Nusantarakini.com, Cikarang –
Rakyat Indonesia terlalu lugu. Bahkan terlalu tabah untuk menanggung ketidakadilan.
Mungkin terlalu lama modar dihancurkan feodalisme raja-rajanya dahulu. Atau juga terlalu lama dimanipulasi oleh penjajahan asing. Mungkin juga terlalu lama dipecundangi Orde Lama dan Orde Baru ditambah Orde Pasca Orba. Akibatnya sirnalah keberanian dan kebebasan jiwa mereka. Yang menumpuk ialah jiwa-jiwa yang terkekang ketakutan. Takut dengan ancaman penguasa, dan takut tidak makan esok hari.
Agama ada, tapi lebih banyak menenangkan potensi pemborantakan hati mereka. Padahal pemberontakan itu adalah cetusan kemerdekaan jiwa yang tidak mau dikekang. Para pejabat religinya yang menyaru jadi ulama atau kyai haji atau ustadz atau Habib, lebih banyak menenangkan hati mereka supaya padam api pemberontakan atas ketidakadilan di depan mata mereka ketimbang membimbing mereka kepada pemberontakan jiwa yang efektif dan sistematika.
Jadilah rakyat itu tak lebih dari pada domba-domba yang bimbang, bingung, murung, kecut, pesimis, putus asa dan lari dari jeritan jiwa alami mereka sebagai manusia yang lazimnya anti terhadap ketidakadilan dalam bentuk apa pun.
Pabila mereka mulai menunjukkan jiwa pemberontak mereka, tali kekang yang digenggam para pejabat religi maupun tali pecut yang dipegang oleh penguasa, aktif menghalau mereka. Setiap kali mereka menunjukkan gelagat memberontak, teror atas nama pasal-pasal pidana, disemburkan ke wajah pilu mereka. Demikianlah realita rakyat dan negerinya yang serba kontradiksi di Indonesia.
Tak ada kedaulatan rakyat alias demokrasi di sini. Walaupun satu kontainer buku politik menuliskan demokrasi Indonesia, ketahuilah itu hanya omong kosong.
Hari-hari ini yang eksisting adalah kedaulatan kuasa para pemilik konglomerasi. Kami kerap menyebutnya di sini taipanokrasi atawa korporatokrasi.
Kemunculan taipanokrasi mereka semula difasilitasi oleh Orba Soeharto. Namun setelah itu rasanya telah menjelma menjadi penguasa yang sebenarnya. Bahkan sebelum Orba itu hancur berkeping-keping pada peristiwa Kelompok Jimbaran di Bali. Mengumpal saat mereka bikin skema penyelamatan kuasa mereka lewat BLBI. Sejak itu mereka bagaikan suatu gurita. Lepas dari bayang ayang militer. Justru merekalah yang membayangi setiap pos-pos kekuasaan di negeri yang tragis ini.
Tragis bagi rakyat kebanyakan, tapi kenikmatan bagi elit-elit khianat akan amanat rakyat yang telah jutaan meregang nyawa demi sebuah kemerdekaan.
Bila ada contoh negeri yang sempurna korporatokrasinya, ketahuilah itu Indonesia, yang membentang di lintasan garis equator. Seluruh pulau-pulaunya bukan milik warisan rakyat. Tapi milik negara yang dilegitimasi oleh konstitusi state. Masalahnya siapa pemilik negara di dalam operasi korporatokrasi? Siapa lagi kalau bukan yang punya duit.
Wajarlah kemudian jika disebut sistem eksisting kami hari ini adalah dari rakyat, yaitu negara dan seluruh tanah dan kandungan kekayaannya berasal dari rakyat, oleh rakyat, bahwa kekayaan dari hasil bumi itu diolah oleh tenaga rakyat, tapi untuk para taipan. Rakyat cuma dapat sisanya saja. Padahal para taipan itu siapa dan dari mana, kagak jelasss.
Tragis…
~ John Mortir