Nusantarakini.com, Jakarta –
Suatu ketika beberapa waktu lalu, Indonesia ribut dengan penyelundupan e-KTP dari Kamboja. Penyelundupan e-KTP tersebut disinyalir untuk memenangkan suara dari paslon tertentu dalam Pilkada DKI.
Kenapa e-KTP sampai ke Kamboja? Sekarang semuanya jadi jelas sebab musababnya.
Rupanya e-KTP yang merupakan basis data penduduk Indonesia yang sifatnya sensitif itu bagi keamanan warga dan kedaulatan negara, sejak awal proyeknya sudah dikorupsi sedemikian rupa. Hari-hari ini informasi korupsi e-KTP tersebut tersibak dengan terang benderang.
Melibatkan Kemendagri dan petinggi-petinggi di DPR serta perusahaan negara dan swasta seperti Astra Graphia sebagai bagian dari Grup Astra monopolis otomotif di Indonesia.
Tapi bukan soal seluk beluk korupsi data negara dan warga itu yang jadi keptihatinan tulisan ini. Tapi adalah moral jahanam di balik korupsi berkomplot tersebut.
Bayangkan, data sensitif bagi eksistensi negara saja mereka sampai hati mereka korup, tentu wajar jika negara dan bangsa bukan hal yang berat bagi mereka untuk mereka perjual belikan.
Beginilah fakta moral para elit eksekutif, birokrasi, legislatif dan pengusaha-pengusaha di Indonesia.
Mega korupsi dengan nilai triliunan ini yang diijon dan dibagi-bagi sedemikian rupa tersebut merupakan modus agar satu sama lain di antara koruptor penghianat negara tersebut saling mengamankan dan saling sandera. Nyatanya terungkap juga kebusukan itu oleh suatu motif politik untuk menekan. Tekanan politik antar sesama koruptor tersebut biasanya terbaca untuk suatu agenda politik juga oleh komplotan koruptor lain.
Sama sekali mereka yang terlibat itu tidak menghiraukan risiko dari korupsi aset strategis tersebut akan dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang ingin menguasai negeri ini. Nyatanya timbul informasi beberapa waktu sebelumnya bahwa ternyata server e-KTP tersebut berada di negara lain. Ini similiar dengan kasus pengiriman e-KTP dari Kamboja ke Indonesia yang kepergok.
Bagaimana tidak, data penduduk yang sensitif ini, sudah dikorupsi, dibiarkan dirancang dan dikerjakan dengan keterlibatan swasta dan grup konglomerat Astra, servernya di luar negeri pula. Dan e-KTP ini tidak main-main. Basisnya pengambilan sidiknya adalah retina mata penduduk.
Tentu sungguh jahat jika penduduk pun dengan tega meraka perjual belikan. Beginikah moral mereka yang memerintah negeri ini?
Dalam kaitan ini, kita teringat dengan pernyataan Sri Bintang Pamungkas terkait Pilpres Curang, e-KTP dan kaitannya dengan pengambilalihan Indonesia oleh asing.
Ketika dia ditanya, Anda mengatakan Pilpres rekayasa. Bagaimana merekayasanya, bukankah hal itu sulit? Sri Bintang yang kini dipenjara oleh rezim gara-gara kritiknya yang tajam terkait isu neo kolonialisme Cina di Indonesia, menjawab: “Saya kira pilpres itu hasil rekayasa. Selama kotak suara berjalan dari TPS, lalu ke kecamatan, kemudian ke tempat lain sampai KPU, (dimungkinkan rekayasa), termasuk e-KTP. E-KTP itu, yang saya barusan ikuti beritanya, Direktur Astra Graphia, Karyawan Anang Sudiarjo itu diangkat menjadi ‘server e-KTP’. Nama cinanya Yo Ie Peng.”
Nama ini sebenarnya sudah masuk ke KPK, tapi kok nggak ditindaklanjuti. Ini salah satu server dugaan saya. Selain ini ada lagi di tempat lain dugaan saya. E-KTP ini dijual kepada calon-calon imigran yang masuk ke Indonesia. Mereka nggak bisa berbahasa Indonesia, dijual dengan Rp5 juta per orang. Mereka bisa nyoblos. Berapa yang sudah terjual? Nggak tahu kita. Atau mungkin dicobloskan orang lain.
Saya menganggap pemilu 2014 itu pemilu yang paling kotor. Selain rekayasa tadi, juga calon-calon legilslatif bayar.
Nah sekarang, mega korupsi e-KTP ini tidak saja berkisah tentang bejatnya moral elit-elit negeri ini, tapi juga ancaman penyalahgunaan e-KTP untuk tujuan mengambilalih kekuasaan negara ini lewat ritus elektoral berbasis pungut suara atau pemilu.
Sekarang silakan, mau tetap keadaan begini, atau mulai bergerak mengambil tindakan agar negara tidak jatuh ke tangan siluman. (sdg)