Nusantarakini.com, New York –
Saya mendapat kehormatan hadir di acara pembukaan pertemuan ulama dan du’at (para penda’i) se-Asia, Afrika dan Eropa yang berlangsung dari tanggal 3 – 5 Juli lalu di Jakarta. Kehadiran saya sebenarnya tidak disengaja. Kebetulan saja saya ada di Jakarta untuk beberapa acara lainnya.
Saya sebenarnya ingin sekali mengikuti seluruh rangkaian acara “multaqa” (pertemuan) itu. Tapi jadwal saya yang selalu padat di Jakarta tidak memungkinkan untuk itu. Sehingga saya benar hanya hadir di acara pembukaan.
Acara yang dikelolah (organized) oleh Al-Manarah Foundation dari Saudi Arabia, Persatuan dai Asia Tenggara dan di fasilitasi oleh pemerintahan Daerah Khusus Istimewa Jakarta ini mengusung tema besar: “wa’tashimuu”. Arti umum dari tema ini adalah membangun kesatuan dan kebersamaan umat dengan bersama-sama berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Acara dibuka oleh Wakil Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla, dengan sambutan-sambutan antara lain oleh Dr. Anies Baswedan, Gubernur DKI dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin. Tentu ikut memberikan sambutannya Syeikh Khalid Al-Hamudi, Ketua Yayasan Al-Manarah.
Selain merasa mendapat kehormatan, tentunya saya juga merasa bangga. Bangga karena negara saya, Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia kini memainkan peranan yang cukup signifikan. Minimal menjadi tuan rumah dari sebuah perhelatan penting untuk sebuah tujuan mulia.
Kebanggaan saya tentu bertambah karena acara ini dibuka oleh Wakil Presiden RI. Tapi yang lebih membanggakan bagi saya adalah Gubernur DKI, seseorang yang saya banggakan dan hormati menjadi bagian terpenting dari perhetalan akbar itu.
Bagi saya melihat Indonesia memainkan peranan globalnya merupakan amanah. Selain amanah konstitusi sebagai keikut sertaan bahkan di garda terdepan dalam mengupayakan ketertiban dan keamanan dunia, juga amanah agama sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Di tengah kebanggan dan kehormatan yang saya rasakan itu ada juga kekhawatiran dan pada tingkatan tertentu kekecewaan. Mungkin saya salah. Mungkin itu hanya idealisme saya semata.
Kekecewaan itu sebenarnya saya ungkapkan secara tidak langsung dalam sebuah dialog kecil di ruangan VIP sebelum acara resmi pembukaan “multaqa”. Hadir di ruangan itu para ulama Masyhuri dari Saudi, Mauritania, Sudan, dan tentunya juga tuan rumah Indonesia.
Dalam dialog itu Mufti Mauritania menyampaikan pengalamannya menghadiri sebuah acara seminar di Amerika. Kira-kita kekaguman beliau yang besar terhadap penghormatan bangsa Amerika kepada Islam dan ajaran-ajarannya.
Tentu apa yang disampaikan beliau itu bukanlah sesuatu yang baru bagi Saya pribadi. Karena kenyataannya bangsa Amerika, dengan segala dinamika yang ada, adalah bangsa yang toleran dan bersahabat.
Di saat semua yang hadir itu nampak serius mendengarkan cerita sang mufti, saya tiba-tiba menyelah: “Ma’dziratan yaa Sheikhana”. Kira-kira kalau bahasa kebiasaan kami di Amerika: “Excuse me Excellency”.
“Problem terbesar yang kita hadapi dalam sebuah negara adalah adanya jurang pemisah antara rakyat dan pemerintah dari bangsa itu”.
Terus terang saat itu tiba-tiba saja terpikir bangsa Amerika dan pemerintahannya di bawah kepemimpinan Donald Trump saat ini. Bahwa orang-orang Amerika mayoritasnya sangat baik, bersahabat, menghargai orang lain dan toleran. Tapi pemerintahan Amerika saat ini jelas sama sekali tidak menggambarkan kebanggaan bangsanya.
“Dan itu (gap antara rakyat dan pemerintah) terjadi di banyak negara-negara dunia”.
Ketika terucap itu saya kemudian melihat sekeliling. Saya teringat jika “multaqa” itu adalah pertemuan ulama-ulama Asia, Afrika dan Eropa (Amerika tidak masuk). Tapi di sekeliling ruangan VIP itu yang nampaknya hanya segelintir negara-negara yang terwakili.
Saya mulai teringat ulama-ulama besar dari Qatar, Yaman, Suriah, Iraq, bahkan Turki. Kenapa negara-negara ini tidak terwakili? Ada apa sehingga mereka tidak hadir di pertemuan penting itu?
Saya katakan penting karena pertemuan itu akan membicarakan, asumsinya sekaligus merumuskan, bagaimana cara agar umat ini bisa kembali membangun kesatuan. Tapi ada apa dengan negara-negara itu?
Di sinilah nampaknya saya sadar bahwa gap antara rakyat, apalagi ulama di satu sisi dan pemerintah di sisi lain itu juga terjadi pada multaqa ini. Bahwa tidak hadirnya, atau tepatnya tidak diundangnya ulama-ulama dari beberapa negara Muslim karena ada masalah dengan salah satu negara yang menjadi rumah bagi organisasi pelaksana.
Sudah pasti bukan Indonesia. Alhamdulillah Indonesia dekat dengan Turki, Suriah, Yaman, Qatar dan semua negara-negara Muslim lainnya. Maka pastinya masalahnya ada di negara lain.
Intinya adalah pemerintah Muslim yang seharusnya menjadi penyatu dan perekat persaudaraan (ukhuwah) dan persatuan (whihdah) umat justeru sebaliknya kerap menjadi pemecah belah.
Secara vulgar saja, saya sangat yakin bahwa umat Islam Saudi dan umat Islam Yaman merasa sangat dekat. Kedekatan iman, ras dan sejarah. Bukankah keluarga Mekah pertama adalah pertemuan antara Bani Ibrahim (asal Irak) dan Bani Jurhum (asal Yaman)?
Tetapi kenapa saat ini seolah-seolah bangsa Saudi dan Yaman saling bermusuhan? Bahkan ulama-ulama Saudi tidak tanggung-tanggung mengkhutbahkan kebobrokan sesama Muslim Yaman. Bahkan dengan terbuka kerap kali mendeklarasikan jika bangsa Yaman adalah ancaman kepada agama dan umat ini.
Gerangan apa yang terjadi? Singkatnya karena penguasa Saudi kerap kali merasa terancam dengan negara lain yang dianggap ancaman. Siapapun itu, ada perasaan terancam dari pihak-pihak tertentu.
Akibatnya kita sudah lihat. Gempuran-gempuran terhadap Yaman saat ini membawa akibat yang dahsyat. Ratusan warga sipil terbunuh, ribuan yang mengungsi dengan segala susahnya.
Singkatnya, pertemuan (multaqa) ulama Asia, Afrika dan Eropa di Jakarta itu adalah acara yang sangat penting. Sebuah acara yang tidak saja penting, tapi lebih dari itu adalah kebutuhan umat masa kini.
Niat baik dan kerja keras umat ini, Khususnya para ulama telah dipersembahkan. Sayangnya usaha mulia ini boleh saja menjadi sekedar “seremonial tahunan” karena intervensi pemerintah.
Oleh karenanya kita ingatkan kepada pemerintah untuk tidak menjadi pemecah umat. Umat kerap terpecah karena memang dipecah belah. Sebagain dirangkul dan sebagian lagi dikriminalisasi. Sebagian dipuji setinggi langit. Sebagian lagi dicurigai bahkan dituduh dengan ragam tuduhan.
Kerap kali pemerintah memberikan cap nasionalisme kepada sebagian umat. Tapi sebagian yang lain dituduh anti negara atau asas negara. Akibatnya umat saling berbenturan dan saling mencurugai.
Semoga ini tidak terjadi di negara tercinta kita. Semoga pemerintah menyadari bahwa sejak disumpah menjadi pejabat publik negara ini maka rakyat semuanya adalah gembalaannya. Semuanya sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama pula. Semoga!
New York, 8 Juli 2018
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]