Nusantarakini.com, Jakarta –
Bummm… Bom meledak. Ramai-ramai mengutuk. Meledak lagi, ramai-ramai mengutuk lagi. Kutukan berjama’ah. Diawali ucapan belasungkawa kepada keluarga para korban. Wartawan banjir undangan Pers Conference dan Release Pers. Sejumlah tokoh dan pimpinan ormas buat pernyataan. Sudah semestinya. Wajib dan harus. Itu bagian dari sense of humanity. Etika persaudaraan. Lalu, ledakan bom berhenti? Tidak! Masih ada cerita di halaman dan jilid berikutnya.
Bom akan terus meledak. Sampai kapan? Sampai ledakannya tak lagi efektif jadi alat kepentingan. Kok nuduh? Bukan. Cuma ingin bicara lebih cerdas dan substansial. Lalu, kepentingan siapa? Nah, kalau itu kalimatnya menuduh.
Simulasinya sederhana. Ada momentum yang tepat, petakan tempat dan siapkan narasinya. Lalu, bom diledakkan. Dimana intelijennya? Kok gak terlacak? Jangan tanya! Tak sesederhana itu. Masalahnya sangat kompleks. Bagi siapa? Pakai nanya lagi.
Polanya selalu sama. Bom meledak. Di tempat ibadah, atau di pusat keramaian. Media ramai, dan rakyat ribut. Investigasi, tak lama kemudian pelakunya tertangkap. Nama-namanya teridentifikasi. Pimpinannya si Anu. Si Anu jadi terkenal. Populer layaknya artis Holywood. Diburu sebagai target. Saatnya tiba, si Anu digrebek dan ditembak. Mati, dan ketemu Sang Bidadari. Ngayal! Dan terus begitu polanya. Tak berubah.
Apa targetnya? Gak pernah jelas. Setidaknya bagi orang awam. Hanya samar-samar kedengaran suara: perang di negara kafir. Jihad melawan bughat. Ingin mati sahid. Makin gak jelas lagi.
Bom itu soal nalar. Ketika nalar kepentingan bertemu nalar kebodohan, bom menjadi alat efektif untuk sebuah tujuan. Tepatnya, sebuah kepentingan. Kepentingan apa?
Pertama, untuk menyerang kelompok tertentu. Stigma dibuat, opini diciptakan, terorisme dan radikalisme didesign narasinya. Umat Islam jadi terdakwa. Cap ekstrimis nempel di jidatnya. Satu ormas dengan ormas lain saling serang. Beda pilihan politik dapat lahan pertempuran. Celana cingkrang, jidat hitam, jenggot panjang dan cadar dibawa-bawa. Jadi aksesoris ledekan. Apa hubungannya? Lalu, image muncul: ajaran Islam itu membahayakan. Hehehe. Kerja yang sempurna!
Kedua, untuk menciptakan suasana tidak aman. Kesan konflik dimunculkan. Rasa takut dikondisikan. Untuk pengalihan isu? Ah, ada-ada aja. Tapi memang, dolar naik lepas pantauan. Kemenangan oposisi Malaysia sejenak terlupakan. Hasil survei balon presiden terabaikan.
Demi merawat anggaran? Anggaran siapa? Bisa siapa saja. Atau untuk menggeser suara dan elektabilitas seseorang? Jangan su’udhan. Gak baik. Bisa-bisa jadi delik aduan. Tapi, kalau dipikir, masuk akal juga. Apalagi, pendaftaran pilpres hanya tinggal beberapa bulan. Agustus sudah dekat.
Publik curiga. Jangan-jangan, bom bunuh diri memang bukan tunggal nalarnya. Nalar bidadari atau nalar surgawi. Tapi, bagian dari sekian banyak nalar yang terkait dan saling membutuhkan. Yang satu butuh bidadari, yang lainya butuh duniawi. Bisa jadi kecurigaan itu benar. Bom tidak berdiri sendiri. “Dependent variable”. Seperti puzzle, saling melengkapi kebutuhan.
Atas nama agama? Itu soal strategi. Di dalam agama, ada ideologi dan fanatisme. Lebih mudah menemukan dan melatih aktornya. Gampang goreng isunya. Enak jualannya. Besar peluang cari dananya. Terutama bagi mereka yang suka memancing ikan di air keruh.
Rakyat mulai belajar. Pelan-pelan dibuat sadar. Bosan mengutuk para pelaku. Ada yang bilang: para pelaku hanya pion yang dilatih untuk jadi korban. Mereka bukan orang-orang penting dari sebuah tragedi melo drama ledakan. Para aktor tak lebih dari para pengeja bidadari surga. Cukup bidadari surga. Tak terlalu minat bidadari dunia. Mungkin bidadari dunia besar ongkosnya. Bidadari akhirat? Gratis! Asal mati sahid. Oh ya? Adakah mati sahid dalam kutukan umat Islam?
Para aktor patuh pada sekenario dan catatan sang sutradara. Siapa Sang Sutradara? Tak pernah terungkap. Penuh misteri dan senyap. Hanya Almarhum Gus Dur, satu sosok yang bernyali membongkar gelap.
Marah rakyat mulai mengarah kepada sang sutradara. Pembuat dan penyedia sekenario ledakan. Tapi, anonim. Tak ada identitas pada mereka. Hanya spekulasi dan duga-duga. Tapi, jelas arahnya.
Para analis bilang, mereka bukan orang biasa. Tidak sembarangan manusia. Kelompok profesional yang terlatih, berpengetahuan soal teori, dan berpengalaman soal strategi.
Boleh jadi mereka adalah agent. Teroris jadi barang jualan untuk memperbesar pendapatan. Siapa saja bisa pesan. Termasuk pihak luar negeri yang gencar jual senjata dan bicara HAM..
Layaknya barang dagangan, makin berisiko dan banyak korban, harga pasti menyesuaikan. Siapa? Jangan tanya lagi. Jawabnya gelap dan senyap. Setidaknya bagi orang awam. Anda orang awam?
Yang pasti, rakyat jadi korban. Aparat lalu dikecam karena dianggap keteledoran. Negara “dikesankan” tak aman. Sang sutradara “anonim” tetap sembunyi dan tak ketahuan. Pesanan terus mengalir, dan keuntungan bisa dinikmati hingga untuk anak cucu tujuh turunan. Besar sekali? Begitulah kira-kira yang tercatat di sekenario Sang Sutradara. [mc]
Jakarta, 13/5/2018.
*Dr. Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.