Analisa

GUSUR BUKIT DURI. Kenapa Tidak Belajar dari Kali Code dan Kali Jagir Wonokromo? SIMAK Analisanya di Sini

Nusantarakini.com, Jakarta-

PEMBANGUNANISME

*Tino Rahardian

Pembangunan? Ah, coba kau tanyakan dulu kepada kaum papa yang kampungnya sudah kau rampas. Lalu kau tanyakan juga kepada warga Bukit Duri, yang rumah dan tanahnya kau gusur. Dan tanyakan juga kepada anak-anak kecil yang tawanya kau rebut dari wajahnya. Pembangunan macam apa yang justru melahirkan anak-anak kemiskinan baru? Menebar ketakutan, penderitaan dan kemelaratan. Kau tak berikan jalan keluar alternatif selain bumihangus. Sikat habis tanpa sisa.

Di balik bualan-bualan soal penataan dan normalisasi sungai, pembangunanisme ala kaum jetset dimuntahkan sekenanya. Kemanusiaan yang adil dan beradab sudah mati. Kewarasan dan akal sehat hanyalah dongeng pengantar anak tidur. Mulut kotormu berbusa-busa dipenuhi tipu dan dusta. Konon cukong hitam sudah terlanjur keluar biaya. Bahkan aparat bersenjata pun tanpa malu menggusur rakyatnya sendiri, ibu kandung yang melahirkan para patriot kemerdekaan. Melupakan semua ajaran Jenderal Besar Soedirman.

Kemiskinan memang tak kemana-mana. Berputar-putar di antara perkampungan kumuh miskin. Pembangunanisme tak pernah suka bau tak sedap selokan air berwarna hitam. Tak pernah berpikir bagaimana cara memuliakan kaum miskin. Meninggikan derajat kaum papa. Enggan melibatkan partisipasi publik. Apalagi berpikir soal pemberdayaan komunitas pinggiran kali. Untuk makan bersama saja harus membayar 50 juta. Cukup keterlaluan bukan?

Begitulah para filsuf kemiskinan berujar, ‘kaum miskin bermartabat adalah musuh kekal kemalasan kaum pembangunanisme.’

Abidin Kusno dalam tulisannya “Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta” mencatat ada 59.000 hektar lahan kumuh di Indonesia. Terus meluas hingga 71.860 hektar di tahun 2025. Sebesar 23 persen dari penduduk kota tinggal dan bermukim di area kumuh tersebut. Kondisi demikian selaras dengan data BPS 2010, dimana terdapat kekurangan kebutuhan rumah di Indonesia sebesar 13,6 juta unit dan bertambah hingga 700 – 800 ribu unit setiap tahunnya.

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. Biasa di sapa dengan nama Romo Mangun. Selama 8 tahun lebih tekun menata dan memberdayakan kaum papa sepanjang pinggiran Kali Code Yogyakarta. Bapak Arsitektur Modern Indonesia penerima penghargaan Ramon Magsaysay ini sukses merubah pinggiran Kali Code menjadi pemukiman layak, bersih, indah, manusiawi dan aman bagi manusia tanpa harus menggusur. Dari kali Code ini pula Romo Mangun menerima penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang versi Aga Khan.

Sebuah kehormatan dapat berjuang bersama Romo Mangun. Penulis juga berkesempatan mendampingi protes-protes di tahun 2002 bersama warga stren kali di Surabaya. Dimana sekitar 1.359 bangunan berdiri di sekitar stren kali Surabaya dan 1.422 bangunan di Kali Jagir Wonokromo. Pernah ditulis oleh Totok Wahyudi Abadi dan Ita Kusuma Mahendrawati dengan judul “Penertiban Versus Penggusuran: Strategi Komunikasi dan Partisipasi Pembangunan [Studi Kasus di Stren Kali Jagir Wonokromo, Surabaya].” Konsep alternatif yang dimunculkan adalah menggeser rumah sedikit ke belakang dan membalik posisi tampak depan rumah menghadap sungai. Pada akhirnya kegigihan perjuangan warga stren kali bersama aktivis-aktivis tersebut menghasilkan buah. Pada 2007, DPRD Provinsi Jawa Timur melegalkan pemukiman warga. Sebuah keputusan pro rakyat miskin. Bravo!

Bagaimana dengan nasib warga Bukit Duri di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung?

Dari sana saya berkenalan dengan nama Jaya Suprana dan seorang yang cukup lama saya kenal yaitu Ignatius Sandyawan Sumardi. Dulu kita menyapanya dengan nama Kuncoro. Dikenal dengan julukan ‘Romo Pemulung’ akibat keteguhannya membela kaum papa. Komunitas Ciliwung Merdeka dibangun demi mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada kemanusiaan. Tak sekedar program pemberdayaan dan pendampingan. Karena sudah cukup lama konsep alternatif bernama ‘kampung susun’ diperjuangkan bersama-sama warga. Sangat disayangkan, DPRD DKI belum membuka hati dengan konsep tersebut. Bahkan gubernur sang petahana sukses membumihanguskan warga Bukit Duri. Bualannya soal normalisasi sungai Ciliwung sungguh-sungguh menciderai hak asasi. Membunuh kemanusiaan yang adil dan beradab.

Manusia demikian adalah perwakilan dari kaum pembangunanisme. Serupa dengan mereka yang hanya bisa diam melihat kebengisan, kekejaman dan ketidakadilan terjadi didepan matanya. (*mc)

*Penulis adalah pemerhati sosial dan budaya, tinggal di Jakarta.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top