Internasional

Apakah Para Konglomerat Sebenarnya Merupakan China’s Entrepreneurial Army?

Nusantarakini.com, Jakarta

Tentu suatu hal yang misterius betapa cepatnya para konglomerat yang tadinya tidak dikenal, tiba-tiba sudah menjelma laksana raja yang menguasai kerajaan ekonomi lintas negara. Ambil contoh Oei Ok Tjhong atau terkenal dengan nama Eka Tjipta Wijaya.

Disebut-sebut datang ke Indonesia tanpa bawa apa-apa. Tiba di Makassar dan mulai berdagang. Namun belum lewat satu generasi, dia telah menjelma menjadi godfather Asia seperti yang diulas oleh Joe Studwell. Apa betul hal itu semata-mata betkat kerja kerasnya secara pribadi? Atau adakah kekuatan besar raksasa yang mendampinginya hingga sampai menjelma jadi tikon raksasa di Asia?

Bayangkan, Eka Tjipta Wijaya ini merupakan monopolis industri kertas di Indonesia. Real estate seperti BSD juga dalam genggamannya. Sinar Mas Group yang beranak pinak menjadi konglomerasi merupakan armada bisnis dia dan keluarganya.

Uniknya lagi, anaknya yang bernama Oei Hong Leong berkewarganegaraan Singapura, menjelma sebagai orang terkaya di Singapura dan Malaysia. Ini berarti, satu keluarga ini saja telah mengangkangi ekonomi tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Tentu saja sebagai yang lahir di tanah utama China daratan, modalnya ditanam tidak kalah besarnya dengan nilai yang terdapat di Indonesia.

Liem Soe Liong atau Sudono Salim sebaliknya memiliki basis bisnis yang kuat di Filipina. Dari sektor air bersih, telekomunikasi, retail hingga infrastruktur dirambah secara hegemonik oleh usaha yang dikomandoi Antony Salim. Seolah para taipan ini bagi-bagi lapak Asia Tenggara.

Begitu misteriusnya para taipan ini menjelma menjadi kerajaan bisnis raksasa, kita teringat dengan sinyalemen Sri Bintang Pamungkas bahwa ditengarai salah satu konglomerat di Indonesia asal-usulnya adalah tentara Cina. Lantas apakah sebenarnya mereka juga tentara Cina yang ditugaskan untuk menguasai sektor ekonomi negara asing, masih perlu diverifikasi.

Akan tetapi sebuah buku berjudul China’s Entrepreuneurial Army karya Thai Ming Cheung layak untuk dipertimbangkan sebagai bahan perspektif. Judul buku ini mengisyaratkan bahwa ada tentara khusus yang bergerak di dunia usaha yang sebenarnya mereka bermisi layaknya tentara.

Kalau ini benar, tentu misteri cepatnya mereka menjelma menjadi godfather dapat dipecahkan. Karena sebenarnya mereka disokong oleh suatu kekuatan raksasa terorganisir.

Tentu untuk menguasai suatu negara, katakanlah Indonesia, tidak perlu mengirimkan puluhan divisi tentara reguler. Cukup susupkan secara acak orang-orang yang menyaru menjadi pengusaha, lalu kemudian besarkan hingga menjadi monopolis. Setelah itu, orang itu diperintah mengalirkan kekayaannya ke negerinya. Buat apa lagi teknik upeti tradisional? Cara semacam ini jauh lebih efektif dan sempurna. Toh yang dituju adalah berpindahnya kekayaan suatu negara ke negara yang dituju. Inilah teknik penjajahan yang paling canggih dan elegan tanpa terdeteksi.

Seperti yang dicatat oleh GFI, Eka Cipta pemilik Sinar Mas Group, membeli 55 persen perusahaan kertas milik pemerintah di Ling Po.

Eka Cipta dan Sinar Mas juga membeli 101 BUMN Cina. Kantor Sinar Mas di Hongkong yang menangani pembelian ini. Namun, Eka Cipta di Cina tidak mengibarkan bendera Sinar Mas Group. Melainkan melalui putranya, Oei Hong Leong yang berwarganegara Singapura, mengibabarkan bendera dengan nama China Strategic Investment (CSI) yang berbasis di Hongkong.

Maret 1993 misalnya, CSI menanamkan 175 juta dolar AS untuk konsesi 50 tahun menjalankan 101 perusahaan BUMN di Dalian, Timur Laut Cina. Suatu kesepakatan bisnis terbesar dalam menangani perusahaan BUMN yang pernah dilakukan oleh perusahaan Hongkong.

Cerita tentang Mochtar Riyadi dan LIPPO Group, juga tak kalah menarik sepak-terjangnya di Cina. Lippo bekerjasama dengan mitra lokal, menanam modal sebesar 11,85 juta dolar Hongkong di Fujian.

Rupanya, Fujian juga merupakan tanah leluhurnya Mochtar Riyadi. Mochtar Riyadi yang nama aslinya adalah Li Wen-zheng ini, melalui Lippo membangun berbagai infrastruktur seperti jalan, pelabuan, bandara dan perumahan. Proyek-proyek ini dibangun di kota Fuzhou, ibukota propinsi Fujian.

Berita Asian Business edisi April 1993 mewartakan, bersama investor Taiwan, Lippo menggarap proyek di pulau Mei Zhou. Dengan porsi 60 persen saham. Patungan ini membangun kawasan peristirahatan mewah. Tahap pertamanya memakan biaya sekitar 40 juta dolar AS. Share ke teman-teman Anda!

Diolah dari GFI (ser)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top