Seperti yang pernah disampaikan oleh Anies sendiri ketika dikritik atau ditanya tentang komentar nyinyir itu: “lebih baik pintar bicara tapi dengan gagasan dan ide yang terstruktur daripada minim gagasan dan susah pula mengekspresikan diri.”
Nusantarakini.com, Manhattan –
Pagi ini saya ingin melanjutkan tulisan tentang Debat Capres KPU kemarin. Maklum masih hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan. Hanya saja saya akan menggandengkan tulisan ini dengan kunjungan Anies Baswedan ke Jambi dan Riau. Saya hanya ingin memastikan jika momentum-momentum penting ini tidak terlewatkan.
Hal yang pasti dengan debat itu bahwa hampir semua mengakui jika capres Anies-lah yang memenangkan debat itu. Tentu bagi pendukung Anies seperti saya hal ini menggembirakan. Walaupun orientasi dukungan itu bukan untuk kemenangan dalam berdebat. Tapi untuk memenangkan kompetisi pilpres di tahun depan.
Bahkan di antara “non-supporters” (bukan pendukung) Anies ada juga yang ikut setuju dengan kesimpulan di atas. Hanya saja, ini yang lucu dan menggelikan, kesimpulan mereka dibumbui dengan kata-kata “memang Anies kan pintar ngomong. Pintar merangkai kata.”
Saya ingin merespon komentar “pintar ngomong dan merangkai kata” ini. Karena masyarakat awam bisa saja termakan dengan ungkapan-ungkapan seperti itu. Apalagi didukung oleh buzzer-buzzer bayaran selama ini.
Pertama, perlu saya tegaskan bahwa kemampuan berbicara dan merangkai kata itu sebenarnya sudah merupakan kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh seseorang. Bukankah ilmu komunikasi memang menjadi bidang tersendiri di dunia akademis. Bahkan dalam ilmu bahasa Arab misalnya ada ilmu menata kata yang disebut “ilmu balaghoh.”
Kedua, seperti yang pernah disampaikan oleh Anies sendiri ketika dikritik atau ditanya tentang komentar nyinyir itu: “lebih baik pintar bicara tapi dengan gagasan dan ide yang terstruktur daripada minim gagasan dan susah pula mengekspresikan diri.”
Saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa Pemimpin itu perlu skill komunikasi untuk menyampaikan ide-ide dan pesan-pesan kepada rakyat dan dunia internasional.
Ketiga, dalam perspektif agama itu sendiri, berbicara itu penting bahkan diperintahkan. Rasulullah itu diperintah bicara. Berbagai perintah “qul” (katakan) atau “balligh” (sampaikan) berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an. Yang dilarang adalah menyampaikan sesuatu yang tidak ada wujudnya atau tidak dilakukan (lima taquuluuna maa laa taf’alun).
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah memang Anies selama ini mengatakan hal-hal yang dia tidak lakukan? Jawabannya adalah seperti yang sering oleh Anies sampaikan: “merespon itu bukan dengan ucapan dan kata-kata. Tapi dengan aksi, data dan fakta.”
Ambillah satu contoh ketika orang lain berusaha membangun imej dan persepsi tentang Anies yang intoleran dan tidak berpihak kepada kelompok lain, apapun arti kata “kelompok lain” itu. Ambillah sebagai misal kelompok agama. Benarkah Anies intoleran dan selalu berpihak hanya kepada umat Islam saja? Jawaban kenyataannya adalah bahwa dalam sejarah DKI, Anies-lah yang paling banyak memberikan izin pembangunan rumah-rumah ibadah non Islam, baik gereja, candì dan pura. Bahkan izin bangunan rumah ibadah yang sudah puluhan tahun tidak diberikan, Anies berhasil meloloskannya.
Poinnya adalah Anies adalah kandidat yang menyatukan antara gagasan/ide dan visi misi yang solid, kemampuan komuniasi yang handal, dan komitmen kerja untuk membuktikan janji-janji itu kepada masyarakat. Bukti, fakta dan kenyataan ini yang menjadikan Anies selalu percaya diri di hadapan segala upaya “character assassination” itu. Syukur mungkin karena efek “sholawat asyghil” kini para buzzer itu saling menerkam.
Sering saya mengatakan jika saja kita memiliki secuil kejujuran dalam hati pastinya diakui bahwa Jakarta di bawah kepemimpinan Anies mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Dari kemacetan, polusi, banjir, hingga kepada pengadaan fasilitas-fasilitas yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat dan DKI, bahkan negara. Satu di antaranya adalah Jakarta Internasional Stadium (JIS). Anda mau menyembunyikan dengan merubah rumputnya pun jelas ini adalah karya gemilang anak-anak bangsa.
Anies dan Ustadz-ustadz
Saya sengaja menggandengkan perihal ini di bagian tulisan tentang debat. Hanya karena saya tidak ingin kehilangan momentum untuk mengomentari kunjungan Anies ke Riau, bertemu bahkan menginap di kediaman Ustadz Abdul Somad yang juga populer dikenal UAS. Bagi saya hal ini sangat menggembirakan. Tidak saja karena dorongan kalkulasi-kalkulasi electoral. Tapi kedekatan ini menunjukkan ada suatu nilai dan karakter yang dimiliki oleh Anies Baswedan, yang mungkin saja tidak pada capres yang lain.
Ternyata kunjungan ini adalah undangan UAS ke Ibunya Capres Anies untuk berkunjung ke kediaman Ibunda UAS. Dua sosok Ibu yang luar biasa. Melahirkan dua sosok anak yang memiliki kasih sayang dan penghormatan kepada sang Ibu. Dalam agama Islam, kasih sayang dan penghormatan kepada Ibu memiliki posisi yang sangat mulia. Musa, Isa, Muhammad dan banyak para nabi dan Rasul lainnya (alaihim sholawatullah) memilki rekam jekak kedekatan dengan Ibu.
Karenanya undangan Ustadz Abdul Somad kepada Ibunda Anies memiliki makna filosofis dan religi yang sangat dalam. Hal yang selama ini kita sering dengarkan bahwa ketika Anies itu memiliki penghormatan kepada sang Ibu. Bahkan ketika memutuskan untuk maju menjadi kandidat Gubernur DKI juga karena izin Ibunya.
Kali ini yang ingin saya catat adalah bahwa kedekatan Anies dengan para ustadz itu adalah kedekatan alami (natural). Bukan diada-diadakan, dipoles dan dijadikan bamper politik di saat musim kampanye. Dari sejak siswa, mahasiswa (termasuk ketika di US), hingga ketika menjadi Rektor, Menteri dan selanjutnya Gubernur DKI, rekam jejak Anies memperlihatkan kedekatan natural itu dengan para ustadz dan ulama.
Beberapa hari yang lalu Anies hadir (bersama pak Zulkifli Hasan) di acara Tahfidz Ustadz Adi Hidayat (UAH). UAS dan UAH adalah dua sosok yang saat ini dikenal sebagai ustadz yang paling kondang di tanah air. Tidak saja karena jamaahnya yang cukup besar. Tapi yang lebih penting mereka memilki keilmuan Islam yang mu’tamad (menjadi landasan/rujukan).
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah kedekatan dengan para ustadz itu menjamin kemenangan di pilpres?
Jawabannya tergantung cara pandang kita dalam melihat makna kemenangan. Jika defenisi kemenangan sekedar pertimbangan elektoral, mendapatkan suara banyak menurut hitungan KPU, tidak ada jaminan. Suara bisa termanipulasi jika para wasit memang memiliki mental dan i’tikad yang kurang baik. Saya kira hal yang Prabowo pernah rasakan di pilpres lalu. Syukurlah kini malah prabowo memuji, bahkan berjanji melanjutkan itu. Semoga bukan melanjutkan ketidakjujuran dalam pilpres kali ini.
Namun jika kemenangan itu didasarkan kepada nilai (value) kebenaran, kejujuran dan keadilan maka kedekatan Anies kepada para ustadz dan Ulama itu adalah kemenangan dengan sendirinya. Kemenangan electoral itu hanyalah bonus di kemudian hari.
Namun demikian saya ingin memberikan catatan sekaligus harapan. Bahwa kedekatan Anies dengan Ustadz-ustadz yang selama ini dilabel ekstrim, bahkan pernah dicekal ceramah di beberapa tempat oleh kelompok tertentu, kini sedang mengalami perubahan. Salah satu faktor terpentingnya adalah karena Allah mentakdirkan Anies berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, ketua Umum PKB dan NU tulen (menurut Muhaimin sendiri).
Semua ini menjadi tanda sekaligus harapan dan optimisme bahwa pasangan AMIN semakin solid. Solid karena performa Anies dalam debat perdana itu. Tapi juga solid karena semakin merapatnya “Shof” ummat dalam proses perubahan dan perbaikan itu. Kelompok-kelompok keumatan yang selama ini mengalami “devide et impera” (dibentur-benturkan) mulai kembali merapatkan barisan itu.
Semoga umat tersadarkan. Aminkan saja dulu! [mc]
Manhattan, 14 Desember 2023.
*Shamsi Ali, Diaspora Indonesia & Imam di Kota New York.