Nusantarakini.com, Jakarta-
Akankah BTP Bernasib Sama Seperti Arswendo?
*Cahaya, Aktivis Muslim Cinta Jakarta
Materi yang menjadi bahasan adalah ucapan BTP di Kepulauan Seribu.
Umat Islam begitu tersengat mendengar ada kata “dibohongi” dan “dibodohi” ketika Al Maidah 51 dan ancaman neraka disebut.
BTP jelas-jelas menganggap bahwa mereka yang mengatakan Al Maidah 51 melarang seorang muslim memilih pemimpin non muslim dan ada ancaman neraka telah melakukan pembohongan dan pembodohan.
Apakah ini masih kurang jelas menunjukkan penistaannya kepada ajaran Islam dan syiar Islam?
Kita perjelas. Siapa yang selama ini menyampaikan tafsir Al Maidah 51 seperti itu? Para ulama, para ustadz dan kaum muslimin yang meneruskan pesan ayat tersebut.
Bagaimana Umat Islam tidak marah? Ajaran yang diyakini, dari kitab suci Al Quran yg dimuliakan; para ulama yang dihormati sebagai pewaris Nabi, telah dihina oleh seorang gubernur yang berpakaian dinas, dalam acara resmi terbuka.
Kebetulan saja BTP adalah petahana yang mencalonkan lagi. Kebetulan juga dia peranakan China yang beragama Kristen. Jika tidak melakukan penistaan kepada Islam, Umat Islam tidak akan sedemikian marah kepadanya.
Mari kita lihat argumentasi yang dibangun BTP untuk membela diri.
BTP menyatakan tidak bermaksud menghina ulama dan Al Quran, tapi dia menyebut perilaku lawan-lawan politiknya. *Begitu dalihnya.* Dia mengajak kita masuk ke tafsir Al Maidah 51. Bahwa yang dilarang adalah mengambil teman setia, bukan memilih pemimpin. Bagaimana Umat Islam menyikapi argumentasinya? Kalaupun ada sebagian kecil yang menafsirkan beda, itu urusan internal Umat Islam. BTP bukan muslim. Tafsir Al Quran adalah wilayah yang tidak boleh dimasukinya.
Kita lihat dalam sebuah video 1 menit yang dengan gagahnya dia mengatakan bahwa lawan-lawan politiknya yang rasis dan pengecut menggunakan al Maidah 51 untuk membodohi orang agar tidak pilih dia.
Jelas, dia benar-benar bermaksud mengatakan bahwa ada orang-orang yang menggunakan Al Maidah 51 untuk menghalanginya berpolitik. Bahkan dengan gagahnya dia menyebutnya sebagai rasis pengecut.
Dia tidak juga sadar bahwa itu berarti menghina para ulama karena yang disebutnya adalah ajaran yang disyiarkan para ulama. Dan itu juga berarti menistakan Al Quran karena memang itu ajaran Al Quran.
“Semua pelaku penistaan agama punya dalih.” Sama seperti pembuat karikatur Nabi yang merasa boleh melakukannya atas dalih kebebasan berekspresi, padahal dalam Islam itu dilarang. Sama seperti tulisan Djojodikoro (1819) yang berjudul “Pertjakapan Antara Martho dan Djojo” yang dianggap sekedar karya seni. Sama dengan cerpen Ki Pandji Kusmin “Langit Makin Mendung” (1968) yang berdalih bahwa menggambarkan Tuhan adalah hal biasa dalam sastra sebagai bentuk imajinasi fiktif, tapi ini menyalahi ajaran Islam. Sama seperti Arswendo (1990) yang merasa tidak bermaksud menghina Nabi karena sekedar mempublikasikan hasil polling. Tapi faktanya, yang mereka lakukan, berdasarkan keyakinan Umat Islam adalah bentuk penghinaan yang menodai kesucian Islam. Perbuatan yang menyinggung perasaan Umat Islam. Dan harus diingat, sejarah mencatat bahwa Umat Islam tidak akan tinggal diam jika agamanya dinistakan.
Mana yang kita pilih? Menghormati nilai yang dianut masing-masing agama dengan tidak mentolerir dan menegakkan hukum kepada yang menyinggungnya, siapapun. Atau memaksa semua umat beragama rela jika ada yang menggusik atau menista agamanya?
Saya percaya bahwa hanya dengan menghormati keyakinan masing-masing agama dengan tidak menistanya, keharmonisan dalam kebhinekaan di Indonesia dapat dipelihara dalam kehidupan berbangsa yang beradab.
Hukum Indonesia sudah punya yurisprudensi untuk kasus penistaan agama. Jika untuk memenuhi rasa keadilan Umat Islam Arswendo dinyatakan bersalah dan dihukum 5 tahun penjara, apa hukuman untuk BTP? (*Wis/Mc)