Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.
Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.
Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!
Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.
Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:
———————————————————————————-
“Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.” [mc]
*Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar