Alunan perkusi akan menggema di atas langit di setiap desa Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) di bulan Ramadan. Nadanya sahut-sahutan terdengar antar desa hingga kejauhan. Hentakan gendang dan gong ditabu berasal dari atas rumah bambu setinggi 20 hingga 30 meter. Rumah tinggi inilah masyarakat lokal menyebutnya Dengu-dengu.
Inilah bentuk kearifan lokal yang sudah lama tercipta di Kabupaten Morowali, saat menyambut Ramadan.
Trandisi turun temurun ini sudah lama dilakoni oleh nenek moyang dulu, untuk membangunkan warga saat sahur dimulai dini hari, pukul 02.00 hingga 03.00 WITA.
Salah seorang warga Desa Tofuti, Din (59), bersama warga lainnya Udin (52) dan Wati (32) mengatakan, dengu dengu adalah sejenis rumah tinggi yang dibangun warga setempat secara gotong royong.
“Dengu-dengu adalah rumah tinggi untuk menyambut puasa yang dipakai untuk membangunkan warga saat sahur. Tradisi ini sudah ada sejak dulu,” kata Din kepada wartawan.
Din menjelaskan, bahan baku rumah tinggi ini terbuat dari tiang yang berasal dari bambu berukuran besar.
“Warga setempat menyebut bambu batu atau tiang batu. Sementara atap dari rumbia diikat dengan kuat dari bilah bambu,” sebut dia.
Warga lainnya, Udin dan Wati menjelaskan, sambungan antar bambu diikat dengan tali ijuk. Bambu berfungsi sebagai tiang disusun empat persegi, hingga ke atas membentuk trapesium setinggi 30 meter, sesuai kebutuhan.
Di atas tiang bambu dibangun gubuk atau pondok berbentuk rumah berukuran 3×3 meter. Atapnya dari daun rumbia dan dinding dari anyaman bambu. Sementara lantai dari papan yang disusun rapat.
“Dari atas inilah, sekitar lima sampai enam warga bersama-sama membunyikan gendang dan gong,” ungkap mereka.
Untuk naik ke atas dengu dengu ini, tambah Udin, warga membuat tangga dari bambu yang dipasak satu sama lain. Sementara penerangan dulunya dari pelita (lampu minyak), namun sudah diganti dengan lampu pijar yang diambil dari listrik rumah warga.
Diakui warga, pembuatan sebuah dengu-dengu membutuhkan waktu 5-7 hari dengan biaya tergantung tinggi dan lebar yang diinginkan. Namun rata-rata untuk satu dengu-dengu menelan biaya Rp1 hingga Rp2 juta.
Selama ini, masyarakat Morowali berpartisipasi membangun dengu-dengu menyambut bulan puasa atas biaya sendiri.
“Warga desa menyumbang sesuai kebutuhan. Termasuk semua bekerja dan berkumpul bersama,” aku mereka.
Diketahui, keikhlasan warga desa demi mempertahankan kearifan lokal ini patut dicontoh bagi semua pihak. Setidaknya warga di Desa Tofuti, Kecamatan Bungku Tengah dan desa lainnya, adalah bukti bahwa bulan Ramadan adalah bentuk silaturahim yang sudah lama tercipta sejak nenek moyong dulu.
Alangkah indahnya, jika Pemerintah Kabupaten Morowali memanfaatkan momentum unik ini sebagai kalender wisata tahunan. Termasuk memfasilitasi biaya dan memberikan penghargaan kepada desa yang telah membangun dengu-dengu terbaik dengan mempertimbangkan tingkat keamanan memadai. Semoga sukses.*