Nusantarakini.com, Jakarta –
Angka kemiskinan buat apa. Yang diperlukan adalah pangkalan Data Visual dan Definitif. Jadi Angka yang dikeluarkan oleh BPS disfungsional.
Saat ini, dengan teknologi informasi, data kemiskinan penduduk harusnya tersedia dengan riil, visual, definitif dan verifikatif. Aplikasi Gojek saja bisa menemukan siapa pengojeknya dan siapa penumpangnya, lengkap dengan visual wajahnya dan alamat GPS-nya.
Siapa orangnya, dimana lokasinya, wajahnya seperti apa, nomor kontaknya ada apa tidak, alamat pastinya dimana, visual rumahnya seperti apa, visual aktivitasnya seperti apa, pendapatannya cukup apa tidak, siapa ketua RT/RW-nya, siapa lurahnya, berapa anggaran yang tersedia, itu semua gampang sekali untuk disusun berbasis aplikasi. Sehingga, orang secara swadaya mau bantu orang yang miskin, jadi mudah terbantu. Masak harus kitabisa.com dulu.
Ini BPS keluarkan cuma angka demi angka. Ekonom pun sibuk kritik angka demi angka. Siapa yang miskin, dimana alamatnya, keluarganya siapa, nggak tahu mereka. Lalu apa jadinya?
Kemiskinan cuma jadi proyek. Proyek penelitian, atau proyek seminar, atau juga proyek anggaran, sehingga anggaran bisa mengucur sebagian ke pejabat dan gangnya.
Khalifah Umar telah memberikan teladan bagaimana mengentaskan kemiskinan. Turun langsung. Cek langsung, in cognito. Sebab kenapa, pada umumnya orang malulah menyatakan diri sebagai orang miskin. Kecuali sudah hilang malu.
Bila perlu, kerahkan jaringan intelijen untuk mendata secara lengkap siapa, dimana, kenapa, dan bagaimana kemiskinan itu. Masak intelijen kerjanya kasak-kusuk gerpol saja.
Bagi Pemda yang caper (cari perhatian) kepada rakyat, cara semacam ini dapat saja dilakukan. Kalau memang berniat lurus untuk menyelesaikan masalah kemiskinan di suatu wilayah.
Temukan diam-diam siapa yang miskin. Verifikasi secara diam-diam. Lalu sembari bantu langsung yang bersangkutan, juga ciptakan suasana ekonomi yang memutus mata rantai kemiskinan.
Kalau suasana ekonominya masih liberal, dan orang seorang masih diberi keleluasaan memeras produktivitas orang-orang banyak, surplus ekonomi keluar dengan bebas ke asing aseng, bukan berputar ke bawah, maka kemiskinan akan tetap menjadi lahan proyek untuk memperkaya pejabat dan pihak-pihak tertentu.
Karena kemiskinan itu memang diperlukan bagi sirkulasi kekuasaan model korup seperti Indonesia.
~ Syahrul E Dasopang, The Indonesian Reform Institute