Nusantarakini.com, Jakarta-
Banyak orang bilang komunikasi publik Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok buruk. Dan reaksinya menanggapi proyek reklamasi hari-hari ini adalah komunikasi terburuk yang pernah saya lihat dari seorang pejabat publik.
Alih-alih menjelaskan duduk soalnya, seraya menangkis dan membela diri, Ahok mengumbar kemarahan begitu rupa. Wartawan yang bertanya soal itu ia damprat habis-habisan.
Amarahnya dipicu berita Koran Tempo yang mengutip keterangan Direktur Utama Podomoro Land Ariesman Widjaja, tersangka suap reklamasi kepada anggota DPRD. Ariesman mengatakan perusahannya telah membiayai penggusuran kompleks prostitusi Kalijodo pada awal Februari lalu senilai Rp 6 miliar. Biaya ini, menurut Ariesman, akan menjadi pengurang nilai kontribusi tambahan pulau reklamasi. Podomoro sedang membangun Pulau G di Teluk Jakarta.
Total kontribusi itu akan ditetapkan Gubernur Ahok sebesar 15 persen x NJOP x luas lahan yang bisa dijual pengembang. Nilainya pasti triliunan karena Pulau G—satu dari 17 pulau reklamasi—saja luasnya 161 hektare. Jika Podomoro bisa menjual 55 persen lahannya dan NJOP pulau reklamasi nanti sekitar Rp 25 juta, Podomoro harus membayar kontribusi kepada pemerintah Rp 3,3 triliun. Sayangnya, aturan baru itu batal disahkan DPRD menyusul pengungkapan suap oleh KPK.
Dalam rapat pada 18 Maret 2014, ada 13 proyek yang harus dikerjakan Podomoro yang nilainya Rp 392 miliar. Jika semua proyek tersebut telah dikerjakan dan nilainya telah dihitung oleh tim appraisal, maka ketika Podomoro hendak membayar kontribusi reklamasi kelak, nilainya akan dikurangi dari nilai proyek tersebut atau Rp 3,3 triliun dikurangi Rp 392 miliar.
Uang itu tak berbentuk tunai. Ahok meminta setiap pengembang menyalurkan uangnya untuk pelbagai proyek penanggulangan banjir, membuat rumah susun, dst. Dan ini disebut kontribusi tambahan, karena ditambahkan Ahok setelah ia meminta 40 persen lahan reklamasi tiap pulau untuk ruang hijau plus 5 persen untuk fasilitas sosial seperti rumah susun, yang semuanya dibangun oleh pengembang seperti Podomoro.
Rupanya pengakuan Ariesman tak didukung bukti. Dalam catatan rapat 18 Maret 2016 itu, urusan Kalijodo tak ada dalam daftar proyek yang harus dikerjakannya sebagai pengurang kontribusi tambahan. Ariesman separuh berbohong. Tapi proyek lainnya terbukti. Koran Tempo mengecek proyek-proyek itu untuk membuktikan klaim Ariesman tersebut.
Sampai di sini jelas. Informasi soal ini ada banyak referensinya di banyak media, termasukKoran Tempo. Yang membuat Ahok marah adalah kata “barter” di judul berita itu. Pemimpin Redaksi Koran Tempo Daru Priyambodo menjelaskan bahwa “barter” adalah istilah yang dipakai untuk menamai pemberian izin reklamasi dari pemerintah dengan proyek yang wajib dikerjakan tiap pengembang itu. Izin ditukar proyek.
Saya cek di kamus, barter artinya “transaksi dengan tukar menukar barang”. Oleh Ahok kata itu diberi arti tambahan: tukar menukar barang untuk mendapat sesuatu. Saya tak tahu kamus Bahasa Indonesia mana yang dipakai Ahok untuk merujuk arti itu.
Dari tafsir baru atas arti “barter” inilah yang membuat Ahok marah dengan menuduh Tempomenuduhnya mendapat imbalan dalam pemberian izin reklamasi. Ia juga menuduh Tempohendak menggagalkan aturan kontribusi tambahan dan bersekongkol dengan pengembang. Tuduhan-tuduhan yang tak berdasarkan fakta. Tempo getol mengungkap kongkalikong pengembang dengan anggota DPRD yang hendak menggagalkan kontribusi tambahan itu. Dalam opini Tempo edisi terbaru untuk mengantarkan laporan utama “Amuk Reklamasi”, diskresi Ahok dipuji sebagai terobosan, meski harus diuji niatnya.
Dan bukan hanya Koran Tempo, kata barter juga dipakai Ketua KPK Agus Rahardjo untuk menamai pertukaran izin dengan proyek Jakarta itu. Agus menegaskan KPK tengah menelisik adakah dasar hukum diskresi itu. Maka, alih-alih menjadikan laporan media sebagai informasi publik membaca arah penyelidikan KPK, Ahok lebih senang menuduh media menyerangnya.
Jauh sebelum Ahok menjadi gubernur, Tempo selalu menulis proses-proses penyelidikan dan penyidikan hukum untuk mengawal penegakkannya dan menginformasikannya kepada publik, sebagai bagian dari tugas media. Agak sulit memahami bahwa Ahok tak paham fungsi media.
Ahok mengaku belajar politik dari Tempo sejak SMA karena majalah ini “berani bongkar semua”. Jika yang dibongkar itu kini adalah dia sendiri, itu memang bagian dari tugas Temposebagai media yang diwajibkan oleh aturan agar independen. Dengan berita itu kita jadi tahu ada rapat pada 18 Maret 2014 antara Ahok dan Ariesman. Tanpa diberitakan, rapat penting itu luput dari catatan dan perhatian publik.
Dalam hal reklamasi, publik ingin tahu bagaimana kebijakan pada 2014 itu diputuskan. Kenapa Ahok meminta proyek sebelum aturannya disahkan? Proyeknya apa saja? Jika memakai diskresi, latar belakang dan landasan hukum apa yang menjadi pijakannya. Seandainya Ahok menjelaskan dengan runut dan jernih atas pertanyaan-pertanyaan ini, publik akan mendapat pendidikan politik yang penting tentang bagaimana sebuah keputusan pemerintah diambil.
Di alam transparan seperti sekarang, keterlibatan publik itu niscaya karena kemudahan mendapat informasi membuat kita kian terlibat dalam proses politik. Dan itu pula yang jadi fungsi media massa seperti Tempo. Sementara KPK memang bertugas membuktikan niat jahat dari tiap kebijakan pejabat publik. Diskresi memang diatur untuk menjembatani ketiadaan basis hukum atau hukum yang bertabrakan. Tapi diskresi juga harus diukur niatnya. Dan itu tugas KPK menelisik dan menemukannya. Di mana Ahok? Sebagai pejabat ia wajib menjelaskan semua proses yang sudah ia putuskan yang menjadi objek penyelidikan KPK itu.
Sayangnya Ahok tak memilih jalan itu. Ia memilih marah dengan memakai kata generik yang dipakai dalam politik kita hari-hari ini: fitnah. Dan celakanya, tuduhan ini diamplifikasi oleh teman dan pendukungnya. Maka dengan politik yang gontok-gontokan seperti ini kita tak akan mendapat apapun kecuali lahirnya kebencian dan syak wasangka. Pada akhirnya, para penjahat yang dimarahi Ahok itulah yang akan tertawa.
Ahok mungkin perlu meniru Presiden Obama. Ia pernah membawa “penerjemah kemarahan” ke atas panggung ketika pidato. Ini bisa jadi lelucon tapi bisa dimaknai bahwa Obama memimpin Amerika yang besar dan pelik tak pernah marah, karena karakternya memang selalu tenang. Ia perlu menghadirkan penerjemah kemarahan agar orang tahu ia sedang marah. Sebaliknya, Ahok perlu menyewa “penerjemah kelembutan” yang mengartikan kemarahan-kemarahannya kepada publik.
Kita mendukung Ahok memarahi semua penjahat dan membangun Jakarta agar lebih baik. Dan dukungan akan lahir sendiri jika kita paham substansinya. (*mc/sumber & foto: tempo.co)