Nusantarakini.com, Jakarta –
Menurut madzhab Syafi’i menjual kulit hewan qurban, baik itu kurban nadzar (kurban wajib) atau qurban sunah hukumnya haram, dan jual belinya dianggap tidak sah apabila yang menjualnya adalah mudhohi (orang yang berqurban) atau orang kaya yang menerimanya. Sedangkan apabila yang menjualnya adalah fakir miskin yang menerimanya maka hal ini diperbolehkan dan jual belinya dihukumi sah.
Pendapat yang melarang penjualan kulit hewan qurban juga merupakan pendapat madzhab Maliki dan madzhab Hanbali. Ibnu Al-Mundzir juga meriwayatkan pendapat ini Jadi, mayoritas ulama menyatakan bahwa menjual kulit hewan kurban itu tidak diperbolehkan. Ketentuan hukum ini berdasarkan hadits nabi ;
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Dari Abu Hurairah ra beliau berkata, Rasulullah saw bersabda “Barang siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya”. (H. R. Hakim no. 3464).
Hasil keputusan muktamar Nahdhatul Ulama ke 27 di Situbondo pada tanggal 8-12 Desember 1984 (lihat buku ahkamul fuqaha’ – solusi problematika aktual hukum Islam, keputusan muktamar, munas, dan konbes Nahdhatul Ulama, hal. 381).
Dalam fasal yang ke 353 ada pertanyaan : bagaimana hukumnya kulit-kulit hewan kurban yang dikumpulkan dan dijual, kemudian hasilnya untuk membangun mushalla, madrasah dan sebagainya? Jawabnya : Menjual kulit-kulit hewan kurban tidak boleh kecuali oleh mustahiqnya (yang berhak atas kulit-kulit tersebut) yang fakir/miskin. Sedangkan bagi mustahiq yang kaya, menurut pendapat yang mu’tamad, tidak boleh.
Pengambilan dalil antara lain : Al-Mauhibah, jilid IV hal. 697. Lihat juga “Busyral Karim” hal. 127 dan “Fathul Wahhab” jilid IV hal. 296-299 dan “Asnal Mathalib” jilid I, hal. 525
(وَلاَ يَجُوْزُ بَيْعُ شَيْءٍ) أَيْ أُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ وَلَوْ جُلُوْدَهَا لِخَبَرِ : مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ ( رواه الحاكم وصححه). (الموهبة 4-697)
Tidak boleh menjual bagian apapun dari binatang kurban sunah,walaupun hanya kulitnya, sesuai dengan hadits : Barang siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya”. (H. R. Hakim no. 3426).
وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِى الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلِمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ بِخِلَافِ اْلغَنِيِّ الخ. (بغية المسترشديد : 258)
Bagi orang fakir yang mengambil bagian binatang kurban, maka ia berhak untuk mengelolanya (sesukanya), walaupun dengan menjualnya kembali kepada orang muslim, karena ia telah memiliki apa yang telah diberikan kepadanya. Berbeda jika yang mengambil tersebut dari kalangan orang kaya ….
Dari kaca mata hukum agama Islam, menjual daging kurban hukumnya haram. Karena itu, panitia dilarang menjual daging kurban. Dan yang dilarang ini sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya, tetapi semua yang termasuk bagian dari tubuh hewan kurban hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Sayangnya, justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, kepala, kaki dan bagian lainnya, diperjual-belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, yaitu untuk membiayai proses penyembelihan, bukan untuk dijadikan keuntungan atau upah. Namun, larangan menjual bagian-bagian tubuh itu bersifat mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan juga.
Tentang menjual kulit qurban, para ulama berbeda pendapat:
1. Tetap terlarang.
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Hakim. Berpegang pada pendapat ini lebih selamat, yaitu terlarangnya jual beli kulit secara mutlak.
2. Boleh, asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang).
Ini pendapat Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”
3. Boleh secara mutlak.
Ini pendapat Abu Tsaur sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi. Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Sebaiknya kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban). [ahmad anas/mc]
Sumber: wongsantun.com.