Pemimpin yang pintar tidak sekedar menunggu ide dan gagasan dari para pakar yang disewa. Akibatnya, jika ditanya oleh orang lain tentang visi misinya, dia hanya akan menjawab dengan “Silahkan baca di buku saya.” Atau dengan jawaban: “untuk visi misi akan dielaborasi oleh jubir saya.”
Nusantarakini.com, New York –
Dalam ajaran Islam, merujuk kepada karakterisitik dasar para nabi, Amanah, Fathonah, Shiddiq, dan Tabligh yang sekaligus juga menjadi karakteristik utama pemimpin dalam pandangan Islam. Tentu pada level dan defenisi yang berbeda.
Satu di antara empat karakteristik itu adalah “al-fathonah” atau kecerdasan. Jika karakter ini menjadi penting bagi para nabi karena mereka penerima wahyu dan harus paling memahami wahyu itu, maka pemimpin adalah penerima amanah (mandat) rakyat untuk mengelolah kehidupan jama’i (publik).
Kecerdasan pemimpin itu akan terlihat dalam beberapa tingkatan dan aspek:
Pertama, aspek edukasi atau pendidikan. Saat ini kita hidup dalam dunia yang sangat maju dalam pendidikan. Tidak saja dalam pendidikan formal. Bahkan dalam berbagai pendidikan yang dikategorikan non formal mengalami kemajuan yang sangat luar biasa. Untuk mengimbangi tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan maju ini pemimpin harus memiliki tingkat pendidikan yang memadai. Hal ini akan sangat menentukan bagaimana pemimpin itu akan mengelola (managing) kehidupan publik (masyarakat).
Kedua, aspek akal dan pemikiran. Seorang pemimpin tidak saja diharapkan memiliki tingkatan pendidikan yang solid. Bahkan tidak saja penting memilki latar belakang pendidikan yang valid dan ijazah yang tidak pertanyakan. Tapi seorang pemimpin harus memiliki akal dan pemikiran yang cerdas. Hal itu karena seorang pemimpin harus tajam dan jeli dalam melihat segala permasalahan bangsa, sekaligus cerdas meneropong kemungkinan solusi (possible solutions) dari permasalahan-permasalahan itu. Seringkali pula seorang pemimpin berhadapan dengan kancil-kancil licik dari berbagai belahan dunia. Jika tidak cerdik dan tajam berpikir maka kancil-kancil itu akan menari-nari di atas penderitaan bangsa karena kebodohan sang pemimpin itu.
Ketiga, aspek ide dan gagasan. Seorang pemimpin yang pintar dan cerdik pastinya memiliki banyak ide dan gagasan. Pemimpin yang pintar tidak sekedar menunggu ide dan gagasan dari para pakar yang disewa. Lebih runyam lagi ketika ide dan gagasan itu hanya disuapkan kepadanya, sehingga dia sendiri sesungguhnya tidak paham dan menguasai konsep (ide dan gagasan) yang dipersiapkan oleh pakar yang disewa. Akibatnya, jika ditanya oleh orang lain tentang visi misinya, dia hanya akan menjawab dengan “Silahkan baca di buku saya.” Atau dengan jawaban: “untuk visi misi akan dielaborasi oleh jubir saya.”
Keempat, aspek realita di lapangan. Agar ide-ide dan gagasan menjadi aplikatif, diperlukan kecerdasan untuk membaca realita di lapangan. Seringkali membangun ide dan gagasan itu mudah. Setiap orang boleh saja mengarang dengan berbagai rencana dan program. Tapi apakah program dan rencana itu sesuai dan aplikatif dengan realita di lapangan? Di sinilah perlunya kecerdasan seorang pemimpin dalam membaca dan memahami realita lapangan. Baik realita domestik maupun realita dunia global.
Kelima, aspek percaturan global. Dunia semakin kompleks. Para pemain di dunia global semakin kejam dan “heartless” (tidak punya hati). Realita ini menjadikan kita sadar bahwa di depan kita hanya ada satu pilihan. Menjadi pemain yang pintar dan ikut menentukan dan menang. Kekuatan dunia tidak lagi didominasi oleh kekuatan otot. Tapi kecerdasan akal dan inovasi. Pemimpin yang kuat harus memiliki kecerdasan yang tinggi untuk menghadapi dunia dengan kompleksitas yang tinggi dan pemain-pemain (actors) yang tidak punya nurani (heartless).
Poinnya adalah bahwa dalam Islam kecerdasan menjadi hal mendasar bagi seorang pemimpin. Kecerdasan pemimpin Islam menjadi unik kemudian karena kemampuan menjaga keseimbangan antara kecerdasan akal dan ketajaman nurani (spiritual intelligence). Dan karenanya pemimpin Muslim tidak akan tertipu. Tapi juga tidak akan menipu.
Mari dalam memilih pemimpin kita gunakan akal sehat dalam menentukan pilihan. Hendaknya kita cerdas dalam memilah dan memilih mana calon pemimpin yang paling cerdas di antara calon-calon yang ada. Baik itu pada aspek kecerdasan akal (intellectual intelligence) maupun kecerdasan ruhani (spiritual intelligence). [mc]
NYC Subway, 5 Januari 2024.
*Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.