Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam pidato politiknya bapak Prabowo Subianto beberapa waktu yang lalu, di depan para kader partainya sendiri. Beliau menyampaikan bahwa ada beberapa pengamat politik luar negeri memprediksikan bahwa NKRI akan bubar tahun 2030. Demikian juga ada karangan novel yang menyatakan hal yang sama.
Beliau menyampaikan dengan penuh semangat dan emosi, karena kegalauan hati beliau melihat perkembangan dan situasi negara kita saat ini. Tentunya hal ini dilandasi dengan rasa cinta pada NKRI, serta rasa memiliki NKRI. Sehingga merasa bertanggung jawab untuk memberikan peringatan kepada semua elite bangsa yang saat ini memiliki otoritas sebagai pemimpin.
Ada beberapa indikator atau faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pembubaran suatu negara dan sudah banyak terjadi di belahan bumi ini; seperti Uni Soviet, Yugoslavia dan lain-lainnya.
Bahwa fakta NKRI adalah bangsa yang bhinneka yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Maka bangsa ini memerlukan pemimpin yang berwawasan kebangsaan dan jiwa negarawan untuk dapat merangkul dan merajut kebhinekaan itu dalam kesatuan NKRI, dan dapat memberi narasi kedamaian kepada semua golongan untuk dapat berkontribusi mengawal NKRI; bukan pemimpin yang pendendam dan tidak berwawasan kebangsaan.
Hukum yang tidak lagi berkeadilan, hanya tajam ke bawah tumpul ke atas. Sehingga menyebabkan hilangnya rasa kepercayaan rakyat terhadap hukum yang sebenarnya telah disepakati bersama. Maka akan timbul pembangkangan dari rakyat. Dan hukum tidak lagi menjadi panglima tertinggi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga ini juga merupakan indikator atau bibit untuk bubarnya suatu negara.
Keadilan sosial tidak lagi untuk seluruh rakyat Indonesia, tapi hanya milik segelintir orang. Bahkan pihak asing yang memilikinya sampai pada rasio yang sangat negatif, bahwa harta kekayaan 1% rakyat Indonesia setara atau berbanding lurus dengan 100 juta rakyat lainnya. Ini juga menyimpan bom waktu yang mungkin sewaktu-waktu dapat juga sebagai pemicu bubarnya NKRI.
Sistem perpolitikan kita saat ini terjebak dalam demokrasi ala Amerika. Pemilihan langsung Kepala Pemerintahan/Presiden dan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) yang begitu vulgar dan terbuka, yang bisa menjadi sumber terkoyaknya kebhinnekaan. Karena di dalam prosesnya sering sekali membawa suku dan agama. Apalagi para politisi yang tidak memiliki wawasan kebangsaan, sehingga memanfaatkan politik indentitas untuk kepentingan jangka pendeknya untuk dirinya maupun kelompoknya. Hal ini dikarenakan adanya mayoritas dan minoritas di dalam masyarakat yang bhinneka ini.
Apa yang dihasilkan dengan sistem pemilihan yang begitu panjang dan menguras energi seluruh anak bangsa, serta biaya yang begitu mahal hanya untuk memilih seorang Presiden maupun Gubernur. Padahal kita menganut sistem presidensial ya g harus didukung oleh partai dan harus berkoalisi dengan multi partai di parlemen. Sehinnga menjadi sangat tidak efektif untuk presiden dan kabinetnya.
Karena sistem ini memerlukan konsensus bersama antara eksekutif dan legilatif dari partai koalisinya serta selalu menuntut imbalan politik dan sering kali menjadi sumber terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta menjadi sumber lemahnya struktural dan institusional kita.
Inilah wajah demokrasi kita saat ini dan juga bisa menjadi salah satu faktor bubarnya NKRI. Karena kita semakin jauh dari karakter dan jati diri bangsa kita ya g sebenarnya yaitu budaya gotong royong dan demokrasi PANCASILA.
Barangkali inilah kegalauan seorang Jenderal Prabowo Subianto. Dan beliau karena kecintaannya pada NKRI dan didorong rasa tanggung jawabnya, maka pidato politiknya adalah peringatan kepada segenap anak bangsa dan elitenya. [mc]
*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Politik.