Nusantarakini.com, Jakarta-
Melawan Bullying sejak Usia Dini
oleh Chairunnisa Rizkiah, S.Psi
American Psychological Association (APA) mendefinisikan bullying sebagai “sebuah bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan tujuan untuk membuat orang lain terluka atau merasa tidak nyaman”.
Perilaku agresif itu sendiri berarti perilaku yang sifatnya menyerang orang lain. Ada beragam bentuk bullying, di antaranya berupa:
1. Kekerasan fisik, seperti memukul dan menendang, menyakiti dengan benda tajam maupun tumpul, bahkan menyebabkan cacat pada tubuh korban.
2. Bullying verbal, seperti memanggil korban dengan panggilan yang merendahkan, mengejek, menghina, menjadikan kekurangan korban (misalnya kekurangan fisik, latar belakang keluarga, atau sifat korban), serta mengancam korban.
3. Bullying sosial, misalnya mengucilkan korban atau mengajak orang-orang untuk menjauhi korban, mempermalukan korban di depan umum, menyebarkan berita bohong tentang korban.
4. Pemalakan/pemaksaan (extortion), yaitu menggunakan cara paksa dengan mengancam, menyakiti korban atau merusak benda milik korban, untuk mendapatkan barang, uang, atau agar korban mau menuruti keinginan pelaku.
5. Cyber bullying. Fenomena ini marak sejak munculnya tren penggunaan media-media sosial dan aplikasi chatting di smarphone. Di antaranya termasuk menyebarkan gosip lewat media-media tersebut, serta menulis komentar-komentar yang bersifat menyerang dan jahat di akun media sosial orang lain
Semua bentuk bullying menimbulkan efek psikologis yang negatif pada korban.
Bullying dapat membuat korban merasa tidak nyaman, stres, inferior (kecil, lemah), serta tidak berdaya.
Bullying adalah isu yang penting pada anak-anak usia sekolah. Baik pelaku maupun korban berusia kurang lebih sebaya, dan korban berada di lingkungan yang sama dengan pelaku.
Korban dan pelaku bisa merupakan teman satu angkatan, bahkan satu kelas, atau kakak kelas yang mem-bully adik kelas. Pelaku terlihat lebih punya kekuatan atau “kekuasaan”, baik dari segi ukuran tubuh maupun jumlah orang-orang yang menjadi “pendukung”nya.
Biasanya, korban bullying mengalami kesulitan membela diri. Terlebih lagi, bullying yang dialami oleh korban dapat membuatnya kehilangan kepercayaan diri dan keberanian . Korban jadi terkesan “lemah” karena tidak berani melawan. Pelaku bullying cenderung mengulangi perbuatannya kepada korban yang memiliki karakteristik kepribadian seperti itu.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang masih berusia dini? Bukannya wajar kalau ada konflik saat mereka sedang bermain dengan teman-teman atau saudara, misalnya berebut mainan dan berbeda pendapat?
Dalam situasi di mana bullying terjadi, anak bisa berperan sebagai:
1. Korban
2. Pelaku
3. Orang yang ikut-ikutan mem-bully, misalnya menjadi bagian dari ‘geng’ bully
4. Orang yang menyaksikan, dan mendukung bullying, misalnya ikut menyoraki atau menertawakan
5. Orang yang menyaksikan, dan melawan bullying
6. Orang yang menyaksikan, namun tidak berbuat apa-apa. Bisa jadi karena takut dirinya akan menjadi korban juga atau karena tidak tahu apa yang harus dilakukan
Jadi, anak-anak kita belum tentu jadi korban. Bisa jadi justru ia menjadi pelaku, atau mendukung bullying, atau bersikap pasif terhadap peristiwa bullying. Apakah anak terbiasa merebut barang milik anak yang lebih kecil? Apakah anak gampang sekali menangis dan lari ke orangtua bila merasa “diganggu”? Apakah anak menertawakan atau mencibir anak lain yang berbeda darinya, atau yang dianggapnya tidak keren?
Saya tidak ingin orangtua menjadi parno, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan tidak baik yang terbentuk sejak kecil dapat menjadi lebih parah dan merugikan orang lain bila tidak dilakukan penanganan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bahkan pernah mendapatkan kasus anak TK yang dicurigai melakukan bullying kepada temannya sendiri. Caranya adalah dengan mengajak teman-teman lain untuk menjauhi seorang teman yang tidak disukainya.
Bagi orangtua, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani bullying sejak anak masih kecil:
1. Peka, amati kondisi anak. Bila anak kemungkinan menjadi korban atau menyaksikan bullying (tapi tidak bisa berbuat apa-apa dan merasa terbebani), amati apakah anak terlihat enggan pergi ke sekolah/daycare/playgroup/tempat tertentu, nafsu makan turun atau terlihat tidak bersemangat, mengalami mimpi buruk, cengeng, terlihat cemas atau murung, atau terlihat menghindari anak tertentu di sekolahnya. Bisa jadi juga, penyebabnya bukan bullying. Namun tidak ada salahnya anak diajak bercerita, karena mungkin ia mengalami masalah lain.
2. Responsif terhadap keluhan anak
Bila anak sudah mengeluh “aku ga suka sama dia”, lebih baik orangtua mendengarkan, daripada menyepelekan keluhan anak atau menganggapnya cuma urusan kecil yang dibesar-besarkan oleh anak. Orangtua perlu menjadi pendengar yang empatik, sehingga anak merasa aman dan lega. Terkadang memang masalahnya bukan bullying, tapi ada perselisihan dengan teman, misalnya anak tidak suka dengan sikap tertentu dari temannya. Akan tetapi, hal tersebut tetap perlu ditanggapi oleh orangtua sejak dini, sehingga bila nanti ada masalah yang lebih serius, anak tetap percaya untuk bercerita kepada orangtua.
3. Melakukan simulasi/roleplay, untuk anak yang sudah berumur 3 tahun ke atas. Saat ini, anak usia tersebut banyak yang sudah masuk kelas playgroup/Pre-kindie, dan di usia 4 tahun masuk TK. Ajak anak untuk pura-pura menjadi anak yang mainannya direbut atau dirinya diejek, lalu bagaimana cara mengatasinya. Anak perlu tahu caranya melawan, tetapi BUKAN membalas. Tidak baik juga kalau anak diajarkan untuk balas mengejek atau balas memukul.
4. Ciptakan suasana rumah bebas bullying. Di antaranya, jangan dukung perilaku anak untuk merebut barang milik orang lain. Orangtua juga perlu menahan diri untuk menncibir atau membicarakan penampilan fisik atau kekurangan orang lain, yang dapat ditiru anak. Bila dalam bermain atau berkegiatan orangtua mendapati anaknya diganggu anak lain, orangtua bisa “turun tangan” dengan mengingatkan anak tersebut sekaligus mendorong anaknya untuk “protes”. Orangtua juga dapat memberitahu orangtua anak tersebut, tentunya dengan cara yang baik, agar dapat ditangani juga di rumah.
Menurut Lyness (Kids Health, AS), ada pula beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membekali anak dengan keterampilan untuk mengantisipasi bullying, yaitu:
1. Tumbuhkan rasa percaya diri pada anak.
Adanya perasaan kompeten (“aku bisa”) dan rasa berharga (“aku layak untuk bahagia”) dapat menghindarkan anak dari perasaan lemah dan tidak berdaya, yang membuat anak cenderung menjadi penakut. Dorong anak untuk bisa melakukan sejumlah hal secara mandiri, sehingga kepercayaan dirinya pun meningkat. Ia juga perlu diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan perasaannya, dan merasa didengarkan dengan baik.
2. Latih kemampuan sosial anak
Kemampuan sosial yang dimaksud di sini adalah kemampuan anak untuk dapat menyesuaikan diri di lingkungan, dan melakukan interaksi positif dengan orang-orang yang ditemuinya. Kemampuan ini tidak hanya dibutuhkan untuk mencegah bullying, tetapi juga baik untuk perkembangan psikososialnya. Semakin banyak anak mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan anak-anak lain, misalnya bermain dengan saudara (kakak, adik, sepupu), tetangga, atau teman-teman di daycare/playgroup/TK, ia akan semakin banyak belajar tentang cara berkomunikasi, berbagi, menyampaikan pendapat, dan banyak keterampilan sosial lainnya.
3. Latih anak untuk menyelesaikan masalah sendiri.
Kemampuan anak untuk dapat menyelesaikan masalah (problem solving skills) dapat mengembangkan kemandirian dan kepercayaan dirinya. Ia lebih mungkin untuk terhindar dari pikiran bahwa ia lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, selalu membantu anak juga kurang baik. Apalagi kalau masalah yang dihadapi anak sudah terjadi berkali-kali dan anak selalu minta bantuan. Dorong anak untuk mencoba mencari jalan keluarnya sendiri, sambil tetap diawasi oleh orangtua. Misalnya, mainan anak sering direbut oleh kakaknya dan ia selalu hanya bisa menangis dan mengadu kepada orangtua. Orangtua perlu menegur si kakak, tetapi perlu juga mendorong si adik untuk bisa bicara kepada kakaknya, “Ini mainan aku, jangan rebut” atau “gantian mainnya”.
4. Kembangkan sikap asertif pada anak
Ajarkan anak untuk berani berkata “tidak” dan “jangan” bila ada orang yang melakukan hal tidak menyenangkan kepadanya, misalnya memukul, mengejek, mengambil barangnya dengan paksa. Caranya bisa dengan roleplay tadi, misalnya orangtua pura-pura jadi anak yang membully dan anak didorong untuk berani menolak. Anak juga perlu diajarkan untuk dapat mencari bantuan bila mengalami atau menyaksikan bullying. Ia perlu diberitahu siapa saja yang dapat didatangi untuk mendapatkan bantuan, dan sikap seperti apa yang perlu ia tunjukkan kepada orang yang mem-bully.
Contohnya, saya kenal seorang anak yang sangat peduli pada teman-temannya. Ketika ada anak yang merebut mainan anak lain, ia langsung menegur anak tersebut, “Jangan rebut! Mainnya gantian!” (sikap asertif dan berani terlihat). Ketika anak tersebut mengulanginya, anak yang menegurnya tadi kembali melarang, lalu melaporkannya kepada guru agar hal tersebut tidak terjadi lagi. Adapun anak yang merebut mainan tadi, memang anak yang biasa mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Oleh karena itu, justru ia sangat butuh untuk diingatkan oleh orang lain bahwa cara yang ia gunakan (merebut) itu tidak baik dan membuat orang lain tidak nyaman.
Sebagai penutup, untuk topik ini saya merekomendasikan film “Pasukan Kapiten” (2012) dan The Mighty Ducks (1998). (*mc)