Nusantarakini.com, Jakarta – Bagi kita yang tumbuh dari rakyat biasa, jelas mengetahui bahwa salah satu faktor mengapa janji kemerdekaan itu tidak dinikmati secara penuh adalah karena sikap dan mentalitas rakyat itu sendiri YANG GEMAR MEMAAFKAN dan MEMAKLUMI, bahkan sudah sampai pada taraf yang gila: sublimasi. Sublimasi yang kita maksud ialah menekan sendiri diri sendiri untuk memaafkan tindakan jahat dan inkar orang dengan suatu argumen palsu untuk meredakan kekecewaan diri sendiri. Mentalitas dan sikap semacam ini meluas hingga menjangkiti mereka yang pernah sekolah.
Akibat dari sublimasi seperti ini menerbitkan rasa remeh terhadap rakyat oleh elit-elit mereka yang inkar dan dusta. Karena dalam pikiran para elit-elit mereka yang inkar dan berdusta itu berkembang pikiran: “Ah, santai saja. Kekecewaan mereka tidak akan lama, dan tidak mungkin berkembang menjadi punishment sosial, apalagi berubah menjadi pemberontakan. Toh entar dikasi recehan dan perutnya diisi kenyang, semuanya kembali ceria seperti semula. Dan tidak usah repot, cukup pegang kepalanya, nanti biar dia sendiri yang menenangkan massanya.”
Dapat kita pastikan, begitulah alam pikiran kriminil yang mengendap dalam otak elit-elit yang inkar sehingga jangan heran elit-elit itu amat gampangnya melempar janji-janji kepada rakyat banyak. Mereka menganggap, rakyat itu laiknya anjing yang cukup dikasi hiburan dengan tulang-tulang yang sudah busuk.
Walhasil, wajarlah betapa lamanya janji kemerdekaan itu dapat diraih oleh rakyat. Bukan waktunya memang rakyat berdiri menjadi tukang tunggu sedekah hasil-hasil kemerdekaan dari elit-elit mereka yang inkar. Mereka rakyat itu sepantasnya melangkah menjadi tukang rampas hak-hak kemerdekaan yang diselundupkan dan ditimbun oleh elit-elit inkar mereka selama rentang waktu umur manusia. Mereka harus bertindak laiknya orang yg kapok dengan gombal-gombal Belanda minta tanah. (sed)