Nusantarakini.com, Jakarta –
Untuk apa sekolah? Lini masa saya dipenuhi dengan segala macam iklan Artificial Inteligence (AI). Isinya aneh-aneh dan semua menawarkan cara ringkas, murah, dan cepat — bahkan lebih cepat dari Lucky Luck yang menembak lebih cepat dari bayangannya — untuk menulis.
Ada yang menawarkan menulis buku dengan AI. Hanya dalam waktu 6 jam, buku selesai dan bisa dijual. Menulis buku secepat kilat dengan bantuan artificial intelligence? Dan terus kau mengaku bahwa kau-lah penulisnya?
Yang lebih absurd lagi adalah menjualnya. Bagaimana menjual buku dimana semua orang sudah bisa menulis buku dengan mudah? Tentu akibatnya pengarang buku bisa diproduksi massal. Semua orang bisa menulis buku! Siapa yang membaca buku di saat semua orang bisa menulis buku?
Elemen terpenting dari sebuah buku, dan juga semua karya manusia, ada pada kreativitasnya. Pada sebuah karya menempel keunikan penciptanya. Kalau Saudara percaya pada agama, dirimu itu adalah citra dari penciptaMu. Begitulah kira-kira.
Awal abad ke-20, ada seorang pemikir yang bernama Walter Benjamin. Ia menulis sebuah esei bagus yang berjudul: “Karya Seni di Masa Reproduksi Mekanis.” Apa yang terjadi ketika karya seni itu mampu direproduksi secara mekanis? Lukisan Salvador Dali yang berjudul “Visage du Grand Masturbateur” (Face of the Great Masturbator), misalnya, bisa direproduksi secara massal. Lalu, dimana Salvador Dali ketika ia sudah menjadi massal?
Benjamin mengatakan bahwa reproduksi itu akan mendevaluasi (devalue) aura atau keunikan dari karya seni tersebut. Aura atau keunikan dan kekhasan itulah yang tidak dapat direproduksi.
Menulis buku itu sama belaka. Ketika semua orang bisa menulis buku dengan AI maka hasilnya adalah sebuah cetakan yang tidak bernilai, tidak ada kekhasan, tidak ada keunikan, dan terlebih lagi tidak ada proses kreatif di dalamnya.
Banyak orang mengatakan bahwa AI sudah sedemikian kreatif sehingga bisa mengombinasikan triliunan informasi. AI memiliki kemampuan yang melebihi kapasitas otak manusia. Sekalipun demikian, menurut saya ada yang tidak bisa ditiru oleh AI yang justru membuat manusia itu super kreatif: kebodohan!
Anda jangan mengira bahwa dunia ini diciptakan oleh super jenius. Tidak. Ia adalah kombinasi antara kejeniusan dan kegoblokan pada saat yang bersamaan. Kesalahan, kekurangpandaian, kecerobohan, kelalaian, itu sama persis dengan kebenaran, kejeniusan, ketelitian, dan ketertiban.
Hanya saja, kita terobsesi pada kejeniusan, kepintaran, dan kesempurnaan. Obsesi inilah yang secara kultural menjebak kita. Kita ingin anak-anak kita menjadi jenius dan mencekokinya dengan angka-angka bahkan sejak dia lahir. Kita ingin mereka menjadi sempurna sehingga kita mencekoki mereka dengan agama sejak mereka belum bisa mencerna makanan. Kita terobsesi dengan sukses dan hidup mudah dengan mengambil banyak jalan pintas.
Yang terjadi adalah kita mengabaikan sama sekali proses pembentukan manusia. Proses kreatif untuk menjadi manusia. Saya percaya bahwa unsur terpenting dari menjadi manusia itu adalah memahami proses kreatif ini. Bahkan para matematikawan atau fisikawan agung ini menemukan banyak rumus sains pertama-tama karena mereka kreatif! Bukan karena IQ mereka yang berlebihan.
Inilah yang membawa saya kepada iklan di bawah ini, yang saya kira mungkin juga pernah Sodara lihat di lini masa Sodara. Ia menawarkan jalan pintas untuk lulus — jalan pintas untuk menulis skripsi! Apa poinnya bersekolah jika tidak untuk mengasah diri untuk menjadi kreatif dan menemukan sesuatu?
Apa gunanya sekolah jika tidak melatih diri untuk berpikir kritis — menemukan masalah baru, menganalisa sebab-akibatnya, dan menemukan perspektif baru untuk memahaminya, sehingga ada kemungkinan menemukan jalan keluar yang baru?
Saya tahu, ada banyak konsumen yang mau jalan pintas. Sebelum ada AI, sudah banyak jasa pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi. Harganya pun semakin lama semakin murah. Saya kenal orang yang hanya lulusan S1 namun dengan bangga bercerita kepada saya bahwa ia mengerjakan disertasi seorang doktor!
Ini benar-benar terjadi. “It’s just a business,” kata dia dalam bahasa Inggris kepada saya. Boleh jadi ia berpandangan sinis kepada dunia pendidikan kita. Tidak bisa disalahkan karena rancang bangun dunia pendidikan kita memang gampang diselewengkan.
Sarjana macam apakah yang dihasilkan oleh reproduksi mekanik, meminjam istilah Benjamin, seperti ini? Tentu jawabnya, sarjana tanpa aura kesarjanaan, ilmuwan tanpa pengetahuan, serta akademisi mekanik yang sangat jauh dari nilai-nilai dan tradisi akademik.
Namun, kesarjanaan tanpa pengetahuan ini diperlukan dalam dunia nyata kita sekarang ini. Ia diperlukan sebagai ajektif atau predikat — kementerengan dalam undangan perkawinan, kemegahan dalam kekuasaan, dan bahkan sebagai syarat untuk naik pangkat!
Dalam dunia reproduksi mekanis ini, kesarjanaan itu tidak ada hubungannya dengan pengetahuan. Tidak ada hubungannya dengan aura dan kreativitas. Tidak ada hubungannya dengan tingkat intelektual seseorang.
Ia mirip seperti gelar aristokrasi yang diobral oleh kraton-kraton yang sudah luntur wibawa, pengaruh, dan kekuasaannya. Universitas-universitas kita adalah kraton-kraton itu. Sementara toga wisuda semakin mentereng, isi kepala dibawah topi wisuda itu semakin kosong karena semua dikerjakan mesin. Salahkah kalau kemudian, sebagai lulusan, Sodara dipekerjakan seperti mesin?
Untuk Anda yang masih menghargai kreativitas pikiran, tempat Anda adalah dunia luas ini. Dan, AI tidak akan dapat mengalahkan Anda, karena Anda masih bisa goblok, bisa salah, dan tidak sempurna. Yang terpenting Anda bisa membangun aura Anda diantara kegobolkan dan kejeniusan Anda. [mc]
*Made Supriatma, Pengamat dan Peneliti Senior.