Nusantarakini.com, Jakarta – Banyak yang salah kaprah dalam memahami Indonesia. Khususnya jika terjadi konflik antara pribumi dan bukan pribumi.
Sebagian yang mabuk mimpi Amerika mengira Indonesia akan dapat berjalan seperti Amerika. Mendahulukan kebebasan perorangan di atas keadilan. Mengedepankan inklusivisme dan anti diskriminasi ketimbang menomorsatukan puak dan golongannya.
Jelas itu tidak bisa. Indonesia itu negeri pribumi yang bangkit dan bangun dari tidur selama ratusan tahun dininabobokkan oleh orang asing Belanda. Kemudian sukses menggenggam kedaulatannya.
Amerika itu lain. Dia dibangun oleh penyerbu Eropa dan menyingkirkan pribumi Indiannya. Karena itu, di Amerika jiwa persamaan dan toleransi sebagai sesama penyerbu, hidup dup dup dup. Sementara jiwa pemberontakan dan penuntutan rasa keadilan yang merata mati sama sekali.
Nah, Indonesia sebaliknya. Jiwa yang peka dengan ketidakadilan sosial sangat kuat. Terutama di kalangan masyarakat native-nya. Karena mereka merasakan langsung betapa pedihnya ditipu, ditindas dan dirampas oleh orang yang berbeda dan asing dari mereka. Karena itulah rasa curiganya terhadap asing tidak akan pernah sirna.
Tapi karena bangsa Indonesia dibina bukan untuk memuaskan chauvinisme–lagi pula xenopobia bukanlah hal yang menguntungkan–, maka orang Indonesia berusaha terus melatih dan mendidik dirinya untuk dapat tenggang rasa dan berbagi. Tetapi begitu dia merasa ada yang tidak beres, sudah dikasi tulang minta daging, pasti dia akan ngamuk. Digonggong dengan sejuta media pun supaya orang Indonesia mabuk kepayang dengan ilusi toleransi dan anti diskriminasi supaya lembek dan bungkam, pasti tidak mempan. Naluri purba yang siap ngamuk itu dapat pecah seketika.
Tanjung Balai Case hendaknya dijadikan alarm, bukan malah menggila dengan makin ngelunjak. Takutnya hal itu bisa menular ke Medan, Pekanbaru, Lampung, Jakarta, Solo dan Makassar. Mampus kita.
Karena itu, marilah berbagi tanah, kesempatan rezeki dan perlakuan hukum yang adil di negeri ini. Jangan jutaan hektare ditelan sendiri.
Jenderal petualang, stop berselingkuh dengan hartawan. Hidup hanya sekali, bung. Tiba waktunya mati, harta dan pangkat tidak dibawa, kok. (sed)