Menteri Kebudayaan Anda Sesat Pikir, Pak Ndhas

“Jika kritik harus selalu diikuti permintaan maaf, Pak Ndhas, masyarakat akan semakin dogmatis. Mereka akan menerima apa pun yang dikatakan penguasa tanpa kemampuan berpikir sendiri.”
Nusantarakini.com, Jakarta –
Pak Ndhas, saya ingin memberi tahu anda satu masalah lagi. Kelihatannya memang banyak masalah dalam kabinet anda. Sekarang, saya ingin memperlihatkan kepada anda bagaimana menteri kebudayaan anda berpikir dalam cara yang kacau balau. Cara ia memproses dan memaknai sebuah peristiwa betul-betul bertolak belakang dari upaya menemukan kebenaran.
Saya membaca berita Antara bahwa menteri anda mengatakan, “Kalau mengkritik orang atau pelaku atau oknum, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau itu bisa membawa institusinya, yang kemudian terkena dampak, ini yang mungkin bisa jadi masalah.”
Mengapa pandangan menteri anda itu sebuah fallacy, Pak Ndhas?
Pertama, anda harus mendidik dia bahwa kritik terhadap institusi adalah upaya menuju kehidupan bernegara yang lebih adil dan lebih sehat.
Kritik terhadap institusi itu penting agar institusi-institusi di negara ini mampu memperbaiki diri. Jika suatu institusi bermasalah secara sistemik, yang perlu dikritik bukan hanya oknum atau satu dua orang di dalamnya, tetapi sistem di dalam institusi itu, yang memungkinkan penyimpangan terjadi.
Kedua, tolong anda beri tahu bahwa kritik terhadap institusi membantu masyarakat memahami struktur kekuasaan dan cara memperbaikinya. Jika kritik hanya boleh ditujukan pada individu, masalah yang bersifat sistemik akan terus berulang tanpa pernah ada perbaikan. Saya pernah mendengar dari teman-teman saya bahwa menteri anda itu cerdas. Mungkin teman-teman saya benar. Hanya saja, setelah menjadi menteri ia menjadi kurang cerdas.
Jika ia cerdas, ia seharusnya tahu bahwa penyelewengan yang dilakukan individu-individu adalah pola berulang yang terjadi dalam institusi-institusi di negara kita.
Dengan cara berpikir menteri kebudayaan anda itu, kritik hanya akan dilihat sebagai pelecehan terhadap institusi, bukan sebagai dorongan moral dan intelektual dari masyarakat untuk memperbaiki kerusakan sistemik di dalam sebuah institusi.
Ketiga, menteri anda itu berpikir dalam cara keliru bahwa citra institusi harus dijaga mati-matian. Salah satu caranya adalah melarang kritik terhadap institusi dan mengalihkan kesalahan hanya kepada oknum atau individu tertentu.
Ini menciptakan ilusi bahwa institusi tetap baik, hanya beberapa orang saja yang buruk. Tolong sampaikan ke dia, Pak Ndhas, bahwa dia tidak perlu menjadi ilusionis. Saya, dan teman-teman saya, sudah tahu bahwa jika kami memerlukan ilusionis, kami cukup menonton pertunjukan David Copperfield. Jadi, tidak perlu dia repot-repot menjadikan dirinya ilusionis.
Hal lainnya, saya membaca berita bahwa vokalis Sukatani adalah seorang guru SD dan sekarang dia dipecat karena dianggap melanggar kode etik.
Kode etik apa yang dia langgar? Dia seorang guru. Ketika dia di panggung menyanyikan “Bayar Bayar Bayar,” dia tetap menjalankan fungsi keguruannya—tidak di hadapan para siswa, tetapi di hadapan khalayak.
Saya pikir dia guru yang baik, Pak Ndhas.
Dia tahu bahwa kemajuan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan bergantung kepada keberanian untuk mempertanyakan segala sesuatu. Sekarang Grup Sukatani harus meminta maaf, seolah-olah kritik mereka adalah pelanggaran moral.
Jika kritik harus selalu diikuti permintaan maaf, Pak Ndhas, masyarakat akan semakin dogmatis. Mereka akan menerima apa pun yang dikatakan penguasa tanpa kemampuan berpikir sendiri.
Atau anda justru lebih suka seluruh warga Indonesia menjadi gerombolan orang bebal seperti itu, Pak Ndhas? [mc]
*AS Laksana, Budayawan dan Penulis.
(Sumber dan foto: Facebook AS Laksana).
