Politik

Mau Tahu Siapa Ahok Sebenarnya? Berikut Catatan Kritis Aktivis Tionghoa

Nusantarakini.com, Jakarta-

I.

Rabu, 20 April 2016, pukul 12 siang aku sampai di lapangan luar Masjid Keramat Luar Batang. Seratusan orang berserakan di dalam & sekitar masjid. Mulai anak kecil, remaja, pemuda, dewasa & lansia. Ada yang berkopiah putih, memakai pici hitam dan laskar-laskar FPI berseragam putih hilir mudik. Sibuk. Panggung mimbar bebas sedang dalam proses finishing. Sound check. Tenda dan bangku tamu sudah disediakan. Motor-motor diparkir di sisi kanan.

Tapi tunggu, mengapa aku merasa ada banyak pasang mata memperhatikan aku. Eeeh ternyata benar, aku diperhatikan banyak orang. Damn, i know the reason. I am the only Chinese down here. Aku menghubungi Bang Lieus Sungkarisma. Aku bilang lututku gemeter. Dia ketawa. Dia bilang sudah sampai Jalan Gajah Mada. Aku bilang lagi, “mati ikke kalo dicurigai mata-mata Ahok.” Dia ketawa lagi.

Di antara suara-suara hiruk pikuk, aku kerap dengar kalimat, “ahok bangsat, ahok keji, gantung saja”, dan lain sebagainya.

Tiga puluh menit kemudian, Lieus Sungkarisma turun dari mobil. Disambut jabat tangan oleh banyak pemuda bertampang seperti laskar. Di antaranya ada yang pakai kacamata gelap. Siang ini, bang Lieus dikawal oleh putrinya. Kami bertiga masuk ke dalam halaman masjid. Menuju ruang sekertariat pengurus. Ada sejumlah figur di sana. Pimpinan masjid membeberkan persoalan rencana penggusuran & proyek refklamasi yang mengorbankan warga Pasar Ikan. Dia menyatakan bahwa warga etnik Tionghoa pun jadi korban. Ini bukan gerakan rasial anti tionghoa. Dia cerita soal satu orang tionghoa yang ia katakan sudah seperti keluarga sendiri yang juga jadi korban gusuran.

Kita sepakat bahwa Ahok memang bengis.

II.

Rapat kordinasi berjalan cepat. Kami bubar. Bang Lieus, putrinya dan aku hening saat melangkah. Tujuan kami, lapangan tempat “rapat rakyat” Jakarta digelar. Menurut Wignyo Prasetyo, rapat rencananya menghadirkan berbagai elemen laskar islam dari berbagai penjuru. Targetnya 5 ribuan massa.

Rapat akbar ini merupakan reaksi dari pemberangusan kampung Aquarium secara paksa. Gubernur Ahok menerjunkan 4000-an serdadu; TNI, Polisi dan Polwan. Ratna Sarumpaet dipegang dan diseret keluar area. Dia dianggap provokator. Aksi zikir dibubarkan dengan kasar. Ibu-ibu berkerudung “disikat” tim polwan. Aku sempat diperlihatkan dokumentasi mencekam itu oleh Pak RW. Aku kira, tindakan represif tak dapat dihindari dalam aksi sepihak semacam itu. Seresmi apapun kata para buzzer ahokers yang “keren-keren”.

Hasilnya, 2000 orang warga Kampung Aquarium, termasuk perempuan dan anak kecil, kehilangan tempat tinggal. Mereka direlokasi di Rusun Marunda dan Rawa Bebek Bekasi. Jauh dari laut. Berkilo-kilo meter jauhnya. Ada 382 orang bertahan di sekitar masjid Luar Batang sampai hari ini. Mereka menjadi “manusia perahu” dan “manusia puing”.

Gubernur Ahok bilang “Mereka pengintai turap. Nggak perlu dikasihani”.

Ini statemen sadis dari seorang pemimpin fasis. Tidak berlebihan bila sejak kedatanganku ke sini tiga hari lalu, aku kerap dengar ada warga berseru “sunat Ahok”.

Aku tidak tau, apa yang berkecamuk di dalam batin bang Lieus. Namun, sepanjang koridor masjid itu, aku membayangkan betapa mengerikan suasana kala deco menghancurkan rumah-rumah yang dikategori dengan sinis sebagai “slum area”.

Lamunanku rusak, saat ada seorang ibu setengah baya berjilbab meminta selfie bersama Bang Lieus. Sambil ketawa, dia bilang, “buat dipajang di fesbuk.”

III.
Lapangan mulai dipadati massa. Wartawan dan intel-intel menempati posisi strategis. Ada kamera foto dan film. Kursi-kursi tamu di bawah tenda sudah diisi. Di deret paling depan ada Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Joko Santoso. Lieus Sungkarisma duduk di samping beliau. Beberapa tamu undangan menyalami.

Aku memilih sisi pinggir di luar tenda tamu undangan. Di sana sejumlah wartawan dan intel berkumpul. Aku duduk di warung rokok. Tetap ada saja orang berkata, “gantung saja si Ahok.”

Laskar FPI semakin banyak. Berseragam putih. Menempati posisi stand by. Melingkari batas luar lapangan. Ada pemuda memakai sorban putih bergaya seperti pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Cool.

Aku telah diidentifikasi sebagai “elemen kawan”, sejak bang Lieus datang. Jadi, perhatian terhadapku tidak seketat di awal. Tatapan mata mereka pun tidak lagi serius. Cenderung ramah. Tatapan ingin tau hanya ada dalam sorotan mata wartawan dan intel.

Panggung telah steril. Ini aksi rakyat. Wajar bila mereka melawan. 382 orang yang ditampung di aula masjid, “manusia perahu” dan “manusia puing” diolok-olok buzzer Ahok sebagai pemulung. Ejekan itu, aku tuding sebagai imbas statemen gubernur bahwa “mereka tak perlu dikasihani”. Ahok juga pernah bilang kalau para nelayan itu tidak suka, silahkan pergi. Artinya, ia mengusir mereka.

Menurut Daeng Mansur, ketika kutanya apakah sebaiknya mereka pindah ke rusun, para nelayan itu telah menyatakan tidak akan mundur selangkah pun dari kampung ini. Kalau perlu mereka siap mati di tanah ini, di kampung yang telah puluhan tahun mereka diami. Menurut RW Ahmad, ada warga rutin membayar iuran Surat Izin Toko (SIT) selama 56 tahun. Dia juga tetap digusur tanpa kompensasi.

Memang walikota pernah memberikan beberapa unit gerobak bakmi kepada nelayan itu. Mungkin Ahok dibisiki gagasan alih-profesi. Namun absurd memberikan gerobak bakmie kepada nelayan. Bagiku, ini sama saja memberikan mesin jahit kepada petani. Mbak Endang bilang, “Satpol PP sering razia tukang bakmie. Jadi sama aza bo’ong itu.” Aku rasa dia lebih cerdas dari Bpk Walikota.

Massa terus memadati lapangan. Pelan tapi pasti. Aku batal pesan kopi karena Ratna Sarumpaet datang. Sejumlah orang menyambut budayawan bersuara kritikal terhadap Gubernur Ahok itu. Dia bilang Ahok korup.

IV.

Wibowo Arief, seorang buzzer (entah bayaran or not) Ahok bilang, “sejarah gusuran sekarang lebih manusiawi”.

Penggusuran kampung Aquarium tidak membuktikan klaim ini. Makanya, rapat akbar digelar di lapangan depan Masjid Keramat Luar Batang. Faktanya, Penggusuran ini sudah tidak manusiawi sejak awal. Misalnya, tidak pernah ada seri dialog dengan warga seperti yang dilakukan Jokowi dulu. Ahok main sikat, main embat, seperti kelakuan si “kucing garong.”

SP I keluar tanggal 26 Maret. Anak-anak sekolah sedang menghadapi ujian. Akses air diputus seminggu sebelum SP I keluar. Warga harus antri air selama sebulan sampai rumah mereka diberangus tanggal 11 April. Antrian panjang itu tidak pernah sekali pun diangkat media. Benar kata Wignyo Prasetyo, mulut media sudah disumpal pakai duit. Warga harus mengeluarkan 15 ribu rupiah untuk beli air non konsumsi. Antriannya bisa berjam-jam. Itu terjadi selama sebulan.

SP II disebar dengan menggunakan jasa polisi. Warga bilang itu “brimob”. Pak Mukmin, warga RT 01 berusia 76 tahun tewas dengan tangan pegang kertas SP II itu. Dia shock. Rumahnya jadi digusur. Dia gak kuasa melawan. Di luar pintu ada dua orang “brimob” dengan senjata laras panjang.

Ada kabar di kalangan masyarakat yang bilang malam hari setelah Pak Mukmin meninggal, sekelompok orang tak dikenal membagi-bagikan uang kepada tetangga sekitar rumah Pak Mukmin. Satu orang diberi satu juta rupiah. Tidak ada pesan apa pun. Namun mereka paham itu “uang tutup mulut”. Nama-nama penerima dicatat di atas kwitansi. Sampai saat ini, tidak diketahui dengan jelas siapa orang-orang itu. Tidak mungkin tim Santa Clause dari kutub utara.

Aku kira, Habiburokhman, politisi Partai Gerindra setuju bahwa penggusuran Ahok sama tidak manusiawi seperti pola-pola penggusuran di masa lalu. Aku senang saat melihat ada Habib di rapat rakyat Luar Batang ini. Aku buru-buru mendatanginya. Dia berkata, “Wiiih men, kemana saja luh?”

Bincang punya bincang, mong-ngomong-ngomong, kita sepakat dengan slogan: AHOK BARBAR.

V.

Setelah ‘selfie-selfie pusing polo belbie’, Habiburokhman dan aku duduk di sebelah Ratna Sarumpaet. Kursi-kursi ditambah. Massa semakin merapat, padat. Laskar FPI bertambah. Barisan mereka maju lebih ke depan. Terik matahari bikin aku dan Habiburokhman mesti membasuh wajah dengan sedikit air mineral. Keringat tak berhenti menetes.

Acara dimulai. Pimpinan masjid beri sambutan. Orasinya mulus. Tanpa nada rasial anti tionghoa. Dia mengecam Gubernur Ahok dan antek-anteknya. “LAWAN..LAWAN…LAWAN”, teriak massa dengan ajukan kepal tangan ke atas. Beberapa kali Habiburokhman juga mengepalkan tangan ke atas.

Di tengah orasi pimpinan masjid, ada saja teriakan-teriakan massa; “gantung Ahok!”

Lokasi Pasar Ikan adalah pemukiman tua Betawi. Ada situs bersejarah Galangan VOC di sana. Dikelola oleh Ibu Susi, istri dari bos Gajah Tunggal. Dahulu, aku sering menghadiri acara budaya di sana. Menurut RW Ahmad, Gedung tua ini jadi satu penghalang proyek gusur-menggusur Ahok.

Salah satu konten orasi si bapak yang menarik diperhatikan adalah soal warga digusur karena lahan itu hendak dijadikan akses menuju pulau-pulau reklamasi tempat middle class dan borjuasi wannabe rencananya bermukim. Kebijakan Ahok sama saja mengusir warga miskin dan menjual tanah negara kepada developer property. Aktifis Lalu Hilman Afriandi dan Marlo Sitompul jelas melihat ini saat kami diskusi di kantor Poppy Dharsono.

Si bapak berpici hitam juga menyerukan persatuan antar golongan agar bersatu padu melawan kebijakan Ahok. Sekali lagi dia mengingatkan bahwa ini bukan gerakan anti “etnik”.

Kehadiran bang Lieus Sungkarisma dan empat-lima orang bermata sipit di sana membuktikan bahwa praktek rezim otokrat Ahok adalah masalah bersama. Siapa pun bakal jadi korban bila rencana menggusur 131 titik zona merah pengganggu jadi dilaksanakan Ahok. Karena jadi problem bersama itu, tidak berlebihan bila seluruh elemen masyarakat bersikap. Tapi mengapa KWI, PGI, WALUBI diam saja?

Romo Sandyawan merupakan representasi umat Katolik. Lieus Sungkarisma adalah mantan Ketua umum Generasi Muda Budhis Indonesia. Dia Tionghoa. Seandainya Lieus Sungkarisma tidak hadir di sana dan menjadi penjilat Ahok seperti pola seorang ustad beken mantan preman, aku kira bisa-bisa seluruh orang Tionghoa akan dipersepsikan “sebejat” dan seurakan Gubernur Ahok. Relasi pribumi-non pribumi akan mengalami setback total.

Tak terlalu berlebihan bila Ketua Forum Penjaringan, Wignyo Prasetyo memuji Bang Lieus. Dia bilang, “Lieus, abang luh itu, berjasa besar bagi orang-orang Tionghoa pada khususnya”.

VI.

Setelah rapat akbar rakyat dibuka ketua panitia, orasi dilanjutkan oleh Mba Upi, seorang ustad yang tak kukenal namanya dan Ratna Sarumpaet. Semuanya mengutuk policy Gubernur Ahok. Tidak satu pun bertendensi rasialis anti-tionghoa. Teriakan massa pun hanya menjurus kepada Sang Gubernur yang dikatakan sebagai “kecelakaan sejarah” oleh beberapa figur di medsos.

Salah satu orator memekik, “bila Ahok tetep barbar, kita pun bisa lebih barbar!”

Semua orang resah dengan statemen Ahok. Terutama tentang perilaku, watak, dan  proyek gusur menggusurnya. Ahokers di seluruh jagat maya berhasil dicuci otak oleh buzzer bayaran yang modul contekannya bocor ke publik. Roy Suryo difoto ngakak saat menertawai ‘leak’ tersebut. Ya, selama ini Cyrus Network, buzzer bayaran dan para prajurit jin dunia maya berhasil membentuk karakter jahat segelintir warga kota. Mereka bahkan sampai hati mengolok-olok dan mengejek orang miskin yang dinyatakan Ahok; “nggak perlu dikasihani.”

Media pun mandul. Ahok dilindungi atas dasar pluralitas. Padahal dia terkait dua skandal korupsi; Waras-gate dan kasus “Di bawah bendera Reklamasi”. Seorang pejabat BPK menyatakan Ahok menjual aset pemda saat dia berkuasa di Belitung Timur. Mestinya Ahok meletakan jabatan. Itu terjadi di negara-negara maju seperti Eropa, Jepang dan Korea. Apa pun pengakuannnya, banyak orang melihat Ahok melakukan keteledoran sehingga merugikan negara di skandal Waras-gate. Demi untuk memudahkan penyelidikan KPK, ya dia harus mundur dari posisi DKI-1. Biar KPK bisa mandiri menyelesaikan tugas.

Di dunia maya, Semua pernyataan negatif soal Ahok langsung dibully rame-rame. Mereka membuat dikotomi ahoker vs haters. Padahal mereka sama-sama warga anak bangsa. Ahok, dibantu tim cyrus dan buzzer bayaran memecah belah kesatuan antar warga. Ruang demokrasi dikotori dengan disinformasi sepihak dan delusi developmentalisme inhuman yang bebas nilai. Situasi ini sangat berbahaya bagi intelektualitas. Segala-galanya “dibully”, kata ini jadi tren sosialitet baru.

Kepadaku, Poppy Dharsono cerita bahwa sewaktu dia meninjau Belitung Timur, dia melihat warisan Bupati Ahok: sebuah gedung rumah sakit kosong setengah-jadi berukuran besar. Entah berapa budget APBD diserap oleh pembangunan gedung yang tak terpakai itu.

RW Ahmad cerita bahwa setiap hari ada saja warga rusun Marunda dan Rawa Bebek curhat. Dia jadi pusing. Ex warganya itu mengeluh banyak hal. Tidak seperti pola penggusuran Mas Jokowi, warga kampung Aquarium tidak memperoleh kompensasi apa pun. Mereka cuma bisa selamatkan harta milik yang bisa diangkut oleh tangan. Penggusuran dilancarkan secara mendadak. Seperti taktik perang “Blitzkrieg”-nya Hitler.

Mbak Endang, dibenarkan oleh Pak RW, bilang bahwa ukuran rusun hanya 23m persegi. Tipe kamar studio. Gak berbeda dengan kamar kost. Tidak ada skat kamar tidur, ruang makan atau ruang tamu. Warga yang bersedia ditangkarkan di rusun itu harus membuka rekening bank DKI. Biayanya 200 ribu. Mereka mesti punya deposit 900 ribu. Nantinya, mereka harus bayar iuran 300 ribu per bulan. “Listrik pakai token,” kata Mba Endang. Air pun mesti bayar. Apa yang akan terjadi kepada mereka yang tidak punya uang buat penuhi syarat deposit itu? Bukankah rumah dan harta mereka telah digusur dengan gusar oleh aparatus pertahanan dan keamanan negara yang memiliki ‘licence to kill’. Para korban itu mesti bayar pakai apa?

Aktifis Marlo Sitompul menemukan banyak kasus kertas segel di beberapa rusun. Warga yang sebelumnya digusur dan direlokasi ke rusun jadi homeless. Karena mereka tidak sanggup bayar iuran. Sebabnya, seiring bechoe-bechoe menggilas rumah mereka, gubernur Ahok merampas mata pencarian mereka juga. Relokasi rusun jauh dari laut itu salah satu contoh soal perampasan sumber rezeki yang aku maksud.

Wajar bila mereka melawan sang gubernur. Bisa dimengerti mengapa rapat akbar Masjid Luar Batang digelar. Sekalipun matahari menyengat dengan terik, mereka tetap berteriak “ganyang Ahok”.

Jenderal Joko Santoso naik ke mimbar bebas. Para pengawal pribadi dari brigade 08 mengiringi sang mantan Panglima TNI itu. Sebelum pidato dia mempersilahkan wartawan dan intel yang hendak merekam suaranya agar meletakan alat perekam lebih dekat lagi. “Supaya jelas rekamannya,” ujarnya.

Jendral Joko Santoso meminta agar prajurit Sapta Marga berhenti melakukan penggusuran terhadap rumah-rumah warga. Dia berpesan agar semua pihak menghindari aksi anarkis melawan hukum. “Habis kalian kalau sampai melanggar hukum,” katanya. Dan hukum itu dipakai oleh gubernur menggusur warga.

Orasi Jendral Joko Santoso diganggu yel-yel massa. Bang Yusril tiba di lokasi. Fokus acara langsung goyang.(*mc)

(*Zeng Wei Jian, Aktivis Tionghoa, dalam catatan, “Setitik Api di Luar Batang”)

Baca Lebih lanjut: klik sini  mengapa orang indonesia anti china

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top