Nusantarakini.com, Jakarta – Presiden Jokowi Kamis (26/5) pagi bertolak menuju Nagoya, Jepang dalam rangka menghadiri undangan forum rutin G7 Outreach. Presiden berada di Jepang selama dua hari, 26-27 Mei, untuk sejumlah kegiatan antara lain, pertemuan dengan pemimpin Prancis, Srilanka, dan Jepang.
Ari Dwipayana menerangkan bahwa kunjungan tersebut untuk memenuhi undangan Jepang sebagai tuan rumah G7 kali ini.
"Kunjungan ke Jepang untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe," kata Tim Komunikasi Presiden (TKP) Ari Dwipayana.
Presiden yang dijadwalkan menjadi pembicara utama akan menekankan pentingnya kerjasama global. Pertemuan tersebut akan membahas dua isu pokok , yakni stabilitas dan kesejahteraan Asia; pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan perempuan, dan kesehatan global.
Beberapa tim yang mendampingi Jokowi terlihat Menteri/Kepala Bappenas Sofyan Djalik, Mensekneg Pratikno, Menlu Retno Marsudi dan Ketua OJK Muliaman Hadad.
Terkait kunjungan tersebut, Derek Manangka wartawan senior dalam account Facebooknya menganalisa bahwa kunjungan ke Jepang kali ini memiliki makna khusus terkait relasi Jepang dengan Indonesia.
Sebagaimana diketahui belakangan, Indonesia di bawah Jokowi menunjukkan kecondongannya ke China dari pada Jepang. Tentu Jepang sebagai investor lama di Indonesia tidak rela akan tersisih dengan masuknya modal China secara besar-besaran. Apa yang dilakukan Jepang dengan mengundang Jokowi sebagai pembicara utama dalam forum yang mengontrol 60% lebih kekayaan dunia tersebut, dapat disimpulkan sebagai cara membujuk Indonesia agar tidak terlalu condong ke China maupun Rusia. Sejauh mana dampak kunjungan Jokowi tersebut bagi perimbangan China dan Jepang di Indonesia, masih harus dilihat beberapa waktu ke depan.
Sebagai pemimpin negara yang tengah membangun, Jokowi harus mengambil kesempatan tersebut untuk meraih lebih banyak lagi aliran investasi dari negara-negara G7 ke Indonesia. Indonesia sekalipun membutuhkan modal dari China, tidak perlu jatuh terdikte oleh negara tersebut. Skema investasi yang mengharuskan penggunaan tenaga kerja dari China, harus dinegosiasi ulang supaya tenaga dari Indonesia sendiri terserap. (sed)