Analisa

Keberanian PM Singapura Mengkritik Keruntuhan Amerika dan Kevakuman Tatanan Dunia

“Ketika kekuatan yang menjaga dunia mulai runtuh, dan tidak ada lagi yang meniup peluit, bangsa-bangsa kecil harus memilih: berdiam dalam ketakutan, atau bergerak menentukan nasib.”

(Sebuah Refleksi dari Pidato Berani Perdana Menteri Singapura).

Nusantarakini.com, Jakarta –

Ada sesuatu yang retak di langit dunia.

Sesuatu yang dulu kokoh, kini tampak rapuh.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, seorang Perdana Menteri Singapura — negeri kecil yang selama ini tegak di bayang-bayang kekuatan besar — berbicara dengan suara yang bergetar namun jernih. Lawrence Wong, dengan keberanian yang jarang terlihat dalam diplomasi Asia, menyatakan sesuatu yang selama ini hanya berbisik dalam seminar-seminar tertutup: Bahwa Amerika Serikat, sang “polisi dunia”, kini letih, lapuk, dan hampir runtuh.

Bukan dalam amarah, bukan dalam euforia. Tapi dalam nada keprihatinan yang dalam.

Dalam pidatonya, Wong menelusuri sejarah panjang dunia pasca-Perang Dunia II — masa ketika Amerika melindungi dunia dari ancaman komunisme, membuka jalur perdagangan global, dan menjadi jantung dari ketertiban internasional.

Namun hari ini, kata Wong, Amerika yang dulu menjaga dunia kini lebih sibuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Globalisasi yang pernah membesarkan mereka, kini malah menciptakan luka di tubuhnya sendiri.

Perang-perang panjang, krisis keuangan, pandemi, dan keletihan sosial menggerogoti pilar-pilar kekuatannya.

Dunia, yang selama puluhan tahun menikmati ketertiban karena kehadiran satu superpower, perlahan-lahan tergelincir ke ambang ketidakpastian.

Kini, langit dunia tampak kosong. Tidak ada lagi wasit yang meniup peluit.

“Dan dalam kevakuman itu,” kata Wong, “ketegangan mulai menyeruak.”

Tiongkok bangkit — itu fakta yang tidak disangkal.

Generasi mudanya menatap dunia dengan percaya diri baru: “Timur sedang bangkit, Barat sedang runtuh.”

Tetapi Wong juga mengingatkan: “Tiongkok, sebesar apa pun pertumbuhannya, belum siap menggantikan peran yang ditinggalkan Amerika.”

Membangun ketertiban global bukan soal angka GDP, bukan soal armada kapal perang.

Ia adalah tentang membiayai jaringan pangkalan militer di lima benua, menopang perdagangan internasional, menjaga jalur laut, menenangkan konflik di perbatasan yang jauh.

Amerika, untuk semua dosanya, pernah melakukan itu.

Tiongkok belum — dan mungkin, tidak akan pernah mau.

Dunia kini seperti sebuah kota kecil yang kehilangan satpam.

Orang-orang tetap lalu-lalang, lampu-lampu tetap menyala, toko-toko masih buka.

Tapi ada rasa gelisah yang merayap di udara.

Rasa bahwa sesuatu yang buruk bisa terjadi kapan saja — dan tak ada yang akan datang menyelamatkan.

Lawrence Wong berbicara bukan hanya untuk rakyat Singapura.

Ia berbicara untuk kita semua: “negara-negara kecil yang selama ini bernaung dalam bayang-bayang kestabilan global.”

Ia mengatakan: “zaman baru sudah tiba.”

Zaman di mana “interdependensi ekonomi” — saling bergantung antarnegara — bukan lagi jaminan damai, melainkan menjadi sumber ketakutan baru. Karena ketergantungan kini dibaca sebagai kerentanan.

Dunia tidak lagi bergerak bersama.

Negara-negara kini membangun tembok-tembok baru:

  • Menahan teknologi,
  • Melindungi pasokan energi,
  • Mengunci pangan untuk rakyatnya sendiri,
  • Menggunakan tarif dan sanksi sebagai senjata politik, bukan sekadar aturan pasar.

Sebuah dunia di mana “perdagangan bebas” digantikan oleh “survival nasional.”

Sebuah dunia di mana globalisasi tidak lagi dianggap berkat, melainkan beban.

“Dan Singapura,” kata Wong, “harus memilih: Bertahan aktif, atau hilang dalam sejarah. Tidak bisa lagi berpura-pura netral. Tidak bisa lagi hanya menjadi penonton.”

Sebuah isyarat bahwa, di masa depan, bahkan negara kecil pun harus punya keberanian mengambil posisi — walau risikonya tinggi.

Dalam pidato itu, terasa ada sesuatu yang baru:

  • Keberanian untuk mengakui ketakutan.
  • Keberanian untuk mengakui bahwa dunia ini rapuh, dan bahwa tidak ada jaminan bahwa besok akan lebih baik dari hari ini.

Lawrence Wong menunjukkan sesuatu yang langka dalam dunia diplomasi modern: Kejujuran brutal tentang masa depan.

Mungkin inilah pertanyaan yang tersisa:

Ketika dunia menjadi lebih berantakan, ketika para raksasa bertarung, ketika peluit polisi dunia tak lagi terdengar —

apa yang akan dilakukan oleh negara-negara kecil?

Apa yang akan dilakukan oleh Indonesia?

Berpihak?

Bersembunyi?

Atau berani menentukan takdir sendiri?

Seperti Singapura, mungkin kita semua harus mulai belajar.

Bahwa di dunia yang tanpa penjaga, hanya bangsa yang sigap, cerdas, dan bersatu yang akan tetap berdiri.

Atau, seperti kata Wong —”dunia ini sedang berjalan menuju sesuatu yang belum pernah kita kenal.”

Dan tidak ada seorang pun yang benar-benar tahu, ke mana arah akhirnya.

Penutup

Pidato Lawrence Wong bukan hanya untuk rakyat Singapura. Ini adalah peringatan dini untuk semua negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon “politik bebas aktif” tanpa kesiapan nyata di bidang pangan, energi, pertahanan, dan teknologi.

Pertanyaannya sekarang: “Jika harus memilih, Indonesia sebaiknya berdiri di pihak siapa? Amerika Serikat atau Tiongkok?”

Dan lebih penting lagi: “apakah Indonesia sudah siap menghadapi dunia yang baru ini?”

(Sekali lagi itu adalah perspektif PM Singapore).

*Catatan Agus M Maksum,Perang Dagang Menggiring Dunia ke Arah Perang Dunia Ketiga.”

*Sumber: https://aidigital.id.

Terpopuler

To Top