Agus Harimurti dan Anies Baswedan. Dua figur ini belum dibicarakan dua bulan lalu. Kehadiran mereka kini bisa mengambil banyak pemilih yang dulu pro-Ahok, atau yang ragu-ragu.

Namun banyak sukses story ahok yang juga dipuji. Kali jakarta yang bersih, hadirnya pasukan oranye yang sigap benahi lingkungan, keberanian Ahok melawan sisi gelap politik tetap diapresiasi.

Success story itu yang membuat dukungan Ahok masih nomor satu walau sudah merosot drastis.

Di posisi 2 dan 3, pasangan Anies Baswedan dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono bersaing ketat. Keduanya berada di posisi kedua karena selisih margin of error saja (selisih dukungan di antara mereka lebih kecil dari margin of error 4.8%).

Agus potensial menjadi kuda hitam karena belum lama menjadi politisi sipil namun dukungan atasnya sudah meroket. Agus memiliki efek WOW, ujar anak gaul masa kini.

Kembali ke pertanyaan awal, akankah Ahok kalah di putaran pertama atau di putaran kedua pilkada DKI 2017?

Jawabnya, Ahok masih bisa menang jika ia membuat gebrakan baru. Jika tidak, trend menunjukkan Ahok tak sekuat dulu dan bisa dikalahkan.

Jika pilkada hari ini, bersatunya kekuatan Anies dan Agus di putaran kedua, potensial dan per hari ini sudah mengalahkan Ahok.

Jakarta, Oktober 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *