Nusantarakini.com, New York –Dalam beberapa hari terakhir, peperangan terbuka antara Palestina dan Israel telah menyebabkan korban yang tidak sedikit khususnya Palestina. Hal ini dipicu awal oleh tindakan semena-mena Israel yang mengevakuasi paksa warga Palestin dari rumah-rumah dan perkampungan mereka di kota Sheikh Jarrah, menyusul kemudian kekerasan kepada orang-orang Palestina yang sedang beribadah, bahkan tentara dan polisi Israel merusak pintu masjid Al-Aqsa dan memasukinya tanpa membuka alas kaki.
Apa yang dilakukan oleh penjajah Israel memang Sudah di luar nalar manusia sehat. Artinya hanya akal gila yang bisa menerimanya sebagai sesuatu yang biasa saja. Apalagi dianggap sebagai sesuatu yang baik atas nama pembelaan.
Upaya evakuasi bangsa Palestina dari tanah Jerusalem Timur, termasuk dari Al-Aqsa, adalah bagian dari impelemntasi deklarasi bahwa Jerusalem adalah Ibukota Israel. Tentu ini tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai Ibukota Israel. Israel merasa jika kota tua itu telah menjadi miliknya. Dan karenanya warga Palestina harus mengosongkannya untuk mereka mereka ambil alih.
Untuk sekedar diingat kembali bahwa cita-cita terbesar Yahudi Israel memang adalah pengambil alihan kota Jerusalem dan masjid Al-Aqsa. Karena memang di situlah harapan akhir mereka untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Daud (istilah lain dari kekuasaan Yahudi) di masa silam.
Terlepas dari semua itu serangan Israel kepada bangsa Palestina, khususnya Gaza, bukan barang baru. Dari masa ke masa Israel selalu membuat pemicu, yang menyebabkan warga Palestina melakukan balasan (serangan balik). Serangan ini kemudian dibangun menjadi seolah serangan unilateral Palestina yang dijadikan justifikasi untuk melakukan apa yang disebut “self defense” (membela diri).
Kini ratusan warga Palestina, khususnya anak-anak dan wanita, telah menjadi korban. Apalagi serangan negara Israel tidak mengenal pemilahan target (indiscriminatif). Sehingga korban berjatuhan dari kalangan sipil, bahkan fasilitas umum termasuk rumah sakit.
Harapan ke Amerika
Setiap kali ada peristiwa seperti saat ini di Timur Tengah, banyak orang Islam kemudian melihat ke Amerika sebagai harapan. Harapan agar Amerika melakukan intervensi membela Palestina. Atau minimal memperlihatkan sikap yang tidak lagi memihak kepada Israel.
Kita mengetahui bahwa dalam sejarahnya Amerika selalu membela Israel dan menganggapnya sebagaj sekutu yang tidak akan terpisahkan (unbreakable alliance and friend). Bahkan di saat Amerika dipimpin oleh seorang Presiden yang sangat dekat dan bersahabat dengan Komunitas Muslim sekalipun, Barack Obama.
Walaupun kita akui bahwa Barack Obama pernah mengecam serangan Israel ke Gaza tahun 2008 lalu. Dan itu menjadikan Obama tiba-tiba menjadi Muslim yang terselubung, bahkan beberapa media dukungan Israel menyebutnya sebagai “hidden ISIS” (ISIS terselubung). Kata “taqiyah” Obama saat itu menjadi sangat populer.
Pertanyaannya adalah kenapa Amerika begitu konsisten membela Israel? Jawabannya jelas dan bukan hal baru. Karena Pemimpin politik sebuah negara akan bersikap, termasuk dalam mengambil kebijakan, berdasarkan kepada “realita politik dan dinamika publik dalam negeri”.
Kita mengenal bahwa sejak lama politik dalam negeri Amerika dan kebijakannya dikuasai oleh para pemilik modal. Dan ini realita di mana negara. Keuangan memang maha kuasa dalam mengendalikan wajah perpolitikan negara itu. Bahkan sering menjadikan para elit politik nampak seperti aneh, bahkan tidak rasional, karena harus mengikut kepada kepentingan sang penguasa tersembunyi (hidden power) itu yang seolah menentang akal sehat manusia.
Dalam konteks inilah Amerika dan Pemimpin politiknya harus dipahami. Bahwa realita dinamika sosial politik memang dikuasai oleh segmen masyarakat tertentu karena “keuangan yang maha berkuasa” tadi itu.
Bagi kami masyarakat Muslim di Amerika hal ini menjadi catatan penting dalam kerangka dakwah kami. Bahwa perjuangan dakwah di Amerika bukan sekedar menambah jumlah Muslim secara kuantitas. Tapi bagaimana melakukan gebrakan sehingga ke depan dinamika sosio politi itu dapat berubah. Tentu sangat tidak mudah. Selain karena semua jembatan pembentukan persepsi sebagai jalan merubah tatanan masyarakat masih dikuasai oleh segmen masyarakat yang dimaksud. Media salah satunya yang terpenting.
Tapi poinnya adalah jangan terlalu besar harap kepada Amerika ketika telah masuk ke ranah Palestina-Israel. Walaupun Amerika adalah negara super power dan di mana-mana mengkampanyekan demokrasi, kebebasan dan HAM, Amerika masih berada di bawah tekanan kepentingan domestik yang dikuasai oleh segmen masyarakat tertentu.
Hentikan mengemis!
Karenanya untuk membantu Saudara-Saudara kita di Palestina hentikan mengemis dari negara-negara non Muslim, termasuk Amerika. Umat ini secara mendasar diingatkan: “sesungguhnya Allah tidak merubah nasib sebuah kaum hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka”.
Pada tataran inilah Palestina tidak akan mendapatkan hak-haknya kecuali ada dua hal mendasar yang segera dilakukan.
Pertama, bangsa Palestina sendiri harus segera kembali bersatu. Perpecahan bangsa Palestina ke berbagai kepingan menjadikannya begitu mudah diambrukkan. Fatah dan Hamas adalah dua kelompok dominan yang tidak pernah menyatu. Dan karenanya begitu mudah bagi Israel untuk melemahkan di tengah kelemahan yang telah ada.
Dari tahun ke tahun, bahkan itulah perjalanan Sejarah bangsa Palestina, keluatannya semata ada pada kekuatan emosi. Ratusan bahkan ribuan roket yang ditembakkan ke arah Israel hanya menjadi justifikasi bagi Israel untuk semakin membumi hanguskan bangsa Palestina. Sehingga realita mengatakan bahwa dari tahun ke tahun bumi Palestina semakin terkikis.
Dan karenanya persatuan bangsa Palestina harus diwujudkan. Ini termasuk persatuan mereka pada tataran perjuangan diplomasi. Di Jakarta saja Kedutaan Palestina hanya mewakili faksi Fatah. Sehingga Hamas harus punya kantor Perwakilan sendiri.
Kedua, dunia Islam dan Umat secara keseluruhan harus menyatukan suara menentang kesemena-menaan Israel terhadap bangsa Palestina. Sikap ini tidak saja dengan statemen basa basi yang diucapkan bagaikan nyanyian rutin dari masa ke masa. Tapi harus ada kebijakan menyeluruh dan menyatu dari dunia Islam.
Satu di antaranya adalah mengunci rapat semua pintu bagi Israel untuk melakukan penetrasi ke dunia Islam. Tentu ini termasuk penetrasi politi, ekonomi dan lain-lain.
Yang jadi masalah kita lihat ada negara yang ikut mengecam serangan Israel ke Gaza. Tapi di balik layar berjabat tangan dan membuka pintu lebar bagi Israel ke negaranya. Selain membuka hubungan diplomasi, juga menjadi pasar yang subur bagi produk-produk Israel. Bahkan mereka melakukan kerjasama dengan Israel di bidang pertahanan dan keamanan.
Semua ini merupakan bentuk kemunafikan yang harus dihentikan oleh dunia Islam. Seruan boikot produk Israel dari sebagian anggota Umat hanya jadi “tertawaan musiman” jika tidak dibarengi oleh kebijakan publik. Tapi memang itulah realita Umat. Kerap jadi obyek emosi sesaat atau musiman yang kemudian berlalu ditelan perputaran waktu.
Akhirnya saya juga ingin mengatakan bahwa kami masyarakat Muslim di Amerika tentu menjadi bagian dari sistem Amerika. Bagi kami, ada dua sayap yang harus kami jaga. Sayap domestik kami. Bahwa kami punya kepentingan domestik di Amerika. Masa depan Dakwah Islam masih panjang.
Karenanya dalam menyikapi semua hiruk pikuk global, termasuk isu Palestina, kami selalu imbang di antara dua saya itu. Sayap domestik dan sayap global. Jangan sampai perhatian ke isu-isu global mengorbankan kepentingan domestik dan masa depan Dakwah di Amerika dan dunia Barat.
Semoga Allah ridho dan menolong kita semua. Aamiin!
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.