Nusantarakini.com, Jakarta – "Siapa yang menguasai isu pro kontra, maka dialah yang menyelesaikan akhir dari isu" ~ anonim
Publik terkejut dengan sikap kontra Tempo terhadap Ahok baru-baru ini. Sebagian ada yang surprise sebagian lagi ada yang mencari-cari alasan di balik itu. Bahkan sebuah akun bernama @kurawa menyebut ada motif bisnis di balik kontra Tempo terhadap Ahok.
Keterkejutan yang sama terjadi dengan isu komunisme. Isu ini booming sejak "digarap" oleh Luhut Panjaitan sebagai Menkopolhukam. Banyak yang tidak habis pikir mengapa seorang Jenderal (purn) AD bersikap "pro PKI".
Persamaan di antara Luhut dan Tempo, sama-sama menabrak asumsi umum. Asumsi umum menyatakan, Tempo adalah Goenawan Mohamad. Goenawan Mohamad pro Ahok. Kok tiba-tiba kontra Ahok. Ada apa?
Luhut berasal dari satuan khusus Angkatan Darat yang paling depan membasmi PKI di masa lalu. Luhut jelas anti PKI. Kok tiba-tiba pro PKI. Ada apa? Itulah pikiran yang menggelayut di kepala masyarakat.
Jika ingin melihat indikasi-indikasi, sebenarnya hal ini hanyalah taktik bermain menguasai opini. Mari kita mulai dari Tempo. Tempo itu bagaimana pun kebijakan ideologisnya berada di tangan Goenawan Mohamad, sang bos besar. Goenawan Mohamad jelas pendukung Ahok. Tidak percaya, periksa pernyataan-pernyataan dukungannya di media sosial.
Pada 12 Maret 2016, dia menulis di facebook sebagai berikut. "Bagi saya, pilkada DKI 2017 bukanlah sekedar ikhtiar memenangkan Ahok & Heru. Pilkada tahun depan ini adalah perjuagan untuk memenangkan mereka yang kehilangan kepercayaan kepada partai — mereka yang dianggap bisu oleh partai — tapi belum kehilangan kehilangan kepercayaan bahwa perubahan bisa diikhtiarkan melalui demokrasi."
Jadi, bisa saja Tempo memunculkan sikap kontra, padahal maksudnya untuk mengocok opini agar isu Ahok tetap bergairah di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang, sejak reklamasi yang yang gagal tersedak oleh aksi massa, kredibilitas Ahok merosot di mata umum. Untuk itulah Tempo mengocoknya kembali.
Pada waktunya, bola isu Ahok akan ditendang untuk menguntungkan elektabilitas Ahok sendiri. Toh Ahok semua orang tahu merupakan sosok orbitan Tempo sendiri saat Ahok menjabat Bupati.
Indikasi berikutnya adalah dukungan Partai Solidaritas Indonesia yang dengan massif membantu jemput KTP untuk Ahok. Semua orang juga tahu, tokoh di balik partai yang membangun identitasnya sebagai partai kalangan muda-mudi itu adalah Goenawan Mohamad. Buktinya, dialah yang menjadi pembicara kunci pada satu kegiatan besar partai berwarna merah Air Asia itu.
Sekarang Luhut Panjaitan. Dia memfasilitasi simposium Tragedi 65 yang mengundang simpati eks korban pengganyangan atas PKI. Tapi dia juga memberi panggung untuk "orang yang dia hormati", Sintong Panjaitan, untuk berbicara dengan nada mengkritik PKI. Ibarat kata, dia pinjam mulut Pak Sintong untuk menyampaikan pandangan, sekalipun dia sendiri yang menyelenggarakan kenduri.
Akhirnya ek PKI berkumpul di ketiaknya. Sekarang pada 1 Juni nanti akan ada pula Somposium semacam anti tesa terhadap simposium sebelumnya. Lagi-lagi dijadwalkan Sintong Panjaitan turut berbicara. Lalu orang berpikir, "Bah…dia-dia juga rupanya!"
Oleh karena itu, hati-hatilah sekarang dalam permainan isu. Jangan sampai tergiring ke jurang. (sed)