Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada yang hilang. Ada yang alfa dari dinamika umat Islam hari ini. Yaitu terma “Aspirasi Umat Islam”. Padahal dulu terma politik ini dengan baik sekali ditangani oleh figur-figur umat Islam. Mereka yang menyadari pentingnya terma ini dalam setiap negosiasi dan pressure politik, di antaranya, Sjafruddin Prawiranegara, M. Natsir, Prawoto, dan tokoh-tokoh top umat Islam.
Tapi sekarang kata kunci ini tak pernah diangkat lagi. Apa lupa apa sengaja dilupakan, saya pun tak tahu. Akibatnya, fatal. Kita tidak tahu, apa yang dituntut, dan sejauh mana mengukur keberhasilan suatu tuntutan. Malahan, kerap direduksi tuntutan umat sebagai tuntutan pribadi. Mana kepentingan pribadi mana kepentingan umat/publik, tak dibedakan dengan tegas.
Saya mau menarik suatu masalah yang berkembang dramatis hari ini. Seperti yang diberitakan, sekelompok ulama 212 bertemu khusus presiden dalam suatu konteks politik tentunya.
Tapi apa yang terjadi? Tuntutan yang terdengar hanya menyempit pada masalah pengakhiran kriminalisasi ulama, dan secara spesifik, mencabut status tersangka Habib Rizieq menjadi tidak tersangka.
Tentu saja hal ini baik. Tapi rasanya sangat disayangkan, dengan momen penting semacam itu, harusnya dapat dinegosiasikan suatu aspirasi umum umat Islam yang terstruktur, fundamental, dan berimplikasi luas. Hal semacam itu hanya dapat dilakukan manakala persoalan “Aspirasi Umat Islam” itu telah selesai dirumuskan dan disiapkan secara baik. Sayang, sekali lagi sayang, apa yang disebut aspirasi umat Islam hari ini, tidak jelas dan tidak measurable. Ini sungguh suatu masalah besar dalam area politik Islam hari ini.
Sebenarnya dapat saja dirumuskan misalnya, setelah sekian lama telah beberapa aspek dari hukum yang menyangkut urusan umat Islam diakomodir dan dilembagakan dalam sistem hukum nasional kita, seperti institusi peradilan agama, UU Perkawinan, BMI, UU Zakat, sekedar menarik contoh saja, maka perlu umat Islam melalui tokoh-tokoh pergerakan politiknya menegosiasikan lagi tentang perluasan otonomi hukum bagi umat Islam dalam rangka menjawab kebutuhan spesifik mereka terkait hukum.
Nah, adakah yang sudah menegosiasikan hal ini, yaitu Perluasan Otonomi Hukum bagi Umat Islam, padahal telah jutaan massa dikerahkan untuk menyalurkan aspirasi yang terpendam selama ini. Kenapa hal ini alfa untuk dirumuskan dan disediakan sebagai bahan negosiasi politik?
Barangkali masih ada waktu untuk menjawab hal ini sehingga lain kali para penggerak umat, tidak hanya bersifat reaksioner, tapi sistematis dan fundamental.
Syahrul E Dasopang/Mantan Ketum PB HMI